twitter


Tumben kan judulnya melankolis begituh. Malam ini saya tidak bisa tidur. Sepertinya pengaruh obat dari dokter. Salah satunya Pain-killer, mungkin termasuk sleepy-killer juga.

Sungguh saya suka jejaring sosial macam facebook. Sudah pernah saya sebutkan ya? Selain menjembatani pertemuan dengan teman-teman lama (meski hanya lewat chatting dan saling mengomentari) tapi juga sering membuat saya tercengo-cengo dan bersyukur pada Allah SWT.

Para teman lama membuat saya tertawa dan tersenyum. Betapa tidak, garis wajah mereka banyak yang sudah berbeda, begitu juga dengan perawakan. Banyak yang sudah 'mapan', maju ke depan maksudnya.

Yang pertamakali saya lakukan setelah meng-confirm atau meng-add mereka adalah melihat foto-foto. Setelah itu chatting. Dan luar biasa memang apa yang bisa diceritakan sehelai foto pada saya. Sebaris percakapan di YM mengungkapkan tentang mereka hari ini.

Tentu teman-teman saya beragam. Itu saya tahu. Belasan tahun lalu ketika kami bersama, karakter pasti sudah terbentuk. Namun tetap saya dibuat kaget (kadang) dan mencoba memahami (seringnya) atas apa yang sekarang saya lihat di diri teman-teman saya.

Don't judge a book by its cover. So pasti. Meski begitu saya tak mau berprasangka dulu. Kulit belum tentu menampilkan aslinya. Dan saya manusia, tak punya hak untuk menentukan, apalagi menghakimi.

Jadi yang saya lakukan ya itu tadi. Merenung. Dan mencoba memahami. Bagi saya memahami tidak sulit, meski menjauh adalah lebih gampang.

Saya mencoba menyelami dari sisi saya dan juga dari sisi lain (apapun itu). Meski jika saya tak jua paham, tak berarti kami berhenti berteman kan?

Kalau Anda tak memahami kalimat saya, jangan menyalahkan diri sendiri. Memang susah. Saya terbiasa blak-blakan, tapi memang di sini tak mungkin bercerita lepas tanpa terungkap aib seseorang. Let's say bahwa keanekaragaman orang membuat diri saya kaya. Dan saya sedang belajar untuk membuang semua asumsi tak jelas apalagi yang bersifat prasangka.

Saya pikir semua orang ingin dipahami, bukan dinilai.

Biarlah Allah saja yang menentukan.


Last night I had a strange dream (not for the first time though) that we (me and my husband) had to protect our children from bad guys cause they would come and kill them (maybe because I watch movie too much). So I succeed saving my three children but I found my little baby died, he (or she?) is being beheaded.

This morning it was all normal until I had a stomachache. I just reminded myself to get laid for a while after finishing the works. Went to the bathroom and found stain-blood on my panty.

God, then it was just like slow motion. Went to the hospital, waited for the gynechologist. I just knew something went wrong cause I had this pain like everytime I deliver a baby.

Then the shrink told me that I lost .. her(or him). I went home numb. Could not even able to describe my own feeling. This talkactive mouth had decided to be speechless.

I know that it has not been a baby. It just a tiny thing. But I loved it. I have plans, I already arrange some things for this change. I just felt that I really lost someone, although it hasn't been able to feel anything.

Gone baby gone ..



Sore tadi saya masih duduk manis di ruang rapat MI. Ada presentasi IT. Menarik, orangnya smart. Tapi perut saya keroncongan inget baso tahu yang belum sempet dimakan. Tiba-tiba teman-teman dari TK agak kasak-kusuk hingga sampailah ke telinga saya.

"Anaknya Ibu Saidah ... meninggal .."

Sontak saya terhenyak, karena dari cerita teman-teman saya tahu anak itu usianya baru sembilan bulan. Lagi lucu-lucunya. Dada saya jadi sesak. Sembilan bulan adalah usia dimana anak biasanya belajar berjalan dan belajar ngomong. Bagaimana rasanya? Sedangkan saya saja langsung merasakan mata saya memanas.

Setiap kali menyaksikan kematian (meski tidak secara langsung) saya selalu merasa 'nyelek' .. betapa tidak, biasanya disibukkan dengan perkara dunia jadi terasa 'keselek biji kedondong' saking shock-nya (tersadar lebih tepatnya) bahwa saya takkan selamanya ada di dunia ini.

Khususnya ketika mendengar kematian anak yang masih kecil atau orang yang masih muda, saya jadi berkaca-kaca. Tersadar bahwa pada dasarnya anak adalah titipan Allah. Begitu juga suami, orangtua, teman-teman dan diri kita sendiri. Suatu hari, ketika Allah memanggil kembali milik-Nya, tak ada satupun yang bisa menghalangi.

Pertanyaannya adalah; siapkah saya??
Siapkah saya ketika Allah memanggil kaka, uni atau ade, atau anak yang ada dalam perut ini??

Akankah saya protes? Sedangkan mereka juga saya dapatkan dari-Nya?
Saya bayangkan tentu Bu Saidah teman saya itu melalui proses yang sama dengan saya. Mengandung 9 bulan dan melahirkan. Tentu dalam perjalanan hamil dan melahirkan ia pasti menngalami kesusahan sekaligus kebahagiaan karena akan mendapatkan momongan.

Saya bayangkan pasti matanya berbinar ketika pertamakali menggendong dan memeluk anaknya. Karena saya juga begitu. Kalau ada orang yang tanya:
"Bagaimana rasanya punya anak?"

Pasti saya takkan bisa menjawab. Karena perasaan itu, perasaan ketika saya memeluk dan menciumnya, memandikan, menyusui dan menidurkannya, tak ada bandingannya dengan apapun juga.

Malam ini dada saya masih sakit. Tapi bagaimanapun suatu hari saya harus siap. Entah meninggalkan atau ditinggalkan.

Wallahu'alam.



I haven't had my period since April. Well, it didn't bother me so much cause I do have irregular cycle. But then, my skirt felt so tight, I became fatter, and fatter. Good gracious, I always wanted to be fatter (I was so skinny) but indeed it doesn't comfortable. You see, fat makes you hard to breath, urge you to buy new clothes, cause the old were not fit anymore.

Back to the problem, I felt that I pregnant. Yesterday, I went to a gynechologist and have myself checked. The result is; the baby is already 5 weeks in my womb.

This is a surprise. Even though I have thought about it, still I rather shocked. And I feel little bit guilty, I am afraid the baby will feel that he or she (?) is being rejected. I accept this pregnancy, I think this is the best arrangement Allah given me.

Then, there will be, and there must be some changing plans. Before, I plan to have a fast track on my study, and I'll do whatever necessary for the succeed of my works. Now, all must wait. Like a movie, those things must slowing down .. must be on slow motion ..

and that has everything to do with this baby ..

Welcome aboard honey ..


In "THE DARK KNIGHT" movie (if you've watched) I remember a dialogue between Bruce Wayne A.K.A Batman and Alfred, his loyal assistant (or maid?). Wayne was puzzled with all of brutal things done by THE JOKER, and Alfred told him his experience in Cambodia. The dialogue below is as far as I can remember.

"This bandit stole lots of diamonds. We've been looking for them all over the place but then we saw a little boy played with the valuable stone in his hand." said Alfred.

"So, what is this bandit after then?" asked Wayne, more confuse.

"Well, you see, there are some men who just wanted to see this world in chaos. They were not looking for money, for fame or anything .. they just want to make a catastrophe .. "

The sentence uttered by Alfred is the one suited with what I feel today concerning the Jakarta Bombing, couple of days ago. You know, the ones in Marriot and Ritz-Carlton Hotels (I hope you keep up with news).

Whatever reasons they have, whatever group they come from, I just can see them as bandits. Nothing more. If they called themselves as moslem extreme group, than I want to say to them, "So you guys think that you're going to heaven? Give me a break .."

There is no one, no one in this world has any right to kill another man, let alone bunch of people. This terrorist action really make me upset. Wanna know why?

Number one : I really wanna see The MU versus Indonesia All Star (even though I am not a soccer freak). Man, this is like one in a lifetime chance, even if we already know which one is the winner.

Number two : This thing will make us (me and other muslimah) again, a target of suspicion. Since the beginning, I cannot count how many people looked at me with prejudice, just because I wear longer veil than others. So many persons misjudged me .. hello??

Number Three : If this is done by moslem extremist, well congratulation; once again you guys have put all of us AGAIN as barbarian, violence-lover tribes ..

God, can we just settle down and talk about it?? This is not Jerusalem, which I can accept the fact where Palestinian still fought the Israeli. That's different story.

If this "Bozo" people want to have a war, why don't they go to war place, where they can be some advantages??

For crying out loud .. please people .. open your heart and ask yourself, "Is this what you really want?"





Waktu kecil salah satu buku favorit saya adalah serial asrama karya Enid Blyton, Mallory Towers dan St Claire. Ceritanya mengetengahkan tentang anak-anak yang bersekolah di sekolah khas Inggris yang berasrama. Anak-anak tersebut datang dari latar belakang yang berbeda-beda, namun pada akhirnya mereka akan berhasil menemukan jati diri mereka dengan cara yang (menurut saya pada waktu itu) hebat sekali.
Percaya atau tidak, di tempat kerja, saya seakan mengalami de-ja-vu. Lembar-lembar Enid Blyton kembali membuat saya terkagum-kagum. Bedanya, kali ini saya tidak membacanya, melainkan langsung mengalaminya. Begini ceritanya.

Sekolah kami dipandang orang sebagai sekolah elit. Tentu karena mereka tahu anak-anak di sekolah kami harus membayar SPP yang jauh lebih besar dibanding sekolah lain pada umumnya. Setiap tahun ajaran baru sekolah kami akan menutup pendaftaran di awal, karena banyaknya peminat yang ingin masuk. Di satu sisi tentu saja membanggakan, namun di sisi lain juga kami harus terus menjaga kualitas kami hingga nama yang sudah bagus tak jadi lekang karena penurunan kinerja.

Diantara sekian banyak murid di sekolah kami, khususnya tingkat menengah atas, ada beberapa diantaranya yang 'extraordinary'. Tentu artinya luar biasa. Saya sebut begitu karena anak-anak ini merupakan anak-anak yang merebut lebih banyak fokus perhatian kami. Mereka adalah anak-anak yang rata-rata sering berpindah sekolah karena ketidakcocokkan, atau anak-anak yang memiliki watak 'berbeda' sehingga orangtua mereka berharap kami dapat membantu mereka membuat 'bedanya' mereka menjadi lebih baik.

Tentu Anda mengerti maksud saya. Anak-anak seperti itu bagi guru pada umumnya pasti akan dianggap nightmare. Anda akan menemukan mereka (biasanya) duduk di bangku paling belakang, tidak diperhatikan guru bahkan teman-teman mereka.

Jangan menganggap kami seperti guru pada umumnya yang akan (juga) menempatkan mereka seperti itu. Tapi jangan juga menganggap kami guru super yang akan langsung mengubah mereka jadi anak-anak manis penurut hanya dalam hitungan hari. Kami memang berbeda dari guru pada umumnya, mungkin karena kami punya semangat dan tekad (didukung jam pembelajaran yang lebih panjang) untuk mengamalkan ilmu kami dan kami memang sangat menghargai proses. Tak jadi soal perubahan itu terjadi berhari-hari, berminggu atau bahkan menghabiskan dua semester lamanya.

Namun toh saya dan teman-teman juga manusia. Ketika menghadapi kelakuan mereka, kami juga mengurut dada. Kami kesal. Luar biasa memang cara anak-anak sekarang membuat guru kelabakan.

Tapi, bukan sulap bukan sihir. Alhamdulillah dengan ijin Allah anak-anak luar biasa ini hampir selalu dapat kami taklukan. Ada yang menghabiskan waktu 3 minggu, ada yang sebulan, ada yang satu semester.

Minggu ini saya 'tercengo-cengo' melihat perubahan yang terjadi pada salah seorang murid kami. Ia pernah (dan sering) membuat kami kesal dengan berbagai ulahnya. Pernah pula tercetus keinginannya untuk pindah sekolah. Saya sendiri sempat merasa hopeless, saya merasa, kayaknya ni anak ga bakalan mungkin berubah.

Tapi ternyata, miracle does happen. Minggu ini saya melihatnya bermetamorfosa menjadi anak yang baru. Si anak baru ini begitu mandiri, dewasa dan bertanggungjawab. Dengan tanpa ragu ia mengatur adik-adik kelasnya (acara MOS pastinya) dengan tegas dan tanpa lelah ia bekerja untuk menyukseskan acara.

Saya sontak membicarakannya dengan teman-teman. Kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa ia mungkin hanya butuh sedikit penghargaan. Dengan tergabungnya ia dalam kepanitiaan MOS, mungkin ia merasa diakui, dibutuhkan, diperhatikan.

Saya tidak bermaksud mengatakan guru-guru di tempat lain tidak sebagus kami. No, saya yakin semua orang yang mendedikasikan dirinya menjadi guru, pada hari ia bersumpah (kalau ada sumpah pengangkatan) pasti ia sudah berjanji akan mengabdikan dirinya, mengamalkan ilmunya dan menjadikan murid-muridnya sebagai jalan ia ke surga. Seperti layaknya para calon dokter yang mengucapkan sumpah Hipocrates.

Yang ingin saya garisbawahi disini adalah, murid adalah manusia. Ia bukan benda yang tak bereaksi. Ia manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan hanya bisa dijejali dan dibentak untuk dapat mengeluarkan jawaban yang kita harapkan. Ia manusia dengan perasaan dan kebutuhan. Ia tak hanya butuh ilmu kita, tapi juga kasih sayang kita. Ia tidak bodoh, tapi ia sering disebut bodoh. Yang bodoh justru kita yang tak memahami bagaimana seharusnya ia dipicu untuk bisa pintar.

Yah, tapi guru juga manusia. Sama saja. Tapi toh guru lebih dewasa dari murid. Secara ilmu maupun usia. Kalau pun ada pihak yang harus mengalah, rasanya kita tak perlu mempertanyakan lagi pihak yang manakah itu.

OK, saya sebaiknya kembali ke tumpukan buku saya. Siapa tahu ada cerita bijak lainnya seperti Enid Blyton.

Sebentar saya mau cek John Grisham dulu ya ...