twitter


Bolehkah pada suatu titik kita merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti sejenak,
untuk memahami, untuk mengerti, untuk berfikir dewasa?
Bukankah hati juga perlu istirahat?


I just got home. Today is a long and tiring day.

I started the day by becoming a master of ceremony in a big family reunion. That was not my first time. I've became MC for many times but truly the 'today's job' is different. Because I had it along with my old phobia. A rich-people phobia.

I grew up in a big family of my grandparents. My granddad has eleven children and standard life condition. He was a teacher at his time and also a preacher. Just an ordinary man. But my grandma, she was a different story.

My grandma came from a noble and rich family. But since she married my granddad, so she became the poorest of them all. Since I was a kid, I watched many rich people came to our house, and slowly but sure I started to hate them.

Perhaps the hatred feeling is not good. They deserve better. But I had many experiences with those wealthy men, and they were not happy experiences. I often being underestimated because we are totally up side down.

But then time goes by and I grew older. And probably wiser.

And today, I won the battle against my hatred and I have my job done.

Like I said, people wanted to be understand, not be judged.



Awal bulan September ini saya mendapat kabar duka. Salah seorang sepupu saya yang masih bayi, berusia 14 bulan terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena ada air yang masuk ke paru-parunya (?). Saya sendiri tidak begitu paham apa penyakitnya, secara saya tidak ngobrol langsung dengan dokternya. Hanya kabar saja yang sampai.

Setelah sekitar 4 hari dirawat di RS Cibabat, si anak itu dipindahkan ke RS Immanuel dengan harapan ia dapat dirawat dengan peralatan yang lebih lengkap. Kalau tidak salah saya hanya sempat menengoknya satu kali, dan saya sedih melihatnya, bagaimana tidak, tangan dan kakinya di-infus, kateter untuk pipis dan selang makanan yang menjulur keluar dari mulutnya.

Di rumah sakit yang berikutnya, mamah saya cerita bahwa anak itu sudah ditempeli berbagai macam alat yang memenuhi tubuhnya. Tak bisa saya bayangkan, betapa sakitnya ia, betapa tersiksanya. Belum lagi masalah biaya pengobatan yang harus ditanggung orangtuanya, yang memang kondisinya tidak mampu.

Ah, di Indonesia itu kan biasa. Cerita lama. Orang miskin yang ditimpa musibah, tidak mampu membayar, susah (atau tidak mau) mengurus kartu miskin, dan sebagainya, dan seterusnya.

Kemarin malam, 11 September 2009, si anak dinyatakan meninggal. Ia dibawa ke rumah kakek saya pada jam 2 malam.

Hanya ada satu pikiran di benak saya. Saya terharu karena Allah pasti sudah menyiapkan tempat baginya di surga. Karena ia belum baligh. Masih suci. Siapapun orangtuanya, baik atau buruk, ia akan menjadi tabungan amal sholeh kelak di akhirat.

Subuh harinya, saya sudah gura-giru menuju rumah kakek. Saya sudah berniat akan ikut memandikannya. Saya belum pernah memandikan jenazah sebelumnya, tapi saya tahu hal itu adalah fardu kifayah bagi kaum muslimin, dan kita sebaiknya mampu melaksanakannya.

Alhamdulillah di sekolah saya sudah pernah dilaksanakan praktek pengurusan jenazah hingga menguburkan. Thanks to teman-teman guru yang ilmunya luar biasa hebat yang telah mengajarkannya pada saya.

Sesampainya di sana, saya membuka kain yang menutupi tubuh mungil itu. Ah, selain lebam-lebam yang memenuhi tubuhnya (mungkin karena terus-terusan tidur), ia nampak damai sekali.

Singkat cerita, ternyata kedua orangtuanya tidak sanggup untuk memandikannya. Saya bisa memahami. Andaikan itu anak saya sendiri (Ya Allah, jagalah anak-anak hamba) pasti saya juga begitu.

Akhirnya disepakati yang akan memandikan adalah saya dan seorang paraji. Maklumlah di kampung kakek sedikit sekali yang bisa memandikan jenazah (sepertinya dimana-mana begitu deh).

Karena ia masih bayi, maka ia tidak dimandikan di atas meja seperti orang dewasa, melainkan dipangku. Disinilah tugas saya. Maka saya pangku ia seperti saat saya membuai anak-anak saya ...

Selama prosesi memandikan, alhamdulillah saya kuat-kuat saja. Rasa sedih tentu ada. Berkali-kali saya merasakan kedua mata saya berkabut. Tapi saya sedih bukan karena saya tak rela melepas kepergiannya (Bayangkan saja, anak yang lagi lucu2nya).

Saya berkaca-kaca karena terharu dan senang. Karena saya tahu ia sudah terbebas dari sakitnya, dan ia akan ditempatkan Allah di tempat mulia di surga sana bersama anak-anak lainnya yang sudah Allah panggil pulang sebelum mereka mencapai usia baligh.

Saya buai ia dan saya bisikkan padanya kata-kata perpisahan dan mengucapkan selamat padanya karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Ia masih terlihat tertidur lelap.

Tubuh mungil dengan jiwa bersih yang belum terkontaminasi.

Calon bidadari surga.

Saya (dan juga Anda) belum tentu langsung ke sana.

Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun ...

Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya.