twitter

31


Today I turned out 31. What a shame, cause not even half of it I spent wisely. I went online and get so many 'happy birthday' greetings from friends. Guess it is ritual for human being for just saying that thing.

I am older today and I feel odd. I do not think that I have done so much in my rich life.


"Masa muda .. masa yang berapi-api -H. Rhoma Irama" ucap Ikal saat Pak Balia menyuruhnya memekikkan kata-kata pelopor.

Cuplikan adegan di atas adalah salah satu dari sekian banyak adegan yang membuat saya ngakak ketawa, menangis terharu dan cengar-cengir. Setelah sukses terhipnotis bukunya, menyaksikan sendiri visualisasi tokoh-tokoh Andrea Hirata sungguh luar biasa. Oh ya saya nonton filem ini tadi malam.

Sebagai seorang Bookworm, saya sudah beberapa kali bolak-balik membaca tetralogi Andrea. Tak puas-puas rasanya, apalagi di buku Edensor, Andrea kuliah di di salah satu negeri impian saya, Prancis.

But the main point from the books are this :
Buku-buku ini mengajak saya berani bermimpi dan berani mengusahakan mimpi itu. Dibanding orang lain (Well, not all, though) saya termasuk ibu-ibu yang masih punya banyak mimpi dan ambisi.

Beberapa teman saya menyatakan keheranan karena saya masih sempat-sempatnya maksa kuliah lagi. Saya kuliah lagi memang murni ingin mendapat ilmu dan saya menikmatinya. Sepanjang hidup saya, mendapat sesuatu yang baru A.K.A belajar menjadi sebuah kenikmatan tiada tara, seumpama membaca sepanjang waktu tanpa ada yang mengganggu ..

Tapi kuliah bukan satu-satunya harapan saya yang masih ada. Saya ingin melihat dunia. Saya ingin menjejakkan kaki di tanah orang, dengan segala kebudayaan yang selama ini hanya dapat saya baca atau saya tonton saja.

Seperti orang pada umumnya, optimisme saya sejalan dengan rasa pesimis. Biaya, waktu, dan beban anak 3 adalah diantaranya.

Tapi kalau lihat Ikal dan Arai tadi malam, rasanya saya jadi semangat lagi.

This movie is extremely recommended.

Bener deh.


I feel numb ...

God please help ...


Bagi yang sudah membaca tulisan saya sebelumnya pasti sudah tahu betapa semangatnya saya kuliah. Bahkan mata kuliah anfullen (bareng anak S1 karena jurusan saya yang ga linear) pun oke-oke aja.

Namun nampaknya dua minggu terakhir saya jadi tumpul. Alih-alih semangat belajar malah terus menerus kesal pada diri sendiri karena ga ada keinginan belajar. Gara-garanya, cuma satu orang.

Saya orangnya memang ceria dan pede abis. Semua orang sudah mafhum. Namun sesungguhnya, jiwa ini rapuh (treng .. treng .. pake background lagu melow). Saya orang yang sangat sosialis (bukan yang itu, tapi), maksudnya senang berhubungan dengan orang banyak. Maka, jika ada orang yang jutekin saya, weis mati-matian saya ga bisa tidur dibuatnya.

Yang sekarang bermasalah ga tanggung-tanggung. Dosen sodara-sodara. Yak, betul, orang yang saya dengarkan kuliahnya dan yang akan memberi saya nilai nanti.

Awalnya, si dosen (kita sebut saja si X), biasa saja. Saya anggap ia baik dan lembut. Cara mengajarkannya pun enakeun. Saya suka kalau dia sudah menerangkan karena gayanya yang khas. Namun, 2 minggu belakangan ini entah KENAPA dia berubah (setidaknya menurut saya) kepada diriku ini.

Setiap saya ngomong (di kelas selalu ada diskusi) dia selalu memotong dan mengkritik. Herannya, kepada yang lain dia ga gitu. Gimana saya ga bingung coba?

Satu per satu saya putar ulang rekaman di otak saya. Apakah ada kata-kata atau tindakan saya yang dinilai minus olehnya?

Weleh, saya tidak tahu.

Pada pertemuan terakhir, entah kenapa saya merasa ia sudah menyiratkan alasan ketidaksukaannya pada saya. Sepertinya ia menganggap saya orang yang terlalu over-PD yang merasa paling bisa, padahal engga.

Onde mande .. tuesday ..

Kok bisa??

Apakah karena saya memang pede? Atau terlampau sering nyeletuk?

Haruskah saya pura-pura gugup dan malu-malu ketika akan presentasi?

Ah, kalau memang begitu alasannya (mungkin ya, kan belum tentu) alangkah piciknya ia.

Mengapa oh mengapa ia lakukan itu?

Tak tahukah ia, bahwa ia baru saja melakukan pembunuhan karakter terhadap saya? Karena sekarang di setiap kelasnya saya diam dan merasa sangat tak nyaman karena seolah ia selalu menyindir saya dalam setiap ucapannya.

Memang tak mungkin berharap pada manusia yang sama-sama suka lalai dan egois.



Barusan saya lihat berita mengenai TKW yang disiksa sampai tewas oleh majikannya orang Malaysia (yang sangat belagu dan hobi meng-klaim itu).

Saya jadi berpikir, kenapa ya rasanya orang 'indon' (I actually hate them when they use that word) yang bekerja di luar itu seperti yang tak berdaya, selalu jadi pihak penderita, yang jarang dapat pembela ..

Lalu saya berpikir lagi.

Mungkinkah karena kita termasuk bangsa yang punya watak 'nrimo'. Mayoritas kita adalah Muslim, kita diajarkan untuk tidak membalas perbuatan jahat yang orang lakukan kepada kita. Kita yang beragama Kristen pun diajarkan untuk memberikan pipi kiri setelah pipi kanan kita ditampar (kalau tidak salah begitu).

Kita orang timur. Tidak suka ribut-ribut. Senangnya berlaku ramah dan rajin tersenyum.

Mungkin ga karena itu??

Yah, itu mah perkiraan saya saja.

Kadang-kadang saya pikir; kita harus mulai bersikap.


Bagaimana mungkin, tidak tercipta orang-orang di garis keras, jika Amerika tidak terus-terusan membela tingkah laku ISRAEL yang luar biasa menjijikkan??

Saya dan Anda aman-aman saja di sini. Meski baru terjadi pergantian Presiden dan jajarannya, toh baik-baik saja.

Paling-paling gempa yang merupakan takdir Allah SWT.

Trus, orang-orang Palestina itu bagaimana?

Sementara hari ini saya lihat tentara-tentara biadab sudah mulai menembaki warga.

Duuh ...


Once, in one Elementary School, the teacher said to the whole class,

" ... God created all the existences in this world. God also created Evil, so I can assure you that God is Evil, because he is the one who created it ..."

One of the student raised his hand.

"Sir, I have question for you .."

"Yes, ...?"

"Sir, is cold exist?"

The teacher frowned, yet he answer the question.

"Yes, it is exist."

"No you are wrong Sir, because according to the physic law, cold is the absence of warm ..."

The teacher did not say anything.

"I have another question, Sir."

"Which is ...?

"Sir, is darkness exist?"

"Of course it is ..."

"No, Sir, you are wrong again .. because according the physic law, darkness is the absence of light ..."

Then the student finished his lecture by saying,

"Then Sir, when you said that God is Evil, again you are wrong, because Evil is the absence of God in your heart ..."

You know, that student is the famous scientiest:

ALBERT EINSTEIN



Bolehkah pada suatu titik kita merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti sejenak,
untuk memahami, untuk mengerti, untuk berfikir dewasa?
Bukankah hati juga perlu istirahat?


I just got home. Today is a long and tiring day.

I started the day by becoming a master of ceremony in a big family reunion. That was not my first time. I've became MC for many times but truly the 'today's job' is different. Because I had it along with my old phobia. A rich-people phobia.

I grew up in a big family of my grandparents. My granddad has eleven children and standard life condition. He was a teacher at his time and also a preacher. Just an ordinary man. But my grandma, she was a different story.

My grandma came from a noble and rich family. But since she married my granddad, so she became the poorest of them all. Since I was a kid, I watched many rich people came to our house, and slowly but sure I started to hate them.

Perhaps the hatred feeling is not good. They deserve better. But I had many experiences with those wealthy men, and they were not happy experiences. I often being underestimated because we are totally up side down.

But then time goes by and I grew older. And probably wiser.

And today, I won the battle against my hatred and I have my job done.

Like I said, people wanted to be understand, not be judged.



Awal bulan September ini saya mendapat kabar duka. Salah seorang sepupu saya yang masih bayi, berusia 14 bulan terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena ada air yang masuk ke paru-parunya (?). Saya sendiri tidak begitu paham apa penyakitnya, secara saya tidak ngobrol langsung dengan dokternya. Hanya kabar saja yang sampai.

Setelah sekitar 4 hari dirawat di RS Cibabat, si anak itu dipindahkan ke RS Immanuel dengan harapan ia dapat dirawat dengan peralatan yang lebih lengkap. Kalau tidak salah saya hanya sempat menengoknya satu kali, dan saya sedih melihatnya, bagaimana tidak, tangan dan kakinya di-infus, kateter untuk pipis dan selang makanan yang menjulur keluar dari mulutnya.

Di rumah sakit yang berikutnya, mamah saya cerita bahwa anak itu sudah ditempeli berbagai macam alat yang memenuhi tubuhnya. Tak bisa saya bayangkan, betapa sakitnya ia, betapa tersiksanya. Belum lagi masalah biaya pengobatan yang harus ditanggung orangtuanya, yang memang kondisinya tidak mampu.

Ah, di Indonesia itu kan biasa. Cerita lama. Orang miskin yang ditimpa musibah, tidak mampu membayar, susah (atau tidak mau) mengurus kartu miskin, dan sebagainya, dan seterusnya.

Kemarin malam, 11 September 2009, si anak dinyatakan meninggal. Ia dibawa ke rumah kakek saya pada jam 2 malam.

Hanya ada satu pikiran di benak saya. Saya terharu karena Allah pasti sudah menyiapkan tempat baginya di surga. Karena ia belum baligh. Masih suci. Siapapun orangtuanya, baik atau buruk, ia akan menjadi tabungan amal sholeh kelak di akhirat.

Subuh harinya, saya sudah gura-giru menuju rumah kakek. Saya sudah berniat akan ikut memandikannya. Saya belum pernah memandikan jenazah sebelumnya, tapi saya tahu hal itu adalah fardu kifayah bagi kaum muslimin, dan kita sebaiknya mampu melaksanakannya.

Alhamdulillah di sekolah saya sudah pernah dilaksanakan praktek pengurusan jenazah hingga menguburkan. Thanks to teman-teman guru yang ilmunya luar biasa hebat yang telah mengajarkannya pada saya.

Sesampainya di sana, saya membuka kain yang menutupi tubuh mungil itu. Ah, selain lebam-lebam yang memenuhi tubuhnya (mungkin karena terus-terusan tidur), ia nampak damai sekali.

Singkat cerita, ternyata kedua orangtuanya tidak sanggup untuk memandikannya. Saya bisa memahami. Andaikan itu anak saya sendiri (Ya Allah, jagalah anak-anak hamba) pasti saya juga begitu.

Akhirnya disepakati yang akan memandikan adalah saya dan seorang paraji. Maklumlah di kampung kakek sedikit sekali yang bisa memandikan jenazah (sepertinya dimana-mana begitu deh).

Karena ia masih bayi, maka ia tidak dimandikan di atas meja seperti orang dewasa, melainkan dipangku. Disinilah tugas saya. Maka saya pangku ia seperti saat saya membuai anak-anak saya ...

Selama prosesi memandikan, alhamdulillah saya kuat-kuat saja. Rasa sedih tentu ada. Berkali-kali saya merasakan kedua mata saya berkabut. Tapi saya sedih bukan karena saya tak rela melepas kepergiannya (Bayangkan saja, anak yang lagi lucu2nya).

Saya berkaca-kaca karena terharu dan senang. Karena saya tahu ia sudah terbebas dari sakitnya, dan ia akan ditempatkan Allah di tempat mulia di surga sana bersama anak-anak lainnya yang sudah Allah panggil pulang sebelum mereka mencapai usia baligh.

Saya buai ia dan saya bisikkan padanya kata-kata perpisahan dan mengucapkan selamat padanya karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Ia masih terlihat tertidur lelap.

Tubuh mungil dengan jiwa bersih yang belum terkontaminasi.

Calon bidadari surga.

Saya (dan juga Anda) belum tentu langsung ke sana.

Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun ...

Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya.


Ada sebuah iklan menarik yang pernah ditayangkan di salah satu TV swasta luar. Saya lupa lagi iklan apa itu, yang jelas tayangannya seperti ini:

Seorang wanita cantik aduhai memasuki sebuah perpustakaan sepi. Sang pustakawan sontak menyambutnya dengan kata-kata sapaan khas librarian.

"Is there anything you need?"

Si wanita sambil tersenyum (coba Anda bayangkan sosok Angelina Jolie dicampur sama Catherine Zeta Jones dicampur lagi sama Luna Maya, tapi berambut pirang halaah) kemudian menjawab,

"Ooh ... well, I would like to have cheeseburger, french fries and diet coke ..."

Pustakawan terkejut.

"Stt .. this is library, you have to be quiet .. and .."

Wanita cantik lalu menjawab,

"Ups, sorry .. (dengan suara berbisik) OK .. then I would like to have ... (mengulangi kata-kata yang sama)

Jika Anda dapat menangkap maksud dari penggalan iklan di atas, maka si perusahaan iklan berhasil menyampaikan pesan yang ingin mereka sampaikan.

Ya betul, cantik tidak selalu identik dengan pintar. Anda pasti ingin bertanya, "Kenapa ya?"

Saya pun pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Tapi memang 'biasanya' (biasanya lho) wanita yang cantik buanget (sampai bikin sesak napas) tidak pintar. Mungkin Allah melebihkan di satu sisi dan memberi kekurangan di sisi lain.

Atau mungkin Anda akan bilang "Ah, engga juga ..."
Saya juga akan setuju dengan Anda. Karena saya engga gitu (maksudnya saya cantik dan juga pintar, haha).

Tentu saja ini tidak mutlak. Sekarang toh banyak artis-artis cantik yang ternyata pintar secara akademis atau emosional. Namun banyak juga yang engga .. hihi

Ada satu atau dua orang yang saya kenal, yang memenuhi kriteria itu. Cantik tapi ga pintar maksud saya. Ada seorang yang saya kenal yang bahkan dunianya hanya berputar di kecantikan saja, lainnya ia buta.

Hah?? Mungkin begitu yang ada di benak Anda.

Serius. Bahkan untuk hal-hal simpel sekalipun. Dan ini yang paling penting. Wawasan. Orang perlu punya wawasan. Untuk apa? Yah untuk bisa bergaul dengan orang banyak, untuk bisa tahu dunia, untuk menambah ilmu. Banyak.

Di dunia barat bahkan tidak hanya sekedar cantik, cewek blondie dianggap bodoh. Oleh karena itulah dibuat film "Legally Blond" (kalau Anda sudah menonton). Dalam film tersebut diceritakan seorang gadis pirang yang diremehkan karena dianggap bodoh, padahal ternyata si gadis sangat cerdas.

Jika teman-teman saya yang narsisnya sudah melewati batas kewarasan itu membaca tulisan ini, saya jamin mereka pasti akan langsung berteriak,

"Tapi aku kan cantik dan pintar ...!!"

Huu enak aja mereka mau nyama-nyamain dengan saya.

Kalo saya sih, emang cantik, pintar, dan mempesona.

Yah saya tahu, dunia kadang tak adil memang.

Wakakakaka ...







Orang sangat suka bergaya. Itu harus diakui. Saya juga. Dari mulai gaya pakaian, gaya bicara sampai gaya rambut. Semuanya selalu berganti dinamis seiring perkembangan jaman. Apa yang menjadi tren jaman saya SMA, beda dengan apa yang jadi tren anak SMA sekarang.

Terus terang saya pemerhati gaya berpakaian orang. Bukan secara fashion, sebab yang satu itu saya pun buta. Boro-boro mikirin fashion terbaru, baju saya jaman kuliah aja ada yang masih terpakai sampai sekarang, secara kriteria baju bagus buat saya adalah warnanya cocok dan longgar hingga tidak membentuk badan.

Yang sering saya perhatikan adalah kalau tidak gambar, tulisan yang tercetak pada baju seseorang. Yang paling sering memakai baju seperti ini tentu saja anak muda. Tak pernah saya temui nenek-nenek pakai kaos distro. Halaah.

Anak-anak muda itu sepertinya tidak sadar dengan apa yang tertulis di kaosnya (seringnya memang kaos) atau sadar tapi pura-pura ga sadar atau sadar tapi tetap merasa gaya, atau tidak sadar tapi ga ingin menyadarkan diri, halaah ...

Suatu hari di BEC, saya pernah melihat seorang gadis manis berkaus ketat (sepertinya itu kaus adiknya, karena saking ketatnya, saya takut dia bisa sesak nafas). Di kaosnya itu ada tulisan segede gaban;

FUCK ME ALL THE TIME

Saya sontak menowel suami yang saat itu ada di samping. Berdua kami berdiskusi kira-kira si gadis tahu tidak mengenai makna tulisan itu, karena jika diartikan, akan jadi begini :

SETUBUHI AKU SEPANJANG WAKTU

Astaghfirullah ...

Dan itu bukan kali pertama.

Pada kesempatan lain, saya menemukan tulisan :

I'M SLUT = saya perempuan nakal

MOTHER FUCKER = penzina ibu

Gusti ...

Apalagi yang tulisannya "badjingan", banyak sekali anak muda yang saya lihat memakai kaos dengan tulisan seperti itu.

Saya tidak tahu kenapa mereka bangga sekali mengenakan baju model itu. Kesimpulan yang saya ambil adalah; pasti mereka tidak mengerti, dianggapnya kalau pakai bahasa Inggris berarti KEREN.

Atau, kalau mereka mengerti, berarti mereka lebih BODOH dibanding golongan yang pertama. Karena demi gaya mereka sanggup mempertaruhkan harga diri seperti itu.

Bagi saya, What you wear, is what your are. Yang kamu pakai, itulah kamu.

Bukankah gampang sekali orang awam menilai perempuan bercadar dengan label "teroris"?
Bukankah kita enak saja menilai laki-laki bersorban sebagai orang sholeh? Karena stigma yang sudah melekat dalam ingatan kita?

Maka wajar tidak, kalau saya menilai perempuan yang memakai baju dengan tulisan seperti di atas tadi sebagai perempuan "murahan"? Mohon maaf sekali.

Yah ini sekedar wacana saja sih. No hard feeling.

Tadi pagi saya melihat lagi laki-laki yang memakai jaket penuh dengan kata-kata yang sama. Kata itu adalah :

NUDE = telanjang

Hehe .. telanjang kok masih pake baju, mas?

Ada lagi yang perempuan yang pake baju bertuliskan :

DON'T HATE ME BECAUSE I'M BEAUTIFUL
= jangan benci aku gara-gara aku cantik

Naah kalau yang itu termasuk narsis mukhofafah.

Kalau yang ini :

LA PLUS BELLE DU MONDE
= paling cantik sedunia

ini jelas termasuk narsis mugholadoh.

Satu kesimpulan saya untuk tulisan kali ini:

Mun rek make baju teh, ngarti heula atuh naon hartina ...


Ini merupakan sambungan dari tulisan saya sebelumnya. Sudah baca?
Baiklah kita teruskan ya ...

Beberapa waktu yang lalu, saya juga pernah berkumpul dengan para guru bahasa Inggris untuk sebuah keperluan tertentu. Tak perlu saya sebutkan apa dan dimana ya. Pokoknya ada aja.

Pertemuan dibuka oleh sang Ketua (Oh yes, we do have a chairman). Saya sudah menduga bahwa pasti ia takkan lama berbahasa Inggris, selalu seperti itu. Setellah 'cuap-cuap' sebentar untuk membuka, ia akan langsung beralih ke bahasa Indonesia dengan mengatakan,
"Yah, pake bahasa Indonesia aja ya .. haha"

Give me a break. Pliiis deh.
Jika itu sekumpulan guru non-inggris, atau siapa gitu, mungkin masih oke. Tapi ini guru-guru bahasa Inggris loh .. hello??

Bukan saya tidak bangga dengan bahasa bangsa saya sendiri, tapi saya merasakan adanya kemalasan atau bahkan ketidakpedean untuk berbahasa Inggris. Gurunya saja sudah seperti itu, gimana muridnya.

Terus, pada saat dia ngomong ternyata suaranya serak. Sepertinya pilek. Sudah tidak mau berbahasa Inggris, pilek pula. Dalam cuap-cuapnya ia meminta maaf dikarenakan ketidaksehatan dirinya. Halaah.

"So, ladies and gentlemen, I am sorry because my sound is not good, I am sick .. so let's talk in Bahasa ..."

Bidadari pake kawat gigi (saya maksudnya hehe) juga tahu, 'sound' itu dimaksudkan bagi suara benda bukan manusia. Seharusnya ia bilang "voice". Dan kalimatnya pun ga enakeun. Arggh ...

Siang tadi saya tersenyum geli. Di sekolah, rekan saya menunjukkan karangan siswanya. Mungkin rekan saya menyuruh siswanya untuk menceritakan kegiatan sehari-hari. Yang bikin edun adalah si anak itu tahu banyak kosa kata (huebaat) namun ia sepertinya sama sekali tidak tahu mengenai struktur kalimat yang benar.

Perhatikan:

I not want go to school, pass I pray enough so my mother not ask I to go. I go back to bedroom and sleeping, to relaxed my opinion.

Lihat kata-kata yang saya cetak tebal.


"Pass" ia maksudkan 'lalu'

I pray enough = saya berdoa cukup (banyak untuk membuat ibunya tidak menyuruhnya ke sekolah)

to relaxed my opinion = untuk menenangkan pikiran.

:P

Saya cengar cengir, tapi sepakat dengan rekan saya, untuk memberikan apresiasi pada si anak karena sudah mau menuliskannya, sekaligus saya mewanti-wanti rekan saya untuk terus membimbingnya.

Gimana dong.

"Delicious, your father rich" = Enak bapak loe kaya! (versi Anggun :D)

So you know = sok tau ah!

Yah, memang susah sih. Kalau memang sudah begitu adanya, no what what.

he he he

I become want laughing
(saya jadi pengen ketawa)


Beberapa tahun lalu, saya pernah mengikuti (baca : diwajibkan) sebuah seminar pendidikan guru bahasa Inggris di Bandung Utara. Yang mengadakannya sebuah lembaga pemerintahan (tuuuut ... sensor ya). Di sana berkumpul para guru-guru bahasa Inggris se-Jawa Barat.

Awalnya saya merasa excited. Bagaimana tidak, tentu saya akan bertemu dengan rekan-rekan sejawat, saya bisa berbagi ilmu dan belajar dari mereka. Namun harapan tinggall kenangan karena ternyata oh ternyata .. motivasi orang berbeda-beda. Banyak dari mereka yang saya lihat tidak begitu mengacuhkan isi seminarnya (yang memang 'biasa' saja, mohon maaf). Dan karena mereka datang dari berbagai penjuru, maka mereka membawa segala rupa laku yang ... sedikit berbeda dengan yang biasa saya lihat.

Mengenai sikap mereka biarlah di lain waktu saya bahas.

Seperti yang saya katakan tadi, materi yang disajikan memang tidak terlalu istimewa. Kurang mengena. Saya pikir kalau seminar tingkat Jawa Barat paling tidak harus 'lumayan' lah, tapi sudahlah.

Pada suatu sesi, sesi yang sebenarnya cukup saya sukai, karena pematerinya cerdas dan lugas dalam menyampaikan hal yang dibahasnya. Sayangnya memang, tampilan in fokus darinya tidak begitu 'eyes catching', begitulah.

Saat termin pertanyaan, ada seorang guru yang bertanya bagaimana caranya jika ia ingin mendapatkan soal untuk ulangan, karena ternyata buku paket yang dipakai murid-muridnya itu di dalamnya memuat kunci jawaban. Alhasil, si guru kelabakan untuk mencari soal lain.

Saya terperangah. Heran dan juga sedih.

Saya heran membayangkan bagaimana mungkin si guru itu hilang akal hanya gara-gara ia tak bisa 'membajak' soal dari buku? Bukankah ia bisa jadi guru karena ia kuliah? Pasti ia kuliah di jurusan yang sekarang ia ajarkan .. mungkin juga tidak (seperti saya), tapi bagaimanapun persiapan itu amat penting, pun peningkatan potensi diri. Haiyaah ...

Saya juga sedih karena ia tak bisa memikirkan cara lain untuk mendapatkan soal. Karena saya pun jika sedang 'amnesia otak' terkadang mencari referensi soal ke buku-buku atau browsing di internet. Satu kali 'klik' saja bisa membuat ribuan soal 'ngaburudul'

Ah, memang teknologi dan penjaminan kesejahteraan guru belum merata ...

Beres yang itu, kemudian seorang guru kembali bertanya. Yang satu ini ajaib sekali. Begini pertanyaannya,

Penanya, "Ibu .. saya adalah guru Bahasa Inggris di ...
"Saya ingin agar siswa saya semangat dalam belajar bahasa Inggris, maka terkadang saya menyederhanakan kalimat dan membiarkan mereka untuk berkreativitas sendiri ..."

Pemateri, "Contohnya bagaimana, Pak?"

Penanya, "Begini Bu, pernah ada siswa saya yg datang mencari saya ke rumah ketika saya tidak ada. Ia mengatakan begini,

Sir, yesterday I go to house you, but there is no who who ...
(saya datang ke rumah Anda kemarin dan tidak ada siapa-siapa)

sontak meledaklah tawa satu ruangan. Saya juga tertawa. Awalnya. Akhirnya saya sedih lagi. Saya termasuk 'idealis' dalam mengajar. Saya ingin anak-anak mempelajari bahasa Inggris yang baik dan benar. Dan dari penuturan guru tersebut di atas, dapat kita bayangkan bagaimana jadinya muridnya itu.

Saya berkali-kali harus mengingatkan pada semua orang, dan diri saya sendiri, bahwa menggunakan suatu bahasa berarti kita juga menggunakan konteks budaya dimana bahasa itu dipakai.

Perhatikan peribahasa Sunda berikut ini: (mohon maaf bagi non-Sunda jika ada rooming)

'Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok."

peribahasa ini mengandung arti; suatu usaha yang terus-terusan meskipun kecil akan mendatangkan hasil juga pada akhirnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, tidak akan kita temukan kalimat yang persis seperti itu (memakai analogi batu) jadi untuk arti yang sama, kalimatnya pasti beda.

Jangan coba-coba langsung mengartikan peribahasa tersebut ke dalam bahasa Inggris, karena akan jadi seperti ini :

Water Karacak Fall On The Stone, Slowly, Slowy, Become Sloppy

Meureun.

Atau yang seperti ini.

Dalam bahasa Sunda, harta orang kaya sering digambarkan seperti ini:

"Bru di juru, bro di panto, ngalayah di tengah imah"

English version :

Bru in the corner, bro on the door, ngalayah in the middle of the house.

Asoy geboy kaaan ...

Ada banyak yang Belum Saya ceritakan di sini, tapi karena takut kepanjangan, kita bagi dalam dua bagian ya.

Lihat di sequel-nya.





Siang tadi anak-anak MA Asih Putera mengikuti lomba kabaret di Cimahi. Tadi saya sudah dapat kabarnya. Alhamdulillah mereka berhasil memenangkan juara satu. Horeee ...

Speaking of achievements, murid-murid kami itu memang rajin mendulang prestasi. Dalam berbagai bidang alhamdulillah kami sering menjuarainya. Kalau ada yang ingin bertanya, apa resepnya? Saya akan beberkan di sini.

Di sekolah kami, salah satu hal penting yang kami tanamkan adalah character building dan tentu saja pengembangan akhlak. Yang paling mencolok perbedaan antara kami dan sekolah lain adalah kedekatan kami dengan para murid. Yang saya maksud dekat adalah dalam arti sebenarnya. Di kami, adalah wajar jika melihat para guru bercengkerama dan bercanda dengan siswa. Pada waktu kapanpun mereka boleh mendatangi kami dan mengobrol. Kami bertindak tidak hanya sebagai guru pengganti orangtuanya di sekolah namun juga teman bahkan sahabat mereka. Saya bahkan sering membahasakan diri saya dengan "Aku" saking seringnya saya lupa bahwa mereka sejatinya adalah murid saya. Bapak-bapak malah sering sekali 'mengbal' dengan mereka. Kalau sudah di lapangan futsal, tak masalah siapa yang 'ngeledot' siapa .. mau guru mau murid. Makanya itulah resep awet muda kami. Anda tak percaya? banyak yang menyangka kami lebih muda dari usia sebenarnya (khususnya saya), mungkin karena setiap hari kami bergaul dengan anak-anak muda. Halaah.

Anak-anak muda yang kami bimbing ini memang luar biasa berpotensi. Bahkan yang akan dianggap 'biasa' oleh orang lain. Serius. Di mata kami, tak ada anak yang 'bodoh' atau 'biasa', semuanya istimewa, dengan caranya masing-masing. Dan tugas kami adalah memunculkan berlian yang terpendam itu. Tak masalah jika seorang anak tidak paham matematika, jika ia berbakat menyanyi. Tak masalah ia sedikit lambat dalam belajar, jika ia supel dalam berteman. Apalagi jika ia berakhlak baik, kami akan sangat bangga, minimal ia sudah menanamkan 'saham' untuk akhirat nanti.

Jika ada perlombaan, terkadang kami tak hanya mengirimkan anak yang 'pintar', namun juga yang lainnya. Kami memberi kesempatan bagi semua orang. Kami ingin tiap-tiap dari mereka merasa bahwa mereka 'bisa' dalam hal apapun, asalkan positif tentunya.

Satu lagi yang membedakan anak-anak kami adalah kepercayaan diri mereka yang tinggi. Mungkin karena kami terbiasa membebaskan mereka untuk berekspresi asalkan masih dalam batas kewajaran. Jarang kami temui anak-anak yang masih malu untuk bertanya atau ngobrol dengan guru. Beda dengan jaman saya dulu. Guru yang bisa diajak curhat mungkin hanya dapat dihitung sebelah jari aja.

Sungguh saya senang membimbing mereka. Dan saya yakin mereka juga senang belajar dengan saya. Tak percaya??

Silakan buktikan sendiri ...










Tumben kan judulnya melankolis begituh. Malam ini saya tidak bisa tidur. Sepertinya pengaruh obat dari dokter. Salah satunya Pain-killer, mungkin termasuk sleepy-killer juga.

Sungguh saya suka jejaring sosial macam facebook. Sudah pernah saya sebutkan ya? Selain menjembatani pertemuan dengan teman-teman lama (meski hanya lewat chatting dan saling mengomentari) tapi juga sering membuat saya tercengo-cengo dan bersyukur pada Allah SWT.

Para teman lama membuat saya tertawa dan tersenyum. Betapa tidak, garis wajah mereka banyak yang sudah berbeda, begitu juga dengan perawakan. Banyak yang sudah 'mapan', maju ke depan maksudnya.

Yang pertamakali saya lakukan setelah meng-confirm atau meng-add mereka adalah melihat foto-foto. Setelah itu chatting. Dan luar biasa memang apa yang bisa diceritakan sehelai foto pada saya. Sebaris percakapan di YM mengungkapkan tentang mereka hari ini.

Tentu teman-teman saya beragam. Itu saya tahu. Belasan tahun lalu ketika kami bersama, karakter pasti sudah terbentuk. Namun tetap saya dibuat kaget (kadang) dan mencoba memahami (seringnya) atas apa yang sekarang saya lihat di diri teman-teman saya.

Don't judge a book by its cover. So pasti. Meski begitu saya tak mau berprasangka dulu. Kulit belum tentu menampilkan aslinya. Dan saya manusia, tak punya hak untuk menentukan, apalagi menghakimi.

Jadi yang saya lakukan ya itu tadi. Merenung. Dan mencoba memahami. Bagi saya memahami tidak sulit, meski menjauh adalah lebih gampang.

Saya mencoba menyelami dari sisi saya dan juga dari sisi lain (apapun itu). Meski jika saya tak jua paham, tak berarti kami berhenti berteman kan?

Kalau Anda tak memahami kalimat saya, jangan menyalahkan diri sendiri. Memang susah. Saya terbiasa blak-blakan, tapi memang di sini tak mungkin bercerita lepas tanpa terungkap aib seseorang. Let's say bahwa keanekaragaman orang membuat diri saya kaya. Dan saya sedang belajar untuk membuang semua asumsi tak jelas apalagi yang bersifat prasangka.

Saya pikir semua orang ingin dipahami, bukan dinilai.

Biarlah Allah saja yang menentukan.


Last night I had a strange dream (not for the first time though) that we (me and my husband) had to protect our children from bad guys cause they would come and kill them (maybe because I watch movie too much). So I succeed saving my three children but I found my little baby died, he (or she?) is being beheaded.

This morning it was all normal until I had a stomachache. I just reminded myself to get laid for a while after finishing the works. Went to the bathroom and found stain-blood on my panty.

God, then it was just like slow motion. Went to the hospital, waited for the gynechologist. I just knew something went wrong cause I had this pain like everytime I deliver a baby.

Then the shrink told me that I lost .. her(or him). I went home numb. Could not even able to describe my own feeling. This talkactive mouth had decided to be speechless.

I know that it has not been a baby. It just a tiny thing. But I loved it. I have plans, I already arrange some things for this change. I just felt that I really lost someone, although it hasn't been able to feel anything.

Gone baby gone ..



Sore tadi saya masih duduk manis di ruang rapat MI. Ada presentasi IT. Menarik, orangnya smart. Tapi perut saya keroncongan inget baso tahu yang belum sempet dimakan. Tiba-tiba teman-teman dari TK agak kasak-kusuk hingga sampailah ke telinga saya.

"Anaknya Ibu Saidah ... meninggal .."

Sontak saya terhenyak, karena dari cerita teman-teman saya tahu anak itu usianya baru sembilan bulan. Lagi lucu-lucunya. Dada saya jadi sesak. Sembilan bulan adalah usia dimana anak biasanya belajar berjalan dan belajar ngomong. Bagaimana rasanya? Sedangkan saya saja langsung merasakan mata saya memanas.

Setiap kali menyaksikan kematian (meski tidak secara langsung) saya selalu merasa 'nyelek' .. betapa tidak, biasanya disibukkan dengan perkara dunia jadi terasa 'keselek biji kedondong' saking shock-nya (tersadar lebih tepatnya) bahwa saya takkan selamanya ada di dunia ini.

Khususnya ketika mendengar kematian anak yang masih kecil atau orang yang masih muda, saya jadi berkaca-kaca. Tersadar bahwa pada dasarnya anak adalah titipan Allah. Begitu juga suami, orangtua, teman-teman dan diri kita sendiri. Suatu hari, ketika Allah memanggil kembali milik-Nya, tak ada satupun yang bisa menghalangi.

Pertanyaannya adalah; siapkah saya??
Siapkah saya ketika Allah memanggil kaka, uni atau ade, atau anak yang ada dalam perut ini??

Akankah saya protes? Sedangkan mereka juga saya dapatkan dari-Nya?
Saya bayangkan tentu Bu Saidah teman saya itu melalui proses yang sama dengan saya. Mengandung 9 bulan dan melahirkan. Tentu dalam perjalanan hamil dan melahirkan ia pasti menngalami kesusahan sekaligus kebahagiaan karena akan mendapatkan momongan.

Saya bayangkan pasti matanya berbinar ketika pertamakali menggendong dan memeluk anaknya. Karena saya juga begitu. Kalau ada orang yang tanya:
"Bagaimana rasanya punya anak?"

Pasti saya takkan bisa menjawab. Karena perasaan itu, perasaan ketika saya memeluk dan menciumnya, memandikan, menyusui dan menidurkannya, tak ada bandingannya dengan apapun juga.

Malam ini dada saya masih sakit. Tapi bagaimanapun suatu hari saya harus siap. Entah meninggalkan atau ditinggalkan.

Wallahu'alam.



I haven't had my period since April. Well, it didn't bother me so much cause I do have irregular cycle. But then, my skirt felt so tight, I became fatter, and fatter. Good gracious, I always wanted to be fatter (I was so skinny) but indeed it doesn't comfortable. You see, fat makes you hard to breath, urge you to buy new clothes, cause the old were not fit anymore.

Back to the problem, I felt that I pregnant. Yesterday, I went to a gynechologist and have myself checked. The result is; the baby is already 5 weeks in my womb.

This is a surprise. Even though I have thought about it, still I rather shocked. And I feel little bit guilty, I am afraid the baby will feel that he or she (?) is being rejected. I accept this pregnancy, I think this is the best arrangement Allah given me.

Then, there will be, and there must be some changing plans. Before, I plan to have a fast track on my study, and I'll do whatever necessary for the succeed of my works. Now, all must wait. Like a movie, those things must slowing down .. must be on slow motion ..

and that has everything to do with this baby ..

Welcome aboard honey ..


In "THE DARK KNIGHT" movie (if you've watched) I remember a dialogue between Bruce Wayne A.K.A Batman and Alfred, his loyal assistant (or maid?). Wayne was puzzled with all of brutal things done by THE JOKER, and Alfred told him his experience in Cambodia. The dialogue below is as far as I can remember.

"This bandit stole lots of diamonds. We've been looking for them all over the place but then we saw a little boy played with the valuable stone in his hand." said Alfred.

"So, what is this bandit after then?" asked Wayne, more confuse.

"Well, you see, there are some men who just wanted to see this world in chaos. They were not looking for money, for fame or anything .. they just want to make a catastrophe .. "

The sentence uttered by Alfred is the one suited with what I feel today concerning the Jakarta Bombing, couple of days ago. You know, the ones in Marriot and Ritz-Carlton Hotels (I hope you keep up with news).

Whatever reasons they have, whatever group they come from, I just can see them as bandits. Nothing more. If they called themselves as moslem extreme group, than I want to say to them, "So you guys think that you're going to heaven? Give me a break .."

There is no one, no one in this world has any right to kill another man, let alone bunch of people. This terrorist action really make me upset. Wanna know why?

Number one : I really wanna see The MU versus Indonesia All Star (even though I am not a soccer freak). Man, this is like one in a lifetime chance, even if we already know which one is the winner.

Number two : This thing will make us (me and other muslimah) again, a target of suspicion. Since the beginning, I cannot count how many people looked at me with prejudice, just because I wear longer veil than others. So many persons misjudged me .. hello??

Number Three : If this is done by moslem extremist, well congratulation; once again you guys have put all of us AGAIN as barbarian, violence-lover tribes ..

God, can we just settle down and talk about it?? This is not Jerusalem, which I can accept the fact where Palestinian still fought the Israeli. That's different story.

If this "Bozo" people want to have a war, why don't they go to war place, where they can be some advantages??

For crying out loud .. please people .. open your heart and ask yourself, "Is this what you really want?"





Waktu kecil salah satu buku favorit saya adalah serial asrama karya Enid Blyton, Mallory Towers dan St Claire. Ceritanya mengetengahkan tentang anak-anak yang bersekolah di sekolah khas Inggris yang berasrama. Anak-anak tersebut datang dari latar belakang yang berbeda-beda, namun pada akhirnya mereka akan berhasil menemukan jati diri mereka dengan cara yang (menurut saya pada waktu itu) hebat sekali.
Percaya atau tidak, di tempat kerja, saya seakan mengalami de-ja-vu. Lembar-lembar Enid Blyton kembali membuat saya terkagum-kagum. Bedanya, kali ini saya tidak membacanya, melainkan langsung mengalaminya. Begini ceritanya.

Sekolah kami dipandang orang sebagai sekolah elit. Tentu karena mereka tahu anak-anak di sekolah kami harus membayar SPP yang jauh lebih besar dibanding sekolah lain pada umumnya. Setiap tahun ajaran baru sekolah kami akan menutup pendaftaran di awal, karena banyaknya peminat yang ingin masuk. Di satu sisi tentu saja membanggakan, namun di sisi lain juga kami harus terus menjaga kualitas kami hingga nama yang sudah bagus tak jadi lekang karena penurunan kinerja.

Diantara sekian banyak murid di sekolah kami, khususnya tingkat menengah atas, ada beberapa diantaranya yang 'extraordinary'. Tentu artinya luar biasa. Saya sebut begitu karena anak-anak ini merupakan anak-anak yang merebut lebih banyak fokus perhatian kami. Mereka adalah anak-anak yang rata-rata sering berpindah sekolah karena ketidakcocokkan, atau anak-anak yang memiliki watak 'berbeda' sehingga orangtua mereka berharap kami dapat membantu mereka membuat 'bedanya' mereka menjadi lebih baik.

Tentu Anda mengerti maksud saya. Anak-anak seperti itu bagi guru pada umumnya pasti akan dianggap nightmare. Anda akan menemukan mereka (biasanya) duduk di bangku paling belakang, tidak diperhatikan guru bahkan teman-teman mereka.

Jangan menganggap kami seperti guru pada umumnya yang akan (juga) menempatkan mereka seperti itu. Tapi jangan juga menganggap kami guru super yang akan langsung mengubah mereka jadi anak-anak manis penurut hanya dalam hitungan hari. Kami memang berbeda dari guru pada umumnya, mungkin karena kami punya semangat dan tekad (didukung jam pembelajaran yang lebih panjang) untuk mengamalkan ilmu kami dan kami memang sangat menghargai proses. Tak jadi soal perubahan itu terjadi berhari-hari, berminggu atau bahkan menghabiskan dua semester lamanya.

Namun toh saya dan teman-teman juga manusia. Ketika menghadapi kelakuan mereka, kami juga mengurut dada. Kami kesal. Luar biasa memang cara anak-anak sekarang membuat guru kelabakan.

Tapi, bukan sulap bukan sihir. Alhamdulillah dengan ijin Allah anak-anak luar biasa ini hampir selalu dapat kami taklukan. Ada yang menghabiskan waktu 3 minggu, ada yang sebulan, ada yang satu semester.

Minggu ini saya 'tercengo-cengo' melihat perubahan yang terjadi pada salah seorang murid kami. Ia pernah (dan sering) membuat kami kesal dengan berbagai ulahnya. Pernah pula tercetus keinginannya untuk pindah sekolah. Saya sendiri sempat merasa hopeless, saya merasa, kayaknya ni anak ga bakalan mungkin berubah.

Tapi ternyata, miracle does happen. Minggu ini saya melihatnya bermetamorfosa menjadi anak yang baru. Si anak baru ini begitu mandiri, dewasa dan bertanggungjawab. Dengan tanpa ragu ia mengatur adik-adik kelasnya (acara MOS pastinya) dengan tegas dan tanpa lelah ia bekerja untuk menyukseskan acara.

Saya sontak membicarakannya dengan teman-teman. Kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa ia mungkin hanya butuh sedikit penghargaan. Dengan tergabungnya ia dalam kepanitiaan MOS, mungkin ia merasa diakui, dibutuhkan, diperhatikan.

Saya tidak bermaksud mengatakan guru-guru di tempat lain tidak sebagus kami. No, saya yakin semua orang yang mendedikasikan dirinya menjadi guru, pada hari ia bersumpah (kalau ada sumpah pengangkatan) pasti ia sudah berjanji akan mengabdikan dirinya, mengamalkan ilmunya dan menjadikan murid-muridnya sebagai jalan ia ke surga. Seperti layaknya para calon dokter yang mengucapkan sumpah Hipocrates.

Yang ingin saya garisbawahi disini adalah, murid adalah manusia. Ia bukan benda yang tak bereaksi. Ia manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan hanya bisa dijejali dan dibentak untuk dapat mengeluarkan jawaban yang kita harapkan. Ia manusia dengan perasaan dan kebutuhan. Ia tak hanya butuh ilmu kita, tapi juga kasih sayang kita. Ia tidak bodoh, tapi ia sering disebut bodoh. Yang bodoh justru kita yang tak memahami bagaimana seharusnya ia dipicu untuk bisa pintar.

Yah, tapi guru juga manusia. Sama saja. Tapi toh guru lebih dewasa dari murid. Secara ilmu maupun usia. Kalau pun ada pihak yang harus mengalah, rasanya kita tak perlu mempertanyakan lagi pihak yang manakah itu.

OK, saya sebaiknya kembali ke tumpukan buku saya. Siapa tahu ada cerita bijak lainnya seperti Enid Blyton.

Sebentar saya mau cek John Grisham dulu ya ...


Pagi ini seperti biasa sebelum memulai hari-hari kami yang super keren di sekolah keren, kami mengobrol ceria kesana kemari. Salah satunya, yang akan saya ceritakan di sini dialami oleh salah seorang orangtua murid kami di MI.

Ada salah seorang orangtua murid di sekolah kami (kami punya dari level TK hingga MA) yang anaknya akan melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Sama seperti orangtua pada umumnya, tentu beliau ingin menyekolahkan putranya itu ke sekolah "favorit", maka berangkatlah mereka ke sebuah "SMP favorit" di kota Bandung.

Sesampainya di sana, si ortu murid yang notabene adalah seorang musisi band yang terkenal di Indonesia bertemu dengan panitia penerimaan siswa baru. Singkat cerita, saya tak tahu bagaimana prosesnya karena bagian ini tak diceritakan dan memang mungkin ga rame.

So, tiba-tiba ada seorang guru (saya asumsikan dia adalah panitia penerimaan siswa baru) yang berbisik pada si orangtua murid, "Pak, kebetulan lho saya belum punya laptop .."

Anda semua pasti mengerti dengan kalimat ini. Tak usah terkecoh dengan menyangka si guru menawarkan laptop atau mengajak membeli laptop bareng-bareng. Sontak si ortu murid berpikir, "Ah, cuma laptop mah keciiil .." mungkin seperti juga orang-orang lain, beliau ingin membahagiakan anaknya walau dengan begitu.

Anda juga pasti mengerti jika saya menjadi mual mendengar cerita ini. Bagaimana tidak, seorang guru tega-teganya menjual harga dirinya dengan cara seperti itu. Dan karena saya juga guru, mmmh ... (Ya Allah, kuatkan hamba di jalan-Mu ..)

Nah, tapi cerita kita belum selesai. Si anak tiba-tiba merengek pada ayahnya untuk membeli minuman di luar. Di luar gedung sekolahlah kemudian si anak berkata pada ayahnya,
"Yah, aku ga mau sekolah di sini .."
"Loh kenapa?" ayahnya bingung.
"Soalnya aku diterima pasti karena ayah mau membelikan laptop buat si guru itu ..."

Alhasil, si anak tak jadi mendaftar ke sekolah tersebut.
Saya jadi tercenung .. si anak telah memberikan pelajaran yang begitu berharga bagi saya.
Sanggup tidak, kita sebagai orang yang lebih dewasa seperti itu??


One of my friend at school (school where I teach now), well she was teaching at school (she has moved to Bogor) asked her former students to write about their school teachers. She inspired me to write about my own teacher.

My first unforgettable teacher was Mrs. Anny at elementary school. She taught me at 5th and 6th grade. She was special for me because she is really different with my other teachers. For a teacher at that time (1980s), she was genuine. She taught many things that still peculiar at that time. I cannot recall every single thing she taught, but one word for her is : sophisticate!!

One thing I most remember about her appearance was that she always wore a pair of skin-color thighs. When I was that age (9/10 years old) it was quite odd to see a woman with thigh cause it is usually worn by "popular woman" (if you understand what I mean).

Mrs. Anny was the one who told me to improve my English. It was also strange to me, because at that time I did not know that the English I learned from my mother would be something valuable for me in the future.

Mrs. Anny was my teacher. I said was because she already passed away in 1992 (if I am not mistaken) when I was in junior high. She died because of the brain-cancer after previously left by her husband (for the same disease). I was touched when I came to pay my last respect for her. Not only because of her disappearance, but also because she apparently lived in a very shabby (sorry to say) house. How I had to sigh to see it.

My second outstanding teacher is Mrs. Yoyoh at junior high school. She taught Sundanese which is only given 2 hours a week, but she is more popular than math or science teacher. She was popular because she was severe. There was no bad kid in my school who was not scare of her. She liked to punch the bad kid and yelled at him or her.

I only taught by Mrs. Yoyoh on my last year. But it was a very unforgettable year. She often told us tales, which made us LOL (a really laughter out loud). But don't try to be undiscipline or she would punish you. I, myself was slapped by her when I forgot to wear my hat on ceremony day.

I like Mrs. Yoyoh not only because of her stories, but also because I always get 9 for my sundanese. Of course that was because my ability, not because her slap on my cheek ...

My favorite teacher in senior high school was the one and only Mr. Bimo Prakoso. He taught chemistry (big surprise, huh?). I was charmed by his brightness (he is totally smart!!) so I learned hard for chemistry. It is extremely a MUST to like the teacher to be able to master the knowledge .. I have proven that ...

Mr. Bimo was an ordinary man (in appearance) but very extraordinary in science and knowledge. When he talked, no one would say or look other way but to listen to him carefully. He was a magnet. He was our clown (coz all of his stories are funny - guaranteed). He was like encyclopedia (coz all of his knowledges made us all stunned).

Unfortunately, Mr. Bimo was no longer with us. He only taught us 1 or 2 years. But still, he is one of the brightest person I ever seen in my life.

In the university, unlike other friends, I adore a severe lecturer. She was hated by many persons because of her cruelty. She was Madame Oom. I could not tell you here how a lot of my friends hated her because of something that I also could not tell here. What I'm gonna tell you is her special thing that made me admire her.

Like you already knew (maybe) I really give a big respect to those who have vast knowledge. Mme. Oom is one of them. She is really bright. Totally smart, and I like the way she conduct the teaching situation, although sometimes she was annoying .. upps!!

Those people I write here are the most unforgettable teachers in my life. It does not mean that I ignore the others, but you see, to be remembered by your students, you must be unique, fresh and extraordinary.

I am a teacher now. I just hope that one day one or two of my students (hopefully all .. hehe) will remember me as I remember my former teachers now.

The question is:
Will they remember me as unforgettable teacher in positive or negative mean?

Haha ..



There are two big things that I thought about lately. One, is the announcement for S2 in UPI (which I hope for so much), and two, is two months-late of my period which led to a test pack (which made my heart beating faster). fiuuuh ...

There is one thing I want to buy, badly. That is books (which you all may figured out). After several times I manage and re-manage my bookshelves, I came to a conclusion that I do, running out new books to read.

There is one thing I must do as soon as possible. This might be everybody's nightmare (at work), that is : making book or module. Arrrgh ...

There is one kind of food I will eat for lunch. One of them is fruit salad or 'rujak', this is maybe due to the late of my "period" (or maybe this is just my imagination; coz like it or not, I always eat ... )




I'm exhausted .. really ..

Pagi ini saya sudah hariweusweus berangkat pagi-pagi dengan tujuan kampus tercinta. Jam tujuh teng saya sudah siap di depan gedung pasca sarjana. Dengan semangat sembilan-puluh-tujuh (saya angkatan 97) saya bergabung dengan lautan manusia yang mencari-cari ruang ujian.

Di ruangan saya ada kira-kira 25 orang. Ruangannya bagus en nyaman. Saya pikir langsung 'teng' eh taunyaa masih nunggu sampe jam setengah delapan. Tau gitu saya cari sarapan dulu, walhasil sepanjang ujian perut saya dangdutan.

Sang pengawas tak lain dan tak bukan adalah dosen saya tercinta. Ah senangnya lihat madame Iim. Jadi pede rasanya, :P.

Pas membagikan soal dan kertas LJK, sempet-sempetnya dua kali Madame Iim membujuk saya untuk mengubah pilihan ke jurusan kami. Hihihi .. lucu juga, berkali saya mengatakan;
"Desolee, madame .. sekarang ke anglais dulu ya .."

Soal ujian pertama bahasa inggris 60 soal dalam waktu 1,5 jam. Ternyata semua jurusan mendapat soal tes yang sama. Entah gimana penilaiannya. Saya jadi senyum-senyum, soalnya tipe soalnya sama banget ama yang sering saya kasih ke anak-anak murid. Teks semua, cuma tingkat kesulitannya aja yang berbeda. Jam sembilan saya sudah selesai (nyombong ... hehe) tapi ternyata harus nunggu sampe 09.30. Padahal ga tau deh bener engganya jawaban saya.

Pas waktu istirahat saya bergegas ke bawah mau cari makan, waktu yang dikasih cuman 15 menit saja. Di tangga (berhubung lift amat sangat ngantri) saya ketemu Monsieur Riswanda, dosen saya juga. Beliau tak ingat siapa saya, tapi pas saya sebutin "Saya Irma, pak.." dia langsung melotot,
"Ngapain kamu ke bahasa Inggris??"
Waah .. curiga nih jangan-jangan keputusan saya "membelot" sudah sebelumnya dibicarakan di ruang dosen.

Tes kedua is a disaster. Haha. Ga persis seperti itu sih. Cuman masalahnya tes kedua adalah Tes Potensi Akademik, yang di dalamnya itu salah satunya ada ... yak betul!! matematika sodara-sodara ..

Matematika-nya sih sederhana, tapi karena kapasitas saya yang pentium 2 ini jadinya lemooot banget. Mana diwaktu lagi. Huu .. ternyata yang merasa begitu bukan saya aja, terbukti waktu pengawas bilang waktunya habis, banyak teman-teman seruangan yang pada protes. Abis rata-rata sudah langkung senior sih ... :D

Untuk peserta jurusan non-bahasa, ini adalah tes terakhir. Tapi untuk orang-orang bahasa ada wawancara pada jam satu. Maka bergerombol kembalilah kami para orang-orang "berkebutuhan khusus" ini.

Dan bagian inilah yang paling bikin saya puyeng. Jumlah peserta untuk bahasa inggris ada sekitar seratus-an (kalo ga salah saya menghitung) ruang wawancara hanya ada dua, plus untuk pelamar s-3 lama sekali mereka diwawancara. Wajar sih karena calon mahasiswa s-3 harus menyertakan proposal disertasi, jadi langsung dibahas. Sampai-sampai saya kepikiran jangan-jangan langsung bimbingan bab 1 hehe.

Ternyata yang pembelot bukan cuma saya. Tadi saya temukan ada anak Jepang, HI dan ekonomi. Ah, senangnya sesama kaum minoritas.

Dosen saya tadi, Pak Riswanda ternyata bolak balik karena beliau pun mewawancara yang prancis. Sambil mondar-mandir, dia narik-narik saya;
"Ayo Irma .. ke ruang sebelah .."
Maklum kelas wawancara prancis sebelahan.

Ketika tiba giliran saya (jam 15.30, setelah nunggu, dari jam satu) , saya sudah siap dengan pertanyaan jackpot itu.
"Why don't you go to french, it's next door .."
Huahh .. susahnya meyakinkan orang-orang kalau saya memang ingin ke bahasa Inggris (dulu).

Coba cermati kalimat tanya ini:
"How do you learn English, you are not from English department?"
"Well, I learn it autodidactically .." (jawaban saya)
Penguji diam. Mungkin ingin saya jawab lebih banyak.
Saya ngoceh.
"Have you ever joined English course before?"
"No, sir." (emang harus gitu??)
"So how do you possibly learn it? Is there someone in your family taught you?"

Kenapa sih satu topik aja sampe banyak gitu pertanyaannya?
Can they just judge me? I answered them in English. Not in French.

Tapi saya pikir saya sudah save sampai sana. Ndilalah, ada pertanyaan:
"Do you know what is the latest updated highlight in English teaching?"
Dengan pedenya saya bubbling mengenai .. bla .. bla ..

Dan dengan pandangan menusuk si penguji mengatakan;
"No, you don't know .. the latest updated is writing based .."

Huh bodohnya hamba ini ya Allah. Bukankah setiap hari kasih latihan teks sama anak-anak di sekolah, tentu saja it's all about writing competence!!

Bodoh .... bodoh ... bodoh ...

Jadi perasaan saya tadi rasanya de-ja-vu ke jaman sidang. Saya yang suka sok pintar, ngerasa bisa jawab .. padahal salah ..

Anyway, saya sudah berusaha kan. Allah saja yang menentukan.

mmh ...


Keinginan saya untuk sekolah lagi sudah tak terbendung. Rindu sekali rasanya duduk mendengarkan dan memperhatikan dosen. Sudah terlalu lama saya ngoceh di depan orang lain, sudah waktunya saya mendengarkan orang lain.

Setelah dapat lampu hijau dari salah satu atasan (jangan heran ya, atasan saya banyak), akhirnya saya mengunduh formulir untuk pendaftaran. Salah satu persyaratannya adalah : harus ada rekomendasi dari dosen yang mumpuni. Atas saran seorang teman, saya menelepon salah satu profesor yang juga orangtua salah satu murid di sekolah saya. Teman saya bilang, beliau pernah memberikan rekomendasi kepada salah satu guru bahasa Inggris di sekolah kami.

Tapi saya terpaksa kecewa. Beliau tak mau memberikan rekomendasinya. Saya mengerti. Beliau tak mengenal saya. Padahal jelas-jelas dalam kertas rekomendasi itu diminta untuk menuliskan berapa lama si pemberi rekomendasi mengenal si subyek.

Tapi yang saya sayangkan adalah beliau seperti meragukan saya. Karena saya mengambil jurusan yang berbeda dengan jurusan di S-1 saya. Ah .. mungkin ini hanya persepsi, tapi kalau sudah begini saya jadi gemes. Saya jadi ingin berusaha sungguh-sungguh supaya lulus. Saya ingin membuktikan pada beliau bahwa saya sanggup lulus dan sanggup bersaing dengan orang lain.

Hari ini, setelah mendapat rekomendasi dari dosen saya tercinta, saya memasukkan formulir pendaftarannya. Tes-nya tanggal 15 April.

Hanya satu yang saya harapkan; mudah-mudahan soal matematika-nya bener-bener sederhana. hehe.

So wish me luck everyone ...


Dulu, ketika saya belum berjilbab dan masih kecil, saya suka ribet lihat orang pake kerudung. Apalagi yang panjang. Kelihatannya gerah banget. Setelah saya pake jilbab, malah nyaman banget. Ga usah ribet ngurusin rambut (makanya sebelum pake jilbab saya sebel sendiri karena jadi perempuan tuh suka dikomentarin gaya rambut).

Fase pembelajaran agama bagi saya dimulai ketika masuk ROHIS di SMA. Tak berarti saya ga belajar agama. Dari kecil saya sudah belajar ngaji ke mesjid deket rumah, tapi ya itulah , kurang ngena, mungkin karena masih kecil dan suruhan orangtua.

Waktu saya di rohis (namanya KARAMA) SMA, saya jadi anggota paling aneh. Gimana engga, akhwat yang lain kalem-kalem dan ga pernah mandang lawan bicara yang ga sejenis (laki-laki maksudnya, bukan jenis jin). Kalo saya, yah banyak omong dan saya suka penasaran kalo ngomong sama ikhwan yang nunduk-nunduk terus. Apa nyari uang yang jatoh kali ya? Gitu pikiran saya waktu itu.

Kalo saling memanggil, mereka pake istilah ana dan antum. Pertama kali saya bingung. Kenapa banyak sekali orang yang namanya Ana? Ga kreatif banget deh orangtuanya.

However, dari teman-teman disanalah saya banyak mendapat ilmu. Dan merekalah yang saya kagumi. Usia masih muda tapi ibadahnya melebihi orang yang sudah tua. Prestasi? jangan tanya deh, semua teman-teman akhwat saya di rohis masuk 10 besar di kelas mereka.

Masuk kuliah, lebih dahsyat lagi. Secara, saya ketemu dengan lebih banyak lagi orang sholeh. Apalagi kampus deket banget ama Daarut Tauhid. Rasanya hidup saya waktu itu kalo diibaratkan filem kartun dikelilingi sama bunga-bunga. Indah sekali. Walaupun diri ini masih 'slebor' hihi .. tapi saya selalu merasa orang-orang sholeh itu menerima saya apa adanya.

Dari semua pengalaman itu, saya jadi terbentuk menjadi orang yang ehem lumayan faithful. Di kelas Prancis 97, teman-teman sepertinya menganggap saya punya komitmen yang lebih terhadap Islam. Bener banget. Walo daku masih 'metal' tapi juga religius. Mantaff ga tuh?? (mohon maaf kalo agak narsis).

Akhirnya dimanapun saya berada, saya suka ingin mewarnai orang dengan keyakinan saya. Tentu dengan koridor-koridor tertentu. Saya bukan termasuk orang ekstrem yang maksa atau militan (naon seeh??). Saya ya saya apa adanya. Tapi mungkin dengan keberadaan, gaya dan cara berpakaian saya saja orang sudah mengerti.

Tapi anehnya beberapa waktu terakhir ini kok saya jadi rada apatis yah? Saya mencoba merunutnya. Dulu ketika bergaul dengan orang sholeh saya suka terkagum-kagum. Akan saya tulis kata-katanya, saya ingat kalo bisa saya contoh. Saya senang kalo ada orang yang sanggup memberikan pencerahaan pada orang lain dengan disertai dalil-dalil Qur'an maupun Hadits. Rasanya, subhanallah .. saya mah masalahnya datang dari latar belakang yang amat umum. Jadi bayangkan seorang movie mania yang ketemu langsung sama Steven Spielberg, atau seorang persib-mania yang ketemu langsung sama Zaenal Arif. Seorang penggemar musik ketemu David Foster. Seperti .. ah sudahlah.

Entah kenapa (sebetulnya saya tahu kenapa tapi rasanya enak kalo memulai dengan'entah kenapa'), saya jadi sering bertemu dengan orang-orang yang menurut saya latar belakang agamanya edun banget tapi kenapa yah, kok saya ga tersentuh dengan ucapan mereka.

Ketika mereka mengurai agama dari berbagai sudut pandang, dari bermacam kitab entah kuning entah putih, saya tak bergeming. Rasanya kok kayak nonton film yang blur. Saya mencoba untuk bersikap objektif. Saya berfikir apakah karena ada perasaan pribadi? Ah, engga juga. But Why?

Saya entah kenapa suka merasa mereka seperti membodohi. Walau apa yang mereka sampaikan saya yakin itu benar, tapi mengapa saya tak tersentuh seperti ketika batin saya melembut karena muhasabah Aa Gym dengan kata-katanya yang amat sangat sederhana itu.

Plus, ada salah seorang teman yang juga berlatar belakang agama membuat saya tertohok. Dia bilang dia tak suka perempuan berjilbab. Dia ingin punya istri yang tak berjilbab, yang tahu kapan waktunya pake kerudung dan tidak. WHAT???

Saya bukannya benci sama non-jilbaber. Saya orang dengan open-mind. Saya terbuka. Tapi mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya, saya reuwas. Dia kan pesantren-an, dia tahu ilmu agama. Entahlah.

Mungkin memang saya aja yang ekstrem. Masa kayak gitu aja dipikirin. Sah-sah aja sih itu kan pilihan. Hidup ini pilihan. Akhirnya saya menerima fakta bahwa hidup kan berwarna-warni. Tak perlu dikotak-kotakkan. Betul juga kata dia, tak perlu pake jilbab untuk bisa sholeh, toh masalah ketakwaan Allah SWT yang menilai. Tapi dia juga lupa bahwa jika seorang perempuan muslim sudah sanggup menutup auratnya, maka dalam satu hal ia telah menutupi dirinya sendiri dari dosa.

Ah .. ga tahu deh, yang pasti saya jadi makin apatis. Kenapa sih orang-orang yang notabene berilmu agama kayak gitu?? Apa jadinya saya yang awam ini? Mengapa kalian tak bisa menjadikan diri kalian contoh??

Mengapa kalian berkoar-koar tentang ayat, hadist tapi diri kalian sendiri menyakiti orang lain??

Saya pernah disakiti orang berilmu tinggi. Setiap kali si orang itu menyampaikan suatu pencerahan batin saya menjerit "Lalu kenapa kamu berbuat begini sama saya?? Makan aja tuh ayat!!!!!"

Sahabat terdekat saya mengatakan,
"Jangan gitu dong. Jangan kamu salahkan semua orang dengan ilmu agama tinggi, tak semuanya begitu. Abi (yah .. ketauan deh sahabatnya siapa) sering kok ketemu sama orang sholeh yang baik, rendah hati .. bla bla bla"

Tentu saja saya tak main pukul rata. Saya tidak men-generalisir. Saya yakin masih banyak orang sholeh yang hebat. Yang tak sekedar ngomong. Yang benar-benar mengamalkan ilmu yang mereka miliki.

Ah, andaikan orang-orang yang membuat saya kesal ini tahu betapa berharga apa yang mereka punya. Betapa dekatnya mereka dengan para nabi, karena merekalah penerusnya. Betapa masih banyak orang di luar sana yang belum tersentuh, masih menunggu hidayah datang. Sementara mereka ..

Ah, saya bingung. Maka, biarkan saya dalam fase ini dulu. Pasti saya melangkah ke fase berikutnya nanti.

Tenang saja, saya belum berubah kok. I am still that faithful person.


Ceritanya suami saya mau reunian lagi sama teman-teman SMA-nya. Kenapa saya bilang lagi, karena mereka sempat ketemuan kira-kira sebulan yang lalu, tapi karena belum lengkap semua jadi mereka memutuskan untuk reuni-an lagi.

Tempat reunian di Bandung. Tadinya mau di Jakarta, tapi entah kenapa jadinya di Bandung (alaah .. lagian saya juga ga mau ikut campur :) ). Tempatnya kalau bisa harus deket dengan jalan TOL supaya orang-orang dari luar kota gampang nyarinya.

Suami saya akhirnya memutuskan Warung Ibu Kadi sebagai tempat ideal. Pertama karena lokasinya di Pasteur, kedua karena makanannya enak. Sabtu siang kemarin ia mengajak saya untuk survey ke sana, waaaah tentu saya tak nolak, walopun suami sudah wanti-wanti, supaya saya ga terlalu banyak mesen makanan, maklum budget kami lagi pas-pasan.

Setelah lihat-lihat menu (bertiga; abi, saya dan aisha), saya akhirnya memilih nasi goreng spesial dengan isi ayam, udang, sosis, baso. Pertama, karena pas mau milih gurame ternyata harganya sekarang 54.000, kedua karena saya laper, jadi kayaknya nasi goreng spesial bisa memuaskan seleraku (atau perutku??).

Nasi gorengnya enak. Tapi saya langsung berkomentar sama suami saya,
"Jangan jadi bi, reunian di sini."
"Loh, kenapa?" tanya suami saya.
"Porsi nasi gorengnya dikit." kata saya sambil menyuap banyak-banyak.
Sontak ia tertawa. Saya cemberut deh jadinya.

Semua orang yang mengenal saya tahu saya makannya banyak. Dihitung-hitung dalam sehari saya makan antara 4-5 kali. Walaupun si abi badannya jauh lebih besar tapi makannya teuteup saya yang paling gedhe (bangga).

Rasanya kebiasaan (baca= rewog) ini sudah dimulai dari semenjak saya remaja. Waktu SMP, saya ingat ketika harga semangkok bakso langganan di rumah itu 1000 perak, saya selalu mesen 2000. Kalo bikin mie instan, saya pasti bikin 2 ditambah telor dan nasi. Saya selalu nyureng kalo ada yang minta. hehe.

Teman-teman se-geng menjuluki saya si "double action" gara-gara kalo jajan bakso mie-nya diganti indomie dua bungkus (percaya ga?) dan setelah habis saya pasti mesen basonya aja (lagi).

Waktu masuk SMA, tau sendiri kan suka ada ospek-nya. Waktu itu kami disuruh meminum habis satu gelas berisi bubur kacang ijo yang lebih banyak airnya ketimbang kacang ijonya. Ada sekitar 6 atau 8 orang teman perempuan saya yang ga habis. Padahal kalo ga habis, kami sekelas bakalan dihukum sama kakak-kakak senior yang sok galak itu (Ah .. masa-masa indah ..). Akhirnya saya menolong teman-teman dengan menghabiskan semua bubur kacang ijo tadi. Glegh .. sampai sekarang saya masih ingat betapaa kembungnya perut waktu itu.

Ajaibnya, semua makanan yang masuk (paling banyak lemak) tak membuat saya membengkak. Saya ceking-ceking saja. Kisaran 45 - 47 kg dengan tinggi badan 160 cm. Sekarang aja saya rada gendutan, 58 kg. Itu pun sudah senang, walaupun orang melihatnya masih ideal-ideal aja.

Ketika 3,5 tahun memakai kawat gigi pun dokter gigi saya mengakui bahwa saya adalah salah satu dari sedikit pasien-nya yang tidak mengalami gangguan makan. Tahu kan, kalo orang pake behel biasanya males makan akhirnya mengurus. Saya sih memang dasarnya kurus tapi makan jalan terus. Yeah !!

Jadi, kembali ke restoran Bu Kadi tadi. Setelah menamatkan nasi goreng aduhai itu, saya mengakui dengan malu-malu pada suamiku, bahwa; I'm still hungry!!

Akhirnya sore itu saya makan martabak manis dan makan malam lagi di rumah. Tak lupa ngemil silverqueen chunky bar.

Buku dan makanan. Mmmh .. dua hal favorit dalam hidup saya. Disekap di kamp konsentrasi pun jika dilengkapi dengan timbunan benda-benda tersebut rasanya saya betah deh.

Tapi tentu saja yang menyekap saya bukan Hitler. Tapi orang-orang sholeh yang mengajarkan ilmu sama saya biar saya jadi pinter.

Sambil makan, boleh kan??






Saat ini entah kenapa saya sedang ingin bercerita tentang seorang asing yang pertamakali saya kenal secara dekat. Ia sudah tak ada lagi, meninggal sekitar tahun 2001.

Saya mengenalnya di penghujung 1998. Saya bekerja padanya di sebuah lembaga pendidikan. Badannya tinggi besar, cenderung obesitas. Kesenangannya akan makanan dan minuman yang manis-manis yang membuat berat badannya tak pernah turun.

Sebagai orang asing, ia tak pernah makan makanan Indonesia. Bukan karena sok, tapi perutnya tak kuat menanggung cita rasa makanan kita yang sangat 'spicy' itu. So, makanannya rata-rata junk food. Restoran favoritanya adalah arbys di Dago.

Pada saya ia mengaku beragama Zoroaster. Waktu itu saya tidak begitu mengerti. Tapi ia menerangkan bahwa agamanya itu penggabungan antara ajaran Yesus, Muhammad dan Buddha. Bingung kan??

Ketika masih tinggal di USA, dia pernah berprofesi sebagai policeman. Entah kenapa setelah pensiun malah memilih untuk melanjutkan kuliah, melanglang buana, menikahi gadis Filipina dan mendirikan lembaga kursus di Indonesia.

Satu hal yang membuatnya mirip dengan orang Indonesia adalah ia tak mau mengeluarkan banyak uang yang tidak terlalu penting. Saya tak mau bilang dia pelit tapi memang untuk urusan birokrasi, dia lebih suka ngeles atau menyuap pegawai rendahan pemerintah untuk memuluskan jalannya. Mirip kan dengan orang Indonesia?

Ada lagi; ia sangat suka pada anak-anak. Ada beberapa kali kesempatan ketika ia keluar bersama kami untuk sebuah keperluan. Ketika di jalan ia melihat ada pengemis yang membawa anak kecil, ia akan serta merta meminta anak tersebut. Padahal kami tahu di rumahnya, selain anaknya sendiri, ia punya sekitar empat orang anak angkat.

Bagaimanapun, ia adalah orang asing pertama yang secara intens berinteraksi dengan saya. Saya banyak berbicara dengannya. Dialah yang sering memperkenalkan istilah-istilah 'slank' pada saya. Dia bahkan pernah mampir ke rumah saya dan makan bolu kukus yang disuguhkan mamah.

Maka, ketika saya mendengar kematiannya, saya cukup terhenyak. Ingin rasanya saya datang di hari pemakamannya, tapi apa daya waktu itu saya ada keperluan mendadak, dan mungkin aneh juga ketika dulu saya menghadiri kebaktian kematiannya.

Hari ini saya mengenangnya. Hari ini saya banyak mengingat-ngingat orang. Entah kenapa. Mungkin karena sedang malas mengerjakan soal latihan untuk murid-murid atau sedang tidak mood baca (pengen beli buku baru huuuu).

Dr. Logue (begitu kami menyebutnya; atau 'si bule' di belakangnya) pernah menjadi orang yang sering memberi saya saran. Pernah minta maaf pada saya yang meminta dia untuk tidak menyentuh saya seperti ia menyentuh pegawainya yang lain. Jangan salah paham, ia selalu merasa kami seperti anak-anaknya, jadi ia senang sekali menyentuh bahu atau menepuk-nepuk kepala dengan gaya kebapakan. Berhubung diantara semua pegawainya, hanya saya yang berjilbab, jadi hanya saya saja yang protes. Dan seperti layaknya orang asing yang sangat menghargai kebebasan orang, ia menghargai protes saya.

Dengan lidah bulenya itu, tentu banyak kata dalam bahasa Indonesia yang ia tak fasih (bahkan ia tak pandai berbahasa Indonesia, padahal ketika bertemu saya dia mungkin sudah di Indonesia sekitar 5 tahun-an).

Saya ingat jika hari gajian tiba. Di amplop saya, dia akan tulis "ERMA" karena baginya itulah penulisan untuk bunyi "IRMA", berapa kali pun saya protes, dia akan jawab:
"That's what I heard, all this time .. stop complaining .."

Atau, seperti ketika ia mengganti nama sopirnya. Sopirnya (pria Jawa yang ramah dan berpostur macho) bernama Bombom, saya rasa itu nama panggilan. Karena tak bisa mengucapkannya, ia kemudian menggantinya menjadi "Boomboom" dengan pelafalan Bumbum, oleh karena itulah kami memanggil sang sopir dengan sebutan "mas bumbum".

Suatu hari istri mas Bumbum melahirkan. Laki-laki, namanya Randiko, apa gitu. Lagi-lagi si bule berkeputusan bahwa anaknya mas Bumbum bernama "Randy" (dibaca: Rendi).

Tahukah ia, saya masih mengingatnya dengan baik?


Siang tadi saya bersama teman-teman di sekolah menghadiri acara pelantikan pengurus yayasan Asih Putera yang baru. Karena pengurus lama telah dua periode memimpin maka diganti dengan yang baru hingga tahun 2014 nanti.

Saya diterima sebagai staf pengajar di Yayasan Asih Putera di tahun 2004. Merupakan pengalaman baru, karena sebelumnya saya malang melintang di dunia kursus, pendidikan formal adalah dunia baru, waktu itu.

Saya pertama kali mendengar tentang Asih Putera ketika saya kelas 3 SMA (tahun 1997). Waktu itu guru bahasa Inggris saya, Ibu Dewi Lengkawati menceritakan sekolah anaknya di daerah Cibabat yang menurutnya unik. Pada waktu itu memang mengajak anak SD kunjungan ilmiah ke IPTN bukanlah ide populer, kalau sekarang rasanya sekolah plus dimana-mana sibuk mengadakan acara ke luar.

Meskipun begitu, ketika saya menjadi warga Asih Putera, tak urung saya kaget juga. Ternyata yang sebenarnya lebih daripada bayangan saya. Sekolah ini lebih dahsyat lagi. Orang-orangnya didominasi kaum muda yang sangat progresif dan revolusioner.

Lupakanlah bayangan tentang guru Anda di sekolah dulu. Yang datang terlambat ke kelas, menyuruh mencatat, mendikte kemudian pergi. Di sini, guru-gurunya rela bahkan mengajari anak didiknya satu demi satu.

Murid di sekolah lain mungkin akan malu bertanya di kelas. Di Asih Putera, jangankan nanya; guru belum selesai menerangkan pun mereka sudah berebut ingin ikut bicara :D

Jika murid di sekolah lain cenderung takut dan menjauh dari guru, kecuali guru favorit, di sini semua guru rasanya punya fans. Anak-anak tak canggung ngobrol akrab, bahkan waktu saya mengajar di MI (setingkat SD) saya sampai sering digelayuti anak-anak saat mengajar.

Dan orang-orangnya? Wuiih pintar-pintar. Sebelumnya, ketika saya mengajar di kursus, rasanya 'asa pangsolehna' pas di sini, subhanallah jadi yang paling bodoh. tapi ga apa-apa kan jadi pangbodona diantara nu palalinter?

Tahun ini hampir tahun kelima saya bergabung dengan orang-orang luar biasa ini. Selama di sini, emang bukan pengalaman manis saja yang saya dapat, tentunya yang pahit-pahit juga. Apalagi bergaul dengan banyak orang setiap harinya; guru, murid, orangtua murid.

Hingga saat ini saya masih mengajar di Asih Putera, setidaknya hingga tahun 2011 nanti. Meski saya akui, beberapa bulan terakhir ini saya merasakan kejenuhan. Mungkin karena beban yang cukup berat menyangkut persiapan anak-anak menjelang UN.

Ini sekolah luar biasa. Guru-gurunya pun luar biasa. Dengan tanggungjawab luar biasa dan jam mengajar luar biasa. Pokoknya semua serba luar biasa. Extraordinary.

Saya tak mau berdusta dengan mengatakan saya puas dengan kondisi Asih Putera sekarang. Ada banyak harapan saya dengan sekolah ini. Ada beberapa kebijakan yayasan yang hingga hari ini mungkin berbeda dengan yang saya harapkan. Tapi saya pun tak mau mengelak dengan mengatakan saya tak mendapat apa-apa dari tempat ini.

Saya mendapat luar biasa banyak. Ilmu, tentu saja. Teman, waaah jadi memperluas silaturahmi. Saya merasa jadi guru yang hebat di sini. Biar saja apa kata orang, yang pasti kami memang guru-guru hebat.

Maka siang tadi, ketika saya menyaksikan pergantian pengurus, saya merasa masih banyak yang bisa saya lakukan selama saya masih di sini. Maafkan bila saya banyak mengomel (hehe) tapi percayalah bahwa saya setiap harinya masih bekerja dengan baik. Halaaah.

So, Asih Putera; you go for it!!!!


Saya amat berterima kasih dengan adanya facebook. Beneran ... smua teman dan kenalan jadi bisa ketemu lagi, walaupun hanya memandang fotonya aatau mengomentari statusnya. Salah satunya, saya jadi ketemu lagi dengan dua murid saya waktu pertamakali ngajar dulu di Dago. Naah, inilah yang memacu memori saya kembali ke sekitar 10 tahun yang lalu.

Saya mulai mengajar di akhir 1998 menjelang 1999. Masih kuliah tentu saja. Saya mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa inggris di jalan bangbayang Dago. Saya guru termuda di sana waktu itu. Ajaibnya, paling muda tapi saya sudah disodori kelas mahasiswa, walhasil saya seumur dengan murid atau malah murid lebih tua dari saya (contohnya si abi haha). Mungkin karena dari awal sudah berhadapannya dengan orang dewasa, terbawa hingga sekarang, saya suka mati gaya kalo ngajar anak kecil. Ga bisa aja.

Pengalaman pertama ngajar di Dago ini membekas sekali dalam ingatan saya. Gimana engga, di sinilah saya bertemu dengan suami saya .. tapi biarlah bagian itu tidak saya ceritakan di sini.

Di sanalah saya benar-benar belajar untuk 'bisa dimengerti sama orang', kalo sebelumnya saya senang bisa menerangkan sesuatu pada orang, tak peduli ngerti atau engga, maka saat itu baru kerasa, bahwa ada orang yang bergantung dengan ilmu saya, cieee ...

Kelas yang paling saya ingat ada dua kelas. Yang pertama, muridnya semua mahasiswa POLMAN, semuanya laki-laki. Rata-rata mereka butuh bahasa inggris untuk dunia kerja, maklum POLMAN kan diploma. Jadi langsung siap kerja.

Kelas kedua terdiri dari tiga orang mahasiswa POLMAN, laki-laki dan empat orang mahasiswa Geologi UNPAD, semuanya perempuan. Lucunya, karena saya masih muda (19 tahun), mereka tak ada yang memanggil saya ibu. Kalau tidak Miss ya langsung memanggil nama.

Setelah menikah (yang membuat bos saya di sana agak mencak-mencak, I am sorry Mr. Logue, may you rest in peace ..), saya menyelesaikan kuliah dan kemudian berpindah-pindah mengajar di berbagai tempat kursus di Bandung, kelas reguler, in house training atau private class.

Dari sekian banyak murid, saya juga ingat satu orang yang membekas. Namanya Andi Abdurrahman. Saya mengajarnya di suatu lembaga di daerah Supratman. Karena saya termasuk guru yang 'achtung' (itu istilah anak-anak POLMAN untuk saya; bahasa jerman, artinya 'perhatian'), saya tahu bahwa Andi adalah anak STM yang kehidupannya pas-pasan. Orangtuanya hanyalah orang sederhana.

Yang saya ingat, Andi anaknya semangat, dan lucu. Dia humoris, jadi cocok sama saya yang 'slebor'. Dulu, di kelas saya pernah memotivasi mereka (Andi dan teman-teman) untuk mewujudkan mimpi yang mereka punya. Saya tunjukkan bahwa banyak sekali orang berhasil dari bukan apa-apa. From nothing into something.

Entahlah, saya kan banyak omong, jadi setelah itu saya jadi tak ingat lagi udah ngomong apa aja. Berbulan setelah itu saya sudah pindah lagi mengajar di tempat lain.

Tak pernah saya lupakan sms itu. Tiba-tiba setelah sekian lama Andi meng-sms saya dan mengatakan dia sudah kerja di Batam. Dan salah satu kalimatnya adalah,
"Miss, saya ke Batam karena kata-kata Miss waktu itu, saya mau mengejar mimpi .."
Saya terperangah, terharu, merenung. Sungguh, padahal saya sendiri sudah lupa apa tepatnya yang saya katakan pada Andi. Tapi dia percaya penuh dengan kata-kata saya dan mau menyebrang hingga ke Batam untuk itu.

Ada banyak sekali kata-kata, atau ungkapan dari murid yang membuat hati ini bergetar. Mungkin itulah nikmatnya menjadi guru. Dari situlah kami mendapatkan setitik penghargaan. Saat murid merasa kitalah center of life-nya, wuiih tak dibayar pun rasanya rela.

Saya juga ingat ketika mengajar seorang ibu yang luar biasa cerdas. Ia mahasiswa S-3 (glegh .. bikin minder) tapi punya masalah berat di bahasa Inggris. Pada hari pertama belajar, entah kenapa, dia memutuskan untuk menceritakan kehidupan pribadinya pada saya plus mengapa dia ingin mengejar bahasa Inggris. Teman-teman sesama English instructor waktu itu sampai berkomentar,
"Kalo ingin tahu riwayat hidup seseorang, kasih aja ke bu Irma, lima menit langsung murudul .."

Padahal saya juga ga tahu kenapa orang cenderung seperti itu jika bersama saya. Oh, mungkin juga karena saya sangat banyak ngomong, jadi termotivasi mereka untuk ngomong juga .. hadaah.

Di akhir pertemuan kami, si ibu S-3 mengatakan bahwa ia terkesan sekali dengan saya, bahwa saya membuatnya nyaman untuk belajar. Alhamdulillah. Atau ketika saya mengajar di rumah sakit Cicendo. Saya mengajar para perawat. Salah seorang perawat ternyata kenal dengan salah seorang kerabat saya. Dan ia berkata pada kerabat saya itu betapa saya berbakat padahal masih sangat muda, betapa ia enjoy belajar dengan saya.

Saya tak bermaksud menyombong di sini, walaupun saya emang narsis, manis dan optimis. Maksud saya adalah, betapa pagi ini saya tersenyum sendiri dan merasakan hati saya menghangat karena saya tahu ada banyak orang di luar sana yang sudah menerima ilmu yang pernah saya berikan pada mereka. Betapa mereka senang dengan saya, nyaman dengan saya dan mengaku mendapatkan manfaat.

Saya merasa senang karena salah satu amalan yang tak pernah akan putus hingga ke akhirat adalah ilmu yang bermanfaat. Biarlah ilmu yang saya ajarkan kata orang 'bahasa kafir' biarlah meski hanya sedikit yang saya tularkan, tapi saya yakin jika ikhlas, semua itu akan bersaksi bagi saya di alam sana ..

Wallahu alam.





Di komplek rumah saya, ada tukang sayur yang amat terkenal. Namanya Ucok, atau mang Ucok, entah kenapa namanya begitu padahal beliau orang Sunda, bukan Batak.

Mang Ucok hampir setiap hari jadi pujaan ibu-ibu, kecuali hari Senin karena pada hari itulah ia mengambil libur (keren ga tuh?). Selain karena bageur juga karena harga sayurannya jauh lebih murah dibanding tukang sayur lainnya. Ibarat, kalo harga ayam di orang lain udah 20 rebu, di mang Ucok masih bisa 17 rebu, lumayan kan yang 3 rebu bisa buat beli cabe.

Mang Ucok adalah salah seorang yang saya kagumi. Kenapa? Karena prinsip hidupnya yang sederhana. Anda tahu, jika menghitung barang belanjaan ibu-ibu, dia suka seenaknya saja menghitung, tapi bukan berarti merugikan pembeli, sebaliknya justru sering menguntungkan. Contoh,
"Mang ini berapa?" Saya mengacungkan sebungkus tomat.
"Itu 5 rebu." jawabnya.
"Ayam 18 rebu ditambah ini jadi 23 rebu ya?" tanya saya meyakinkan (bukan apa-apa, bilih lepat, da saya suka salah ngitung)
"Udahlah 20 rebu aja .." sahutnya cuek.

Tuuh kan ...? Padahal udah saya itung berapa kali juga hitungan saya bener kok.

Ketika saya tanya padanya, kenapa dia cuek seperti itu, padahal kan lumayan kalo jadi untung, dia tersenyum dan menjawab:
"Ah bu .. sayah mah ga ngambil untung banyak, asal berkah we bu .. jadi banyak yang beli, nu penting mah orang mau belanja ke sayah .."

Hebat ga?

Satu hal lagi, ia tak pernah pegang kalkulator. Semua hitungan di luar kepala. Sama dengan saya, semuanya di luar kepala. Bedanya, kalo saya, di luar kepala teh brarti ga ada yang nyangkut. hehe. Di samping bisa berhitung cepat (mohon maaf, tapi bagi saya ini merupakan prestasi) ia juga bisa hapal setiap pesanan ibu-ibu, tanpa catatan. Setiap hari ia hapal ibu siapa yang mesen ayam 3 kilo, ibu mana yang mesen cumi 1/2 kilo, kakap merah, udang, ... de el el

Jadi singkatnya, saya termasuk fans Mang Ucok. Enaknya, kalo uang belanja lagi dikit, bisa ngutang juga. hi hi ..

So, pada suatu hari, tepatnya tiga hari yang lalu Mang Ucok minta sama si mamah (dan juga saya) untuk menghadiri pernikahan anaknya. Jadi, hari ini, tepatnya siang tadi saya mencoba memenuhi undangan itu.

Menurut info, rumah Mang Ucok tidak jauh dari komplek GBR. Dari rumah saya berarti ga nyampe 1/2 kilometer. Maka dengan membonceng mamah dan aisha, saya pun melaju menuju kediaman Mang Ucok. Sebelum GBR saya sebenarnya aga degdegan karena di situ ada jalan mudun yang kemiringannya hampir 90 derajat, tapi alhamdulillah terlewati juga.

Setelah itu belok kiri, lurus terus. Saya berharap akan segera melihat janur kuning, tapi tak ada. Sesudah kira-kira 2 kilo, belom juga ada. Saya jadi cemas, jalan semakin jelek dan bensin udah kelap-kelip (dalam hati agak dongkol juga, kebiasaan nih para lelaki ga pernah prepare bensin).

Sudah dua kali kami bertanya pada orang lewat, dimanakah gerangan rumah Mang Ucok. Dua-duanya mengatakan :
"Tos caket da .. sok lurus we .." (Sdh dekat, tinggal lurus aja)
Tapi udah lurus selurus-lurusnya belom ada aja.
Lama-lama saya curiga, ni kayaknya deket khas orang kampung. Tau engga, definisi dekat bagi orang kampung berbeda dengan definisi kita. Bagi orang kampung melewati dua sungai plus mendaki sebuah gunung, itulah yang mereka sebut dekat. Saya sudah banyak nih pengalaman dengan orang kampung mengenai perbedaan persepsi model gini.

Walhasil, akhirnya kami sampai dengan menempuh jarak sekitar 5 kilometer. Waduuh .. jalannya menyeramkan pula, jalan tanah yang becek, bolong-bolong dan nanjak terus, sampe pas tanjakan terakhir saya terpaksa harus ngedorong motor karna ga kuat. Fiuuuh ..

Anehnya, walaupun hati saya masih 'tagiwur' karena stres mikirin gimana pulangnya, tapi waktu saya lihat wajah Mang Ucok, saya jadi ikut bahagia. Mang Ucok kelihatan seneng banget, karena kami datang. Oh ya selain saya, banyak juga ternyata ibu-ibu komplek yang datang. Mungkin beliau merasa dihargai. Ah, mang Ucok .. kan kalo diundang wajib dateng mang ..

Singkat cerita, pulangnya saya terpaksa nelepon abi untuk menjemput, dan mamah serta aisha saya titipkan ke mobil tetangga.

Baru tau mang Ucok ternyata tinggal di "nuansa pegunungan"
cape deeeeh ..


Siang tadi saya setelah sekian lama kembali menggunakan jasa angkutan cimahi - ledeng untuk sebuah keperluan. Sudah tak ingat lagi saya, kapan terakhir naik angkot ini, maklum seringnya pake motor. Mau tak mau saya jadi bernostalgia.

Saya besar di Cimahi. Tapi kalo maen pasti ke Bandung. Haha .. begitulah berhubung kota kami ini kecil, jadi beli baju lebaran pun harus ke Bandung, biar puas.

Sampai SMA saya masih di Cimahi. Keputusan yang kadang saya sesali, karena sebenarnya saya dulu bisa melanjutkan sekolah ke Bandung (NEM saya ga jelek-jelek amat kok) tapi karena seneng 'ubrang-abring' sama temen-temen, ya sudahlah di sini lagi.

Tadi saya bilang, saya orang Cimahi, tapi kalo maen ke Bandung. Tapi dulu saya cuman tahu satu cara untuk bisa pergi ke Bandung, yaitu naek bis alun-alun - ciburuy, karena bis ini lewat depan rumah saya, jadi gampang banget. Tujuan jalan-jalan ke Bandung pun paling banter ke BIP (dan itu udah keren banget), memang dulu belum banyak mall seperti sekarang. BIP, pasar baru, dan .. kebun binatang.

Waktu kelas 1 SMA saya pernah rame-rame pergi ke pasar seni ITB untuk pertamakalinya. Pas pergi, kakak kelas kami tahu rute angkotnya, jadi aman. Tapi pas pulang, si kakak kelas entah kemana (tau sendiri kan pasar seni ITB tuh ramenya kayak apa), jadilah kami berlima (kalo tidak salah) terbengong-bengong tak tahu jalan pulang. Kami akhirnya terus berjalan hingga menemukan angkot yang ada tulisan 'stasiun hall' (karena dari stasiun kami tahu ada angkot ke Cimahi) .. kampungan banget .. Jika diingat-ingat (setelah saya mengenal Bandung) ternyata dulu itu saya dan teman-teman jalan dari Ganesha hingga Wastukencana. Lumayan, jauh dan panas.

Tahun 1994, kelas 2 SMP, teman saya si Reni ngajakin ikutan Sanlat di Gegerkalong. Sumpah, belum pernah saya tahu dimana itu Gegerkalong. Kami kumpul di rumah Reni di blok C Cihanjuang (yang sekarang berhadapan dengan tempat kerja saya, Mts/MA Asih Putera), trus naek angkot ke arah atas, rasanya lamaa sekali. Saya waktu itu betul-betul buta arah. Setelah di sana baru saya tahu bahwa kami ikut pesantren kilat di Daarut Tauhid, yang kemudian terkenal dengan Aa Gym-nya. Jadi saya cukup bangga juga karena telah pernah mengenal beliau jauh sebelum beliau jadi selebritis seperti sekarang. He he.

Ketika UMPTN (tahun 1997), akhirnya tibalah waktu bagi saya untuk menjelajahi Bandung. Tidak seperti teman-teman yang dapat lokasi tidak terlalu jauh, lokasi yang saya dapat adalah di SMA Muhammadiyah Jalan Banteng, daerah Buah Batu. Nah dimulailah, petualangan saya. Jadwal tes memang jam 8, tapi dari rumah saya berangkat jam 6, karena jauh dan bis damri itu datangnya cuman setengah jam sekali.

Saya inget banget, hari kedua tes, saya menunggu damri untuk pulang di alun-alun Bandung (sori ya, taunya jalan pulang hanya itu sih). Seorang ibu menyapa saya,
"Kuliah dimana, Neng?"
Saya karena ke-geeran langsung menjawab: "IKIP bu."
Padahal keterima juga belum tentu. tapi hebatnya si ibu langsung mendoakan saya cepet-cepet lulus, jadi sarjana, dapet kerja. Jadi terharu .. (maaf ya bu saya berbohong .. masih nakal waktu itu ..)

Ketika saya keterima di IKIP Bandung (pas masuk masih IKIP, pas keluar jadi UPI), mulailah persahabatan saya dengan angkot cimahi-ledeng itu dimulai.

Dari rumah, saya pake angkot dulu ke pasar antri. sebenarnya sih bisa naik di Cihanjuang, tapi biasanya sih udah kepenuhan. Ongkosnya pertama itu masih 600 perak. Itu juga udah kayak yang gede banget, maklum biasanya di dalem kota Cimahi paling gede cuman 200-300 perak.

Satu hal yang tak pernah berubah dari angkot cimahi-ledeng adalah : supir selalu (catet ya: SELALU) memaksakan penumpang sampai angkotnya penuh banget. BANGET. Saya selalu berpikiran, gimana kalo angkotnya 'mudal' begitu .. halaah ..

Hal yang berubah salah satunya adalah sekarang kayaknya tak ada lagi orang yang muntah. Believe it or not, dulu jaman saya kuliah, angkot ini selalu dipenuhi orang-orang yang memang dari tempat jauh (maklum rutenya kan melintasi kota, lagian dulu Cihanjuang-Cibaligo-Sariwangi-Gegerkalong tuh masih rada 'kampoeng) dan orang-orang yang baru belanja di pasar antri. Kebayang kan, sudah mah dijejel kayak pindang, tuh orang bawa belanjaan seudug-udug, sayuran, makanan warung ampe peuyeum juga ada. Ditumpuk-tumpuk.

Tapi tak ada yang lebih menyebalkan selain orang muntah di dalam angkot. Dan itu sering sekali terjadi. SERING. Oh my God, how I really hate that moments. Saya tadi kan bilang orang-orang yang naik angkot ini biasanya orang jauh. Mungkin mereka ga biasa pergi jauh jadi yah .. gitu deh. Yang paling parah, pernah ada anak kecil muntah pas di depan saya, walhasil baju dan tas saya ikut kena muntahannya. WHOAAAA !!! Si bapaknya tu anak memang minta maaf berkali-kali tapi tengsin men, dateng ke kampus udah bau .... yucks!

Jarak yang ditempuh angkot itu jauh. Mulai dari pasar antri - cihanjuang - Cibaligo - Sariwangi - Lembur Tengah - Ciwaruga - Gegerkalong. Waktu tempuh sekitar 40 menit sampai satu jam. Lama banget ya? Mungkin karena dia sering ngetem. Tapi kok rasanya sekarang ga selama itu ya?

Yah, pokonya dengan jarak yang jauh dan waktu yang lama, saya selalu berhasil menamatkan satu novel selama perjalanan, jadi sehari bisa 2 buku. Kalo engga pasti saya tidur (kecuali di angkot ada yang cowok cakep, malu kan kalo pas tidur, ngacay?)

Untunglah setelah itu saya jadi bener-bener menjelajahi Bandung (hehe .. kesasar, kesasar deh).

Yah itulah Romansa saya Cimahi - Bandung. Sampai sekarang kalo liat supir cimahi- ledeng jadi pengen ketawa, dan pasti si emang berpikir dalam hatinya:
"Ni orang cantik kenapa ya??"








Dua hari kemaren, bu wulan, teman saya di sekolah kebingungan. Pasalnya, stnk motornya entah kemana. Dia bingung. Maka teman-teman yang biasa minjem motor (termasuk saya) jadi ga bisa minjem jauh-jauh, da ga ada tea stnk-nya.

Teman-teman saya yang baik hati itu seperti biasa mengeluarkan kompetensi dasar mereka yang paling keren, yaitu: ngaheureuyan (termasuk saya juga). Pa Eko mulai dengan:

"Waaah .. motor tanpa STNK lumayan tuh dijual bisa laku 3 - 4 jutaan .."
Dan saya menambahi:

"Bu, kayaknya sih orang tinggal nunggu bu wulan lengah, ngambil kunci, trus diduplikat .. trus .."

Yang lain:
"Iya .. MIO kan gampang diambilnya ..."

Bu Wulan tambah bingung. Ngeliat orang bingung, kami malah tambah asyik. Memang keterlaluan. Tapi mau gimana lagi? Emang paling enak ngetawain orang teh ...

Singkat cerita, sabtu pagi ini ketika membuka dompet saya tertegun. Bergegas saya mendekati si abi.

"Bi, ini STNK abi kok ada di umi sih??"

Belum abi menjawab, saya udah langsung teringat. YA ALLAH ... jangan-jangan punya bu Wulan .. pas saya teliti : BETUL SAUDARA-SAUDARA, STNK yang diributkan itu ada di SAYA!!!!!!

Saya tak mau buang waktu. Saya langsung nelepon bu Wulan. Dan dimanakah ia? Ya, betul. Sudah di polres untuk melaporkan kehilangan STNK. Dan sudah bayar 150 ribu untuk itu.

WHOAAAAAAAA ...!!!!!! BODOH .. BODOH .. BODOH ..

Selama beberapa menit saya terus mengutuki diri sendiri. jadi teringat, STNK itu saya pinjam waktu pinjam motor buat nganterin Anggun pulang ke rumahnya hari senin. Dan selama itu .. selama bu Wulan kebingungan .. STNK-nya terselip manis di dompet saya ..

Dan saya ikut godain Wulan pula ... hiks hiks inilah hukuman bagi para jailers.

Alhamdulillah pada akhirnya uang bu wulan yang 150 rb bisa dibalikin. Dan ajaibnya, bu wulan malah berterima kasih ke saya karena STNK-nya udah ketemu.

Huuuuu ... saya merasa sangat menyesal sekali. Maafin ya bu Wulan .. saya memang mahluk cerdas yang selalu lupa ..

Kan bukan manusia aja yang bisa lupa .. bidadari juga ...!!


Akhir-akhir ini, saya lagi seneng-senengnya buka facebook. Awalnya, karena niat pengen nyari temen-temen kuliah ato sma, saya bikin account di friendster. Bukan temen lama yang didapat, malah banyak murid yang ketemu. Oh la la mungkin saya ketuaan buwat punya fs, maka atas saran suami, bikinlah saya fb.

Kerennya: (thanks to facebook inventor!) temen-temen saya banyak banget yang ketemu lagi. Dan terbengong-bengonglah saya karena mereka sudah dimana-mana (hiks, sementara saya masih di kota kecil ini ..). Ada yang sudah di Jepang, New Zealand, Prancis. Ada yang kerjanya bolak-balik, sana sini, ke luar negeri kayak pergi ke pasar baru. Jadi inget Mr. Gerhard (my husband's former boss), yang selalu pergi ke Singapore untuk mengurus surat-suratnya. Jadi beliau hanya nyampe bandara aja di Singapore-nya, abis itu balik lagi ke bandung. Ck, ck, ck, bener-bener kayak pergi shopping.

Karena saya dari jurusan bahasa, tentu saja wajar kalo teman-teman saya banyak yang kemudian tinggal di luar. Ada yang karena pekerjaan, sekolah atau bahkan menikah dengan orang asing. Jadi inget: Dulu, dosen pernah bertanya pada kami, apa alasan kami belajar bahasa Prancis. Salah seorang teman saya, Yoya dengan pedenya mengatakan bahwa ia ingin menikah dengan orang Prancis. Kami semua ketawa, tapi dosen kami tidak. Beliau bilang itulah cara terbaik untuk belajar bahasa. Gimana ga menarik, coba??

Mengutip pendapat Anggun (teman saya yang riweuh itu) dalam salah satu tulisannya: Ada perasaan iri melihat jalan hidup orang yang sepertinya lebih 'megah'. Saya suka ngerasa keren aja liat wanita karir. Yang kerja kantoran. Dikirim ke sana, dikirim ke sini, dengan dandanan yang sangat 'chick'. Jujur saja, pernah kepikiran bahwa karena menikahlah karir saya terhambat. Saya menikah di usia muda (21 tahun) dan masih kuliah pula. Jadi ketika teman-teman pas lulus kuliah bisa menggapai mimpi-mimpi mereka, saya sudah terbatasi oleh keluarga : suami dan anak-anak.

Mungkin pikiran itu wajar (hah, mencoba memaafkan diri sendiri). Saya kan manusia biasa (bukan bidadari seperti yang selama ini orang kira). Tapi, kalo difikirkan kembali, apa sih yang saya ga punya? Suami baik, anak 3 cantik-cantik (banyak kan orang yg ga bisa punya anak ato proses punya anaknya susah banget), rumah ada (walau mungil dan sederhana), mertua saya adalah the best mother-in-law in the whole world (orang lain mungkin udah gontok-gontokan tuh ama mertoku ..

Hi hi. Manusia emang gitu ya. Ga pernah merasa cukup. Jarang bersyukur-nya. Padahal saya sudah begitu banyak dilimpahi berkah dan ridho Allah SWT. Saya ga pernah bermasalah dalam hamil dan melahirkan, saya sehat, saya menikmati hidup.

So .. biarlah rumput tetangga terlihat lebih hijau. Toh tamannya gedean punya saya .

ha ha ha