twitter


Dulu, ketika saya belum berjilbab dan masih kecil, saya suka ribet lihat orang pake kerudung. Apalagi yang panjang. Kelihatannya gerah banget. Setelah saya pake jilbab, malah nyaman banget. Ga usah ribet ngurusin rambut (makanya sebelum pake jilbab saya sebel sendiri karena jadi perempuan tuh suka dikomentarin gaya rambut).

Fase pembelajaran agama bagi saya dimulai ketika masuk ROHIS di SMA. Tak berarti saya ga belajar agama. Dari kecil saya sudah belajar ngaji ke mesjid deket rumah, tapi ya itulah , kurang ngena, mungkin karena masih kecil dan suruhan orangtua.

Waktu saya di rohis (namanya KARAMA) SMA, saya jadi anggota paling aneh. Gimana engga, akhwat yang lain kalem-kalem dan ga pernah mandang lawan bicara yang ga sejenis (laki-laki maksudnya, bukan jenis jin). Kalo saya, yah banyak omong dan saya suka penasaran kalo ngomong sama ikhwan yang nunduk-nunduk terus. Apa nyari uang yang jatoh kali ya? Gitu pikiran saya waktu itu.

Kalo saling memanggil, mereka pake istilah ana dan antum. Pertama kali saya bingung. Kenapa banyak sekali orang yang namanya Ana? Ga kreatif banget deh orangtuanya.

However, dari teman-teman disanalah saya banyak mendapat ilmu. Dan merekalah yang saya kagumi. Usia masih muda tapi ibadahnya melebihi orang yang sudah tua. Prestasi? jangan tanya deh, semua teman-teman akhwat saya di rohis masuk 10 besar di kelas mereka.

Masuk kuliah, lebih dahsyat lagi. Secara, saya ketemu dengan lebih banyak lagi orang sholeh. Apalagi kampus deket banget ama Daarut Tauhid. Rasanya hidup saya waktu itu kalo diibaratkan filem kartun dikelilingi sama bunga-bunga. Indah sekali. Walaupun diri ini masih 'slebor' hihi .. tapi saya selalu merasa orang-orang sholeh itu menerima saya apa adanya.

Dari semua pengalaman itu, saya jadi terbentuk menjadi orang yang ehem lumayan faithful. Di kelas Prancis 97, teman-teman sepertinya menganggap saya punya komitmen yang lebih terhadap Islam. Bener banget. Walo daku masih 'metal' tapi juga religius. Mantaff ga tuh?? (mohon maaf kalo agak narsis).

Akhirnya dimanapun saya berada, saya suka ingin mewarnai orang dengan keyakinan saya. Tentu dengan koridor-koridor tertentu. Saya bukan termasuk orang ekstrem yang maksa atau militan (naon seeh??). Saya ya saya apa adanya. Tapi mungkin dengan keberadaan, gaya dan cara berpakaian saya saja orang sudah mengerti.

Tapi anehnya beberapa waktu terakhir ini kok saya jadi rada apatis yah? Saya mencoba merunutnya. Dulu ketika bergaul dengan orang sholeh saya suka terkagum-kagum. Akan saya tulis kata-katanya, saya ingat kalo bisa saya contoh. Saya senang kalo ada orang yang sanggup memberikan pencerahaan pada orang lain dengan disertai dalil-dalil Qur'an maupun Hadits. Rasanya, subhanallah .. saya mah masalahnya datang dari latar belakang yang amat umum. Jadi bayangkan seorang movie mania yang ketemu langsung sama Steven Spielberg, atau seorang persib-mania yang ketemu langsung sama Zaenal Arif. Seorang penggemar musik ketemu David Foster. Seperti .. ah sudahlah.

Entah kenapa (sebetulnya saya tahu kenapa tapi rasanya enak kalo memulai dengan'entah kenapa'), saya jadi sering bertemu dengan orang-orang yang menurut saya latar belakang agamanya edun banget tapi kenapa yah, kok saya ga tersentuh dengan ucapan mereka.

Ketika mereka mengurai agama dari berbagai sudut pandang, dari bermacam kitab entah kuning entah putih, saya tak bergeming. Rasanya kok kayak nonton film yang blur. Saya mencoba untuk bersikap objektif. Saya berfikir apakah karena ada perasaan pribadi? Ah, engga juga. But Why?

Saya entah kenapa suka merasa mereka seperti membodohi. Walau apa yang mereka sampaikan saya yakin itu benar, tapi mengapa saya tak tersentuh seperti ketika batin saya melembut karena muhasabah Aa Gym dengan kata-katanya yang amat sangat sederhana itu.

Plus, ada salah seorang teman yang juga berlatar belakang agama membuat saya tertohok. Dia bilang dia tak suka perempuan berjilbab. Dia ingin punya istri yang tak berjilbab, yang tahu kapan waktunya pake kerudung dan tidak. WHAT???

Saya bukannya benci sama non-jilbaber. Saya orang dengan open-mind. Saya terbuka. Tapi mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya, saya reuwas. Dia kan pesantren-an, dia tahu ilmu agama. Entahlah.

Mungkin memang saya aja yang ekstrem. Masa kayak gitu aja dipikirin. Sah-sah aja sih itu kan pilihan. Hidup ini pilihan. Akhirnya saya menerima fakta bahwa hidup kan berwarna-warni. Tak perlu dikotak-kotakkan. Betul juga kata dia, tak perlu pake jilbab untuk bisa sholeh, toh masalah ketakwaan Allah SWT yang menilai. Tapi dia juga lupa bahwa jika seorang perempuan muslim sudah sanggup menutup auratnya, maka dalam satu hal ia telah menutupi dirinya sendiri dari dosa.

Ah .. ga tahu deh, yang pasti saya jadi makin apatis. Kenapa sih orang-orang yang notabene berilmu agama kayak gitu?? Apa jadinya saya yang awam ini? Mengapa kalian tak bisa menjadikan diri kalian contoh??

Mengapa kalian berkoar-koar tentang ayat, hadist tapi diri kalian sendiri menyakiti orang lain??

Saya pernah disakiti orang berilmu tinggi. Setiap kali si orang itu menyampaikan suatu pencerahan batin saya menjerit "Lalu kenapa kamu berbuat begini sama saya?? Makan aja tuh ayat!!!!!"

Sahabat terdekat saya mengatakan,
"Jangan gitu dong. Jangan kamu salahkan semua orang dengan ilmu agama tinggi, tak semuanya begitu. Abi (yah .. ketauan deh sahabatnya siapa) sering kok ketemu sama orang sholeh yang baik, rendah hati .. bla bla bla"

Tentu saja saya tak main pukul rata. Saya tidak men-generalisir. Saya yakin masih banyak orang sholeh yang hebat. Yang tak sekedar ngomong. Yang benar-benar mengamalkan ilmu yang mereka miliki.

Ah, andaikan orang-orang yang membuat saya kesal ini tahu betapa berharga apa yang mereka punya. Betapa dekatnya mereka dengan para nabi, karena merekalah penerusnya. Betapa masih banyak orang di luar sana yang belum tersentuh, masih menunggu hidayah datang. Sementara mereka ..

Ah, saya bingung. Maka, biarkan saya dalam fase ini dulu. Pasti saya melangkah ke fase berikutnya nanti.

Tenang saja, saya belum berubah kok. I am still that faithful person.


Ceritanya suami saya mau reunian lagi sama teman-teman SMA-nya. Kenapa saya bilang lagi, karena mereka sempat ketemuan kira-kira sebulan yang lalu, tapi karena belum lengkap semua jadi mereka memutuskan untuk reuni-an lagi.

Tempat reunian di Bandung. Tadinya mau di Jakarta, tapi entah kenapa jadinya di Bandung (alaah .. lagian saya juga ga mau ikut campur :) ). Tempatnya kalau bisa harus deket dengan jalan TOL supaya orang-orang dari luar kota gampang nyarinya.

Suami saya akhirnya memutuskan Warung Ibu Kadi sebagai tempat ideal. Pertama karena lokasinya di Pasteur, kedua karena makanannya enak. Sabtu siang kemarin ia mengajak saya untuk survey ke sana, waaaah tentu saya tak nolak, walopun suami sudah wanti-wanti, supaya saya ga terlalu banyak mesen makanan, maklum budget kami lagi pas-pasan.

Setelah lihat-lihat menu (bertiga; abi, saya dan aisha), saya akhirnya memilih nasi goreng spesial dengan isi ayam, udang, sosis, baso. Pertama, karena pas mau milih gurame ternyata harganya sekarang 54.000, kedua karena saya laper, jadi kayaknya nasi goreng spesial bisa memuaskan seleraku (atau perutku??).

Nasi gorengnya enak. Tapi saya langsung berkomentar sama suami saya,
"Jangan jadi bi, reunian di sini."
"Loh, kenapa?" tanya suami saya.
"Porsi nasi gorengnya dikit." kata saya sambil menyuap banyak-banyak.
Sontak ia tertawa. Saya cemberut deh jadinya.

Semua orang yang mengenal saya tahu saya makannya banyak. Dihitung-hitung dalam sehari saya makan antara 4-5 kali. Walaupun si abi badannya jauh lebih besar tapi makannya teuteup saya yang paling gedhe (bangga).

Rasanya kebiasaan (baca= rewog) ini sudah dimulai dari semenjak saya remaja. Waktu SMP, saya ingat ketika harga semangkok bakso langganan di rumah itu 1000 perak, saya selalu mesen 2000. Kalo bikin mie instan, saya pasti bikin 2 ditambah telor dan nasi. Saya selalu nyureng kalo ada yang minta. hehe.

Teman-teman se-geng menjuluki saya si "double action" gara-gara kalo jajan bakso mie-nya diganti indomie dua bungkus (percaya ga?) dan setelah habis saya pasti mesen basonya aja (lagi).

Waktu masuk SMA, tau sendiri kan suka ada ospek-nya. Waktu itu kami disuruh meminum habis satu gelas berisi bubur kacang ijo yang lebih banyak airnya ketimbang kacang ijonya. Ada sekitar 6 atau 8 orang teman perempuan saya yang ga habis. Padahal kalo ga habis, kami sekelas bakalan dihukum sama kakak-kakak senior yang sok galak itu (Ah .. masa-masa indah ..). Akhirnya saya menolong teman-teman dengan menghabiskan semua bubur kacang ijo tadi. Glegh .. sampai sekarang saya masih ingat betapaa kembungnya perut waktu itu.

Ajaibnya, semua makanan yang masuk (paling banyak lemak) tak membuat saya membengkak. Saya ceking-ceking saja. Kisaran 45 - 47 kg dengan tinggi badan 160 cm. Sekarang aja saya rada gendutan, 58 kg. Itu pun sudah senang, walaupun orang melihatnya masih ideal-ideal aja.

Ketika 3,5 tahun memakai kawat gigi pun dokter gigi saya mengakui bahwa saya adalah salah satu dari sedikit pasien-nya yang tidak mengalami gangguan makan. Tahu kan, kalo orang pake behel biasanya males makan akhirnya mengurus. Saya sih memang dasarnya kurus tapi makan jalan terus. Yeah !!

Jadi, kembali ke restoran Bu Kadi tadi. Setelah menamatkan nasi goreng aduhai itu, saya mengakui dengan malu-malu pada suamiku, bahwa; I'm still hungry!!

Akhirnya sore itu saya makan martabak manis dan makan malam lagi di rumah. Tak lupa ngemil silverqueen chunky bar.

Buku dan makanan. Mmmh .. dua hal favorit dalam hidup saya. Disekap di kamp konsentrasi pun jika dilengkapi dengan timbunan benda-benda tersebut rasanya saya betah deh.

Tapi tentu saja yang menyekap saya bukan Hitler. Tapi orang-orang sholeh yang mengajarkan ilmu sama saya biar saya jadi pinter.

Sambil makan, boleh kan??






Saat ini entah kenapa saya sedang ingin bercerita tentang seorang asing yang pertamakali saya kenal secara dekat. Ia sudah tak ada lagi, meninggal sekitar tahun 2001.

Saya mengenalnya di penghujung 1998. Saya bekerja padanya di sebuah lembaga pendidikan. Badannya tinggi besar, cenderung obesitas. Kesenangannya akan makanan dan minuman yang manis-manis yang membuat berat badannya tak pernah turun.

Sebagai orang asing, ia tak pernah makan makanan Indonesia. Bukan karena sok, tapi perutnya tak kuat menanggung cita rasa makanan kita yang sangat 'spicy' itu. So, makanannya rata-rata junk food. Restoran favoritanya adalah arbys di Dago.

Pada saya ia mengaku beragama Zoroaster. Waktu itu saya tidak begitu mengerti. Tapi ia menerangkan bahwa agamanya itu penggabungan antara ajaran Yesus, Muhammad dan Buddha. Bingung kan??

Ketika masih tinggal di USA, dia pernah berprofesi sebagai policeman. Entah kenapa setelah pensiun malah memilih untuk melanjutkan kuliah, melanglang buana, menikahi gadis Filipina dan mendirikan lembaga kursus di Indonesia.

Satu hal yang membuatnya mirip dengan orang Indonesia adalah ia tak mau mengeluarkan banyak uang yang tidak terlalu penting. Saya tak mau bilang dia pelit tapi memang untuk urusan birokrasi, dia lebih suka ngeles atau menyuap pegawai rendahan pemerintah untuk memuluskan jalannya. Mirip kan dengan orang Indonesia?

Ada lagi; ia sangat suka pada anak-anak. Ada beberapa kali kesempatan ketika ia keluar bersama kami untuk sebuah keperluan. Ketika di jalan ia melihat ada pengemis yang membawa anak kecil, ia akan serta merta meminta anak tersebut. Padahal kami tahu di rumahnya, selain anaknya sendiri, ia punya sekitar empat orang anak angkat.

Bagaimanapun, ia adalah orang asing pertama yang secara intens berinteraksi dengan saya. Saya banyak berbicara dengannya. Dialah yang sering memperkenalkan istilah-istilah 'slank' pada saya. Dia bahkan pernah mampir ke rumah saya dan makan bolu kukus yang disuguhkan mamah.

Maka, ketika saya mendengar kematiannya, saya cukup terhenyak. Ingin rasanya saya datang di hari pemakamannya, tapi apa daya waktu itu saya ada keperluan mendadak, dan mungkin aneh juga ketika dulu saya menghadiri kebaktian kematiannya.

Hari ini saya mengenangnya. Hari ini saya banyak mengingat-ngingat orang. Entah kenapa. Mungkin karena sedang malas mengerjakan soal latihan untuk murid-murid atau sedang tidak mood baca (pengen beli buku baru huuuu).

Dr. Logue (begitu kami menyebutnya; atau 'si bule' di belakangnya) pernah menjadi orang yang sering memberi saya saran. Pernah minta maaf pada saya yang meminta dia untuk tidak menyentuh saya seperti ia menyentuh pegawainya yang lain. Jangan salah paham, ia selalu merasa kami seperti anak-anaknya, jadi ia senang sekali menyentuh bahu atau menepuk-nepuk kepala dengan gaya kebapakan. Berhubung diantara semua pegawainya, hanya saya yang berjilbab, jadi hanya saya saja yang protes. Dan seperti layaknya orang asing yang sangat menghargai kebebasan orang, ia menghargai protes saya.

Dengan lidah bulenya itu, tentu banyak kata dalam bahasa Indonesia yang ia tak fasih (bahkan ia tak pandai berbahasa Indonesia, padahal ketika bertemu saya dia mungkin sudah di Indonesia sekitar 5 tahun-an).

Saya ingat jika hari gajian tiba. Di amplop saya, dia akan tulis "ERMA" karena baginya itulah penulisan untuk bunyi "IRMA", berapa kali pun saya protes, dia akan jawab:
"That's what I heard, all this time .. stop complaining .."

Atau, seperti ketika ia mengganti nama sopirnya. Sopirnya (pria Jawa yang ramah dan berpostur macho) bernama Bombom, saya rasa itu nama panggilan. Karena tak bisa mengucapkannya, ia kemudian menggantinya menjadi "Boomboom" dengan pelafalan Bumbum, oleh karena itulah kami memanggil sang sopir dengan sebutan "mas bumbum".

Suatu hari istri mas Bumbum melahirkan. Laki-laki, namanya Randiko, apa gitu. Lagi-lagi si bule berkeputusan bahwa anaknya mas Bumbum bernama "Randy" (dibaca: Rendi).

Tahukah ia, saya masih mengingatnya dengan baik?


Siang tadi saya bersama teman-teman di sekolah menghadiri acara pelantikan pengurus yayasan Asih Putera yang baru. Karena pengurus lama telah dua periode memimpin maka diganti dengan yang baru hingga tahun 2014 nanti.

Saya diterima sebagai staf pengajar di Yayasan Asih Putera di tahun 2004. Merupakan pengalaman baru, karena sebelumnya saya malang melintang di dunia kursus, pendidikan formal adalah dunia baru, waktu itu.

Saya pertama kali mendengar tentang Asih Putera ketika saya kelas 3 SMA (tahun 1997). Waktu itu guru bahasa Inggris saya, Ibu Dewi Lengkawati menceritakan sekolah anaknya di daerah Cibabat yang menurutnya unik. Pada waktu itu memang mengajak anak SD kunjungan ilmiah ke IPTN bukanlah ide populer, kalau sekarang rasanya sekolah plus dimana-mana sibuk mengadakan acara ke luar.

Meskipun begitu, ketika saya menjadi warga Asih Putera, tak urung saya kaget juga. Ternyata yang sebenarnya lebih daripada bayangan saya. Sekolah ini lebih dahsyat lagi. Orang-orangnya didominasi kaum muda yang sangat progresif dan revolusioner.

Lupakanlah bayangan tentang guru Anda di sekolah dulu. Yang datang terlambat ke kelas, menyuruh mencatat, mendikte kemudian pergi. Di sini, guru-gurunya rela bahkan mengajari anak didiknya satu demi satu.

Murid di sekolah lain mungkin akan malu bertanya di kelas. Di Asih Putera, jangankan nanya; guru belum selesai menerangkan pun mereka sudah berebut ingin ikut bicara :D

Jika murid di sekolah lain cenderung takut dan menjauh dari guru, kecuali guru favorit, di sini semua guru rasanya punya fans. Anak-anak tak canggung ngobrol akrab, bahkan waktu saya mengajar di MI (setingkat SD) saya sampai sering digelayuti anak-anak saat mengajar.

Dan orang-orangnya? Wuiih pintar-pintar. Sebelumnya, ketika saya mengajar di kursus, rasanya 'asa pangsolehna' pas di sini, subhanallah jadi yang paling bodoh. tapi ga apa-apa kan jadi pangbodona diantara nu palalinter?

Tahun ini hampir tahun kelima saya bergabung dengan orang-orang luar biasa ini. Selama di sini, emang bukan pengalaman manis saja yang saya dapat, tentunya yang pahit-pahit juga. Apalagi bergaul dengan banyak orang setiap harinya; guru, murid, orangtua murid.

Hingga saat ini saya masih mengajar di Asih Putera, setidaknya hingga tahun 2011 nanti. Meski saya akui, beberapa bulan terakhir ini saya merasakan kejenuhan. Mungkin karena beban yang cukup berat menyangkut persiapan anak-anak menjelang UN.

Ini sekolah luar biasa. Guru-gurunya pun luar biasa. Dengan tanggungjawab luar biasa dan jam mengajar luar biasa. Pokoknya semua serba luar biasa. Extraordinary.

Saya tak mau berdusta dengan mengatakan saya puas dengan kondisi Asih Putera sekarang. Ada banyak harapan saya dengan sekolah ini. Ada beberapa kebijakan yayasan yang hingga hari ini mungkin berbeda dengan yang saya harapkan. Tapi saya pun tak mau mengelak dengan mengatakan saya tak mendapat apa-apa dari tempat ini.

Saya mendapat luar biasa banyak. Ilmu, tentu saja. Teman, waaah jadi memperluas silaturahmi. Saya merasa jadi guru yang hebat di sini. Biar saja apa kata orang, yang pasti kami memang guru-guru hebat.

Maka siang tadi, ketika saya menyaksikan pergantian pengurus, saya merasa masih banyak yang bisa saya lakukan selama saya masih di sini. Maafkan bila saya banyak mengomel (hehe) tapi percayalah bahwa saya setiap harinya masih bekerja dengan baik. Halaaah.

So, Asih Putera; you go for it!!!!


Saya amat berterima kasih dengan adanya facebook. Beneran ... smua teman dan kenalan jadi bisa ketemu lagi, walaupun hanya memandang fotonya aatau mengomentari statusnya. Salah satunya, saya jadi ketemu lagi dengan dua murid saya waktu pertamakali ngajar dulu di Dago. Naah, inilah yang memacu memori saya kembali ke sekitar 10 tahun yang lalu.

Saya mulai mengajar di akhir 1998 menjelang 1999. Masih kuliah tentu saja. Saya mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa inggris di jalan bangbayang Dago. Saya guru termuda di sana waktu itu. Ajaibnya, paling muda tapi saya sudah disodori kelas mahasiswa, walhasil saya seumur dengan murid atau malah murid lebih tua dari saya (contohnya si abi haha). Mungkin karena dari awal sudah berhadapannya dengan orang dewasa, terbawa hingga sekarang, saya suka mati gaya kalo ngajar anak kecil. Ga bisa aja.

Pengalaman pertama ngajar di Dago ini membekas sekali dalam ingatan saya. Gimana engga, di sinilah saya bertemu dengan suami saya .. tapi biarlah bagian itu tidak saya ceritakan di sini.

Di sanalah saya benar-benar belajar untuk 'bisa dimengerti sama orang', kalo sebelumnya saya senang bisa menerangkan sesuatu pada orang, tak peduli ngerti atau engga, maka saat itu baru kerasa, bahwa ada orang yang bergantung dengan ilmu saya, cieee ...

Kelas yang paling saya ingat ada dua kelas. Yang pertama, muridnya semua mahasiswa POLMAN, semuanya laki-laki. Rata-rata mereka butuh bahasa inggris untuk dunia kerja, maklum POLMAN kan diploma. Jadi langsung siap kerja.

Kelas kedua terdiri dari tiga orang mahasiswa POLMAN, laki-laki dan empat orang mahasiswa Geologi UNPAD, semuanya perempuan. Lucunya, karena saya masih muda (19 tahun), mereka tak ada yang memanggil saya ibu. Kalau tidak Miss ya langsung memanggil nama.

Setelah menikah (yang membuat bos saya di sana agak mencak-mencak, I am sorry Mr. Logue, may you rest in peace ..), saya menyelesaikan kuliah dan kemudian berpindah-pindah mengajar di berbagai tempat kursus di Bandung, kelas reguler, in house training atau private class.

Dari sekian banyak murid, saya juga ingat satu orang yang membekas. Namanya Andi Abdurrahman. Saya mengajarnya di suatu lembaga di daerah Supratman. Karena saya termasuk guru yang 'achtung' (itu istilah anak-anak POLMAN untuk saya; bahasa jerman, artinya 'perhatian'), saya tahu bahwa Andi adalah anak STM yang kehidupannya pas-pasan. Orangtuanya hanyalah orang sederhana.

Yang saya ingat, Andi anaknya semangat, dan lucu. Dia humoris, jadi cocok sama saya yang 'slebor'. Dulu, di kelas saya pernah memotivasi mereka (Andi dan teman-teman) untuk mewujudkan mimpi yang mereka punya. Saya tunjukkan bahwa banyak sekali orang berhasil dari bukan apa-apa. From nothing into something.

Entahlah, saya kan banyak omong, jadi setelah itu saya jadi tak ingat lagi udah ngomong apa aja. Berbulan setelah itu saya sudah pindah lagi mengajar di tempat lain.

Tak pernah saya lupakan sms itu. Tiba-tiba setelah sekian lama Andi meng-sms saya dan mengatakan dia sudah kerja di Batam. Dan salah satu kalimatnya adalah,
"Miss, saya ke Batam karena kata-kata Miss waktu itu, saya mau mengejar mimpi .."
Saya terperangah, terharu, merenung. Sungguh, padahal saya sendiri sudah lupa apa tepatnya yang saya katakan pada Andi. Tapi dia percaya penuh dengan kata-kata saya dan mau menyebrang hingga ke Batam untuk itu.

Ada banyak sekali kata-kata, atau ungkapan dari murid yang membuat hati ini bergetar. Mungkin itulah nikmatnya menjadi guru. Dari situlah kami mendapatkan setitik penghargaan. Saat murid merasa kitalah center of life-nya, wuiih tak dibayar pun rasanya rela.

Saya juga ingat ketika mengajar seorang ibu yang luar biasa cerdas. Ia mahasiswa S-3 (glegh .. bikin minder) tapi punya masalah berat di bahasa Inggris. Pada hari pertama belajar, entah kenapa, dia memutuskan untuk menceritakan kehidupan pribadinya pada saya plus mengapa dia ingin mengejar bahasa Inggris. Teman-teman sesama English instructor waktu itu sampai berkomentar,
"Kalo ingin tahu riwayat hidup seseorang, kasih aja ke bu Irma, lima menit langsung murudul .."

Padahal saya juga ga tahu kenapa orang cenderung seperti itu jika bersama saya. Oh, mungkin juga karena saya sangat banyak ngomong, jadi termotivasi mereka untuk ngomong juga .. hadaah.

Di akhir pertemuan kami, si ibu S-3 mengatakan bahwa ia terkesan sekali dengan saya, bahwa saya membuatnya nyaman untuk belajar. Alhamdulillah. Atau ketika saya mengajar di rumah sakit Cicendo. Saya mengajar para perawat. Salah seorang perawat ternyata kenal dengan salah seorang kerabat saya. Dan ia berkata pada kerabat saya itu betapa saya berbakat padahal masih sangat muda, betapa ia enjoy belajar dengan saya.

Saya tak bermaksud menyombong di sini, walaupun saya emang narsis, manis dan optimis. Maksud saya adalah, betapa pagi ini saya tersenyum sendiri dan merasakan hati saya menghangat karena saya tahu ada banyak orang di luar sana yang sudah menerima ilmu yang pernah saya berikan pada mereka. Betapa mereka senang dengan saya, nyaman dengan saya dan mengaku mendapatkan manfaat.

Saya merasa senang karena salah satu amalan yang tak pernah akan putus hingga ke akhirat adalah ilmu yang bermanfaat. Biarlah ilmu yang saya ajarkan kata orang 'bahasa kafir' biarlah meski hanya sedikit yang saya tularkan, tapi saya yakin jika ikhlas, semua itu akan bersaksi bagi saya di alam sana ..

Wallahu alam.





Di komplek rumah saya, ada tukang sayur yang amat terkenal. Namanya Ucok, atau mang Ucok, entah kenapa namanya begitu padahal beliau orang Sunda, bukan Batak.

Mang Ucok hampir setiap hari jadi pujaan ibu-ibu, kecuali hari Senin karena pada hari itulah ia mengambil libur (keren ga tuh?). Selain karena bageur juga karena harga sayurannya jauh lebih murah dibanding tukang sayur lainnya. Ibarat, kalo harga ayam di orang lain udah 20 rebu, di mang Ucok masih bisa 17 rebu, lumayan kan yang 3 rebu bisa buat beli cabe.

Mang Ucok adalah salah seorang yang saya kagumi. Kenapa? Karena prinsip hidupnya yang sederhana. Anda tahu, jika menghitung barang belanjaan ibu-ibu, dia suka seenaknya saja menghitung, tapi bukan berarti merugikan pembeli, sebaliknya justru sering menguntungkan. Contoh,
"Mang ini berapa?" Saya mengacungkan sebungkus tomat.
"Itu 5 rebu." jawabnya.
"Ayam 18 rebu ditambah ini jadi 23 rebu ya?" tanya saya meyakinkan (bukan apa-apa, bilih lepat, da saya suka salah ngitung)
"Udahlah 20 rebu aja .." sahutnya cuek.

Tuuh kan ...? Padahal udah saya itung berapa kali juga hitungan saya bener kok.

Ketika saya tanya padanya, kenapa dia cuek seperti itu, padahal kan lumayan kalo jadi untung, dia tersenyum dan menjawab:
"Ah bu .. sayah mah ga ngambil untung banyak, asal berkah we bu .. jadi banyak yang beli, nu penting mah orang mau belanja ke sayah .."

Hebat ga?

Satu hal lagi, ia tak pernah pegang kalkulator. Semua hitungan di luar kepala. Sama dengan saya, semuanya di luar kepala. Bedanya, kalo saya, di luar kepala teh brarti ga ada yang nyangkut. hehe. Di samping bisa berhitung cepat (mohon maaf, tapi bagi saya ini merupakan prestasi) ia juga bisa hapal setiap pesanan ibu-ibu, tanpa catatan. Setiap hari ia hapal ibu siapa yang mesen ayam 3 kilo, ibu mana yang mesen cumi 1/2 kilo, kakap merah, udang, ... de el el

Jadi singkatnya, saya termasuk fans Mang Ucok. Enaknya, kalo uang belanja lagi dikit, bisa ngutang juga. hi hi ..

So, pada suatu hari, tepatnya tiga hari yang lalu Mang Ucok minta sama si mamah (dan juga saya) untuk menghadiri pernikahan anaknya. Jadi, hari ini, tepatnya siang tadi saya mencoba memenuhi undangan itu.

Menurut info, rumah Mang Ucok tidak jauh dari komplek GBR. Dari rumah saya berarti ga nyampe 1/2 kilometer. Maka dengan membonceng mamah dan aisha, saya pun melaju menuju kediaman Mang Ucok. Sebelum GBR saya sebenarnya aga degdegan karena di situ ada jalan mudun yang kemiringannya hampir 90 derajat, tapi alhamdulillah terlewati juga.

Setelah itu belok kiri, lurus terus. Saya berharap akan segera melihat janur kuning, tapi tak ada. Sesudah kira-kira 2 kilo, belom juga ada. Saya jadi cemas, jalan semakin jelek dan bensin udah kelap-kelip (dalam hati agak dongkol juga, kebiasaan nih para lelaki ga pernah prepare bensin).

Sudah dua kali kami bertanya pada orang lewat, dimanakah gerangan rumah Mang Ucok. Dua-duanya mengatakan :
"Tos caket da .. sok lurus we .." (Sdh dekat, tinggal lurus aja)
Tapi udah lurus selurus-lurusnya belom ada aja.
Lama-lama saya curiga, ni kayaknya deket khas orang kampung. Tau engga, definisi dekat bagi orang kampung berbeda dengan definisi kita. Bagi orang kampung melewati dua sungai plus mendaki sebuah gunung, itulah yang mereka sebut dekat. Saya sudah banyak nih pengalaman dengan orang kampung mengenai perbedaan persepsi model gini.

Walhasil, akhirnya kami sampai dengan menempuh jarak sekitar 5 kilometer. Waduuh .. jalannya menyeramkan pula, jalan tanah yang becek, bolong-bolong dan nanjak terus, sampe pas tanjakan terakhir saya terpaksa harus ngedorong motor karna ga kuat. Fiuuuh ..

Anehnya, walaupun hati saya masih 'tagiwur' karena stres mikirin gimana pulangnya, tapi waktu saya lihat wajah Mang Ucok, saya jadi ikut bahagia. Mang Ucok kelihatan seneng banget, karena kami datang. Oh ya selain saya, banyak juga ternyata ibu-ibu komplek yang datang. Mungkin beliau merasa dihargai. Ah, mang Ucok .. kan kalo diundang wajib dateng mang ..

Singkat cerita, pulangnya saya terpaksa nelepon abi untuk menjemput, dan mamah serta aisha saya titipkan ke mobil tetangga.

Baru tau mang Ucok ternyata tinggal di "nuansa pegunungan"
cape deeeeh ..


Siang tadi saya setelah sekian lama kembali menggunakan jasa angkutan cimahi - ledeng untuk sebuah keperluan. Sudah tak ingat lagi saya, kapan terakhir naik angkot ini, maklum seringnya pake motor. Mau tak mau saya jadi bernostalgia.

Saya besar di Cimahi. Tapi kalo maen pasti ke Bandung. Haha .. begitulah berhubung kota kami ini kecil, jadi beli baju lebaran pun harus ke Bandung, biar puas.

Sampai SMA saya masih di Cimahi. Keputusan yang kadang saya sesali, karena sebenarnya saya dulu bisa melanjutkan sekolah ke Bandung (NEM saya ga jelek-jelek amat kok) tapi karena seneng 'ubrang-abring' sama temen-temen, ya sudahlah di sini lagi.

Tadi saya bilang, saya orang Cimahi, tapi kalo maen ke Bandung. Tapi dulu saya cuman tahu satu cara untuk bisa pergi ke Bandung, yaitu naek bis alun-alun - ciburuy, karena bis ini lewat depan rumah saya, jadi gampang banget. Tujuan jalan-jalan ke Bandung pun paling banter ke BIP (dan itu udah keren banget), memang dulu belum banyak mall seperti sekarang. BIP, pasar baru, dan .. kebun binatang.

Waktu kelas 1 SMA saya pernah rame-rame pergi ke pasar seni ITB untuk pertamakalinya. Pas pergi, kakak kelas kami tahu rute angkotnya, jadi aman. Tapi pas pulang, si kakak kelas entah kemana (tau sendiri kan pasar seni ITB tuh ramenya kayak apa), jadilah kami berlima (kalo tidak salah) terbengong-bengong tak tahu jalan pulang. Kami akhirnya terus berjalan hingga menemukan angkot yang ada tulisan 'stasiun hall' (karena dari stasiun kami tahu ada angkot ke Cimahi) .. kampungan banget .. Jika diingat-ingat (setelah saya mengenal Bandung) ternyata dulu itu saya dan teman-teman jalan dari Ganesha hingga Wastukencana. Lumayan, jauh dan panas.

Tahun 1994, kelas 2 SMP, teman saya si Reni ngajakin ikutan Sanlat di Gegerkalong. Sumpah, belum pernah saya tahu dimana itu Gegerkalong. Kami kumpul di rumah Reni di blok C Cihanjuang (yang sekarang berhadapan dengan tempat kerja saya, Mts/MA Asih Putera), trus naek angkot ke arah atas, rasanya lamaa sekali. Saya waktu itu betul-betul buta arah. Setelah di sana baru saya tahu bahwa kami ikut pesantren kilat di Daarut Tauhid, yang kemudian terkenal dengan Aa Gym-nya. Jadi saya cukup bangga juga karena telah pernah mengenal beliau jauh sebelum beliau jadi selebritis seperti sekarang. He he.

Ketika UMPTN (tahun 1997), akhirnya tibalah waktu bagi saya untuk menjelajahi Bandung. Tidak seperti teman-teman yang dapat lokasi tidak terlalu jauh, lokasi yang saya dapat adalah di SMA Muhammadiyah Jalan Banteng, daerah Buah Batu. Nah dimulailah, petualangan saya. Jadwal tes memang jam 8, tapi dari rumah saya berangkat jam 6, karena jauh dan bis damri itu datangnya cuman setengah jam sekali.

Saya inget banget, hari kedua tes, saya menunggu damri untuk pulang di alun-alun Bandung (sori ya, taunya jalan pulang hanya itu sih). Seorang ibu menyapa saya,
"Kuliah dimana, Neng?"
Saya karena ke-geeran langsung menjawab: "IKIP bu."
Padahal keterima juga belum tentu. tapi hebatnya si ibu langsung mendoakan saya cepet-cepet lulus, jadi sarjana, dapet kerja. Jadi terharu .. (maaf ya bu saya berbohong .. masih nakal waktu itu ..)

Ketika saya keterima di IKIP Bandung (pas masuk masih IKIP, pas keluar jadi UPI), mulailah persahabatan saya dengan angkot cimahi-ledeng itu dimulai.

Dari rumah, saya pake angkot dulu ke pasar antri. sebenarnya sih bisa naik di Cihanjuang, tapi biasanya sih udah kepenuhan. Ongkosnya pertama itu masih 600 perak. Itu juga udah kayak yang gede banget, maklum biasanya di dalem kota Cimahi paling gede cuman 200-300 perak.

Satu hal yang tak pernah berubah dari angkot cimahi-ledeng adalah : supir selalu (catet ya: SELALU) memaksakan penumpang sampai angkotnya penuh banget. BANGET. Saya selalu berpikiran, gimana kalo angkotnya 'mudal' begitu .. halaah ..

Hal yang berubah salah satunya adalah sekarang kayaknya tak ada lagi orang yang muntah. Believe it or not, dulu jaman saya kuliah, angkot ini selalu dipenuhi orang-orang yang memang dari tempat jauh (maklum rutenya kan melintasi kota, lagian dulu Cihanjuang-Cibaligo-Sariwangi-Gegerkalong tuh masih rada 'kampoeng) dan orang-orang yang baru belanja di pasar antri. Kebayang kan, sudah mah dijejel kayak pindang, tuh orang bawa belanjaan seudug-udug, sayuran, makanan warung ampe peuyeum juga ada. Ditumpuk-tumpuk.

Tapi tak ada yang lebih menyebalkan selain orang muntah di dalam angkot. Dan itu sering sekali terjadi. SERING. Oh my God, how I really hate that moments. Saya tadi kan bilang orang-orang yang naik angkot ini biasanya orang jauh. Mungkin mereka ga biasa pergi jauh jadi yah .. gitu deh. Yang paling parah, pernah ada anak kecil muntah pas di depan saya, walhasil baju dan tas saya ikut kena muntahannya. WHOAAAA !!! Si bapaknya tu anak memang minta maaf berkali-kali tapi tengsin men, dateng ke kampus udah bau .... yucks!

Jarak yang ditempuh angkot itu jauh. Mulai dari pasar antri - cihanjuang - Cibaligo - Sariwangi - Lembur Tengah - Ciwaruga - Gegerkalong. Waktu tempuh sekitar 40 menit sampai satu jam. Lama banget ya? Mungkin karena dia sering ngetem. Tapi kok rasanya sekarang ga selama itu ya?

Yah, pokonya dengan jarak yang jauh dan waktu yang lama, saya selalu berhasil menamatkan satu novel selama perjalanan, jadi sehari bisa 2 buku. Kalo engga pasti saya tidur (kecuali di angkot ada yang cowok cakep, malu kan kalo pas tidur, ngacay?)

Untunglah setelah itu saya jadi bener-bener menjelajahi Bandung (hehe .. kesasar, kesasar deh).

Yah itulah Romansa saya Cimahi - Bandung. Sampai sekarang kalo liat supir cimahi- ledeng jadi pengen ketawa, dan pasti si emang berpikir dalam hatinya:
"Ni orang cantik kenapa ya??"








Dua hari kemaren, bu wulan, teman saya di sekolah kebingungan. Pasalnya, stnk motornya entah kemana. Dia bingung. Maka teman-teman yang biasa minjem motor (termasuk saya) jadi ga bisa minjem jauh-jauh, da ga ada tea stnk-nya.

Teman-teman saya yang baik hati itu seperti biasa mengeluarkan kompetensi dasar mereka yang paling keren, yaitu: ngaheureuyan (termasuk saya juga). Pa Eko mulai dengan:

"Waaah .. motor tanpa STNK lumayan tuh dijual bisa laku 3 - 4 jutaan .."
Dan saya menambahi:

"Bu, kayaknya sih orang tinggal nunggu bu wulan lengah, ngambil kunci, trus diduplikat .. trus .."

Yang lain:
"Iya .. MIO kan gampang diambilnya ..."

Bu Wulan tambah bingung. Ngeliat orang bingung, kami malah tambah asyik. Memang keterlaluan. Tapi mau gimana lagi? Emang paling enak ngetawain orang teh ...

Singkat cerita, sabtu pagi ini ketika membuka dompet saya tertegun. Bergegas saya mendekati si abi.

"Bi, ini STNK abi kok ada di umi sih??"

Belum abi menjawab, saya udah langsung teringat. YA ALLAH ... jangan-jangan punya bu Wulan .. pas saya teliti : BETUL SAUDARA-SAUDARA, STNK yang diributkan itu ada di SAYA!!!!!!

Saya tak mau buang waktu. Saya langsung nelepon bu Wulan. Dan dimanakah ia? Ya, betul. Sudah di polres untuk melaporkan kehilangan STNK. Dan sudah bayar 150 ribu untuk itu.

WHOAAAAAAAA ...!!!!!! BODOH .. BODOH .. BODOH ..

Selama beberapa menit saya terus mengutuki diri sendiri. jadi teringat, STNK itu saya pinjam waktu pinjam motor buat nganterin Anggun pulang ke rumahnya hari senin. Dan selama itu .. selama bu Wulan kebingungan .. STNK-nya terselip manis di dompet saya ..

Dan saya ikut godain Wulan pula ... hiks hiks inilah hukuman bagi para jailers.

Alhamdulillah pada akhirnya uang bu wulan yang 150 rb bisa dibalikin. Dan ajaibnya, bu wulan malah berterima kasih ke saya karena STNK-nya udah ketemu.

Huuuuu ... saya merasa sangat menyesal sekali. Maafin ya bu Wulan .. saya memang mahluk cerdas yang selalu lupa ..

Kan bukan manusia aja yang bisa lupa .. bidadari juga ...!!


Akhir-akhir ini, saya lagi seneng-senengnya buka facebook. Awalnya, karena niat pengen nyari temen-temen kuliah ato sma, saya bikin account di friendster. Bukan temen lama yang didapat, malah banyak murid yang ketemu. Oh la la mungkin saya ketuaan buwat punya fs, maka atas saran suami, bikinlah saya fb.

Kerennya: (thanks to facebook inventor!) temen-temen saya banyak banget yang ketemu lagi. Dan terbengong-bengonglah saya karena mereka sudah dimana-mana (hiks, sementara saya masih di kota kecil ini ..). Ada yang sudah di Jepang, New Zealand, Prancis. Ada yang kerjanya bolak-balik, sana sini, ke luar negeri kayak pergi ke pasar baru. Jadi inget Mr. Gerhard (my husband's former boss), yang selalu pergi ke Singapore untuk mengurus surat-suratnya. Jadi beliau hanya nyampe bandara aja di Singapore-nya, abis itu balik lagi ke bandung. Ck, ck, ck, bener-bener kayak pergi shopping.

Karena saya dari jurusan bahasa, tentu saja wajar kalo teman-teman saya banyak yang kemudian tinggal di luar. Ada yang karena pekerjaan, sekolah atau bahkan menikah dengan orang asing. Jadi inget: Dulu, dosen pernah bertanya pada kami, apa alasan kami belajar bahasa Prancis. Salah seorang teman saya, Yoya dengan pedenya mengatakan bahwa ia ingin menikah dengan orang Prancis. Kami semua ketawa, tapi dosen kami tidak. Beliau bilang itulah cara terbaik untuk belajar bahasa. Gimana ga menarik, coba??

Mengutip pendapat Anggun (teman saya yang riweuh itu) dalam salah satu tulisannya: Ada perasaan iri melihat jalan hidup orang yang sepertinya lebih 'megah'. Saya suka ngerasa keren aja liat wanita karir. Yang kerja kantoran. Dikirim ke sana, dikirim ke sini, dengan dandanan yang sangat 'chick'. Jujur saja, pernah kepikiran bahwa karena menikahlah karir saya terhambat. Saya menikah di usia muda (21 tahun) dan masih kuliah pula. Jadi ketika teman-teman pas lulus kuliah bisa menggapai mimpi-mimpi mereka, saya sudah terbatasi oleh keluarga : suami dan anak-anak.

Mungkin pikiran itu wajar (hah, mencoba memaafkan diri sendiri). Saya kan manusia biasa (bukan bidadari seperti yang selama ini orang kira). Tapi, kalo difikirkan kembali, apa sih yang saya ga punya? Suami baik, anak 3 cantik-cantik (banyak kan orang yg ga bisa punya anak ato proses punya anaknya susah banget), rumah ada (walau mungil dan sederhana), mertua saya adalah the best mother-in-law in the whole world (orang lain mungkin udah gontok-gontokan tuh ama mertoku ..

Hi hi. Manusia emang gitu ya. Ga pernah merasa cukup. Jarang bersyukur-nya. Padahal saya sudah begitu banyak dilimpahi berkah dan ridho Allah SWT. Saya ga pernah bermasalah dalam hamil dan melahirkan, saya sehat, saya menikmati hidup.

So .. biarlah rumput tetangga terlihat lebih hijau. Toh tamannya gedean punya saya .

ha ha ha


Musim menjelang kampanye seperti sekarang memang lagi hangat-hangatnya. Mau tak mau, peduli atau engga kita pasti akan merasakan perubahan situasi. Dari mulai acara-acara TV yang jadi banyak menampilkan entah visi en misi tokoh anu, debat antar parpol sampai profil partai.

Sebetulnya bagus aja. Pembelajaran demokrasi. Kalo dulunya kita ga tau sama sekali tentang apa itu politik, minimal sekarang saya jamin kosa kata 'perpolitikan' masyarakat udah semakin banyak. Visi, misi, paradigma, program kerja, bla bla bla.

Ada satu hal lagi yang amat kentara sebagai dampak pemilu, yaitu bertebarannya spanduk, baliho, banner (apapun namanya itu) caleg dimana-mana. Dari yang ditancapkan di pinggir jalan, ditempelkan di pohon atau menempel sebagai aksesoris di mobil.

Setiap hari, pergi dan pulang kerja saya melihat banyak sekali spanduk caleg. Saya sih belum pernah ngitung, tapi kira-kira puluhan lah begitu. Akhirnya, yah karena saya bisanya cuman itu, saya jadi sering mengomentari banner-banner itu.

Pertama, saya sebenernya kurang sreg sama tempat dimana mereka menempel. Kalo di depan rumah (mungkin pemilik rumah) atau di depan kantor atau lembaga tertentu sih no problemo. Tapi kalo sudah di pohon, deket tiang listrik atau trotoar, saya suka rada ga rela, karena jadi rame banget. Kalo biasanya kita akan sering membaca :
LES PRIVAT, HUB : 0811xxxx
atau:
SEDOT TINJA TELP. 022 xxxxx
yang ditempel di pohon, sekarang kita akan menatap banyak wajah yang kita ga kenal tapi lama-lama kita hapal juga saking seringnya lewat situ.

Ini mungkin legal. Buktinya pemerintah belum ada tuntutan apa-apa mengenai pemasangan spanduk. Mungkin karena sudah musimnya (kampanye) jadi dianggap lumrah-lumrah saja. Lagian, jalan-jalan di negara kita ini emang sudah sejak lama jadi etalase murah meriah. segala ada, maksudnya.

Saya jadi memperhatikan spanduk per spanduk. Ada yang sederhana, hanya menempelkan foto, nama partai, logo dan tentu saja nama si caleg. Ada juga yang sangat 'catchy' maksudnya langsung menarik perhatian (secara positif dan negatif) orang yang melihatnya.

Ada satu banner yang menarik perhatian saya. Ukurannya besar. hampir seperti layar tancap. Saya langsung kebayang layar untuk in focus kayak di sekolah tempat saya mengajar. Tak usahlah saya sebutkan partainya apa, tak penting (lagian sensitif) pokoknya ia didominasi warna merah, hehe ..

Nah, dalam spanduk ini, si caleg selain mencantumkan nama, partai dan logo juga mencantumkan tujuh prestasi/bidang kerja yang sudah ia lakukan. Ketika saya cermati satu-satu, saya jadi tersenyum-senyum. Diantara 7 programnya itu yang saya ingat adalah: membantu terselenggaranya pesta, membantu menyewakan tenda/alat-alat pesta, membantu dalam bidang emergensi anggota (?), membantu pendidikan, dll.

Tentu saja yang saya sebutkan di atas bukan persis seperti itu tulisannya. Tapi maksud yang saya tangkap seperti itu lah. Kenapa saya senyum-senyum? Yah .. pliis deh, menurutku hal-hal kayak gitu ngapain dicantumin segala?? ga penting. (Maaf-maaf nih pada caleg yang bersangkutan, berpendapat boleh khan?)

Mungkin saking ingin mendapatkan perhatian jadi segala weh dimasukin. Fiuuuh .. susah ya jadi caleg kayaknya? Harus punya duit banyak yang pasti .. karena menurut informasi satu baliho kecil saja harganya 40 ribu, dan tak mungkin seorang caleg hanya bikin satu saja. Dalam perjalanan pergi saja saya bisa menemukan 5 sampai 10 poster caleg yang sama.

Kembali ke soal banner caleg tadi, saya memang ga pantas menyalahkan. Itu kan hak dia. Tapi kalo saya jadi dia .. ga mungkin kayaknya .. saya ga mau jadi caleg (kayak mau ada yang nawarin aja).

Mohon maaf nih, spanduk-spanduk ini berhasil bikin saya terhibur. Saya jadi rajin baca tiap-tiap profil orang. Dari yang fotonya resmi sampai yang bergaya gaul. Saya terhibur karena mereka mau cape-cape mengeluarkan uang untu berfoto, mencetak spanduk dan memasangnya dimana-mana. Akan sangat terhibur sekali jika kelak ketika mereka beneran jadi anggota dewan, mereka benar-benar akan sibuk memikirkan kita, para rakyat jelata dan jelita, bukannya nanti sibuk cari objekan buat bayar-bayar utang dana kampanye ..

Pernah saya membahas masalah ini di kelas anak 12. Bersama-sama kami menertawakan rupa-rupa poster caleg yang lucu-lucu yang ada di seputar kota kami. Dan salah satu murid saya ada yang nyeletuk:
"Bu .. kira-kira kalo mereka menang nanti, mau engga ya bersihin lagi bekas-bekas spanduknya?"

Mmh .. saya jadi tersenyum lagi.


Dia orang yang sederhana. Dengan pemikiran sederhana dan tidak neko-neko. Bukan berart ia tak pintar. Dia luar biasa cerdas. Yang sederhana adalah cara ia memandang dunia. Dia selalu baik pada siapapun, meski sebenarnya tak semua orang baik padanya. Dalam dunianya yang sederhana, hanya satu yang ia yakini: Berusaha saja, sudah itu tawakal. Maka, jika ia kena musibah atau tak punya uang, kita tak akan menemukan hal yang berubah padanya. Semuanya biasa saja. Stres ga stress, kayak gini kok (dia suka bilang begitu).

Salah satu dari sekian banyak makanan kesukaan-nya adalah pecel lele. Paling sering beli di cipageran. Dua porsi. Kalau melihatnya makan, saya suka seneng. Dia tuh makannya cepet tapi lahap. Abis itu, suka nanya: "Ada makanan apa lagi?"

Lelaki ini sangat sophisticate. Teknolog abis. Sepotong mesin membosankan dapat membuatnya tercengang-cengang (mungkin juga karena saya yang terlalu bodoh sampai ga tahu mesin apa itu). Kebalikannya, verbalisasi-nya kurang. Dia kurang bisa berbasa-basi. Bikin kata pengantar satu lembar aja bengongnya satu jam.

Musik favoritnya jazz. Ini membuat saya heran, soalnya saya cuman taunya bubi chen sama tompi doang. Dia serius suka jazz. Mungkin karena classy dan berkelas. Haha

Dia paling ga suka kalo saya nonton gosip. Padahal kan kali-kali harus in touch juga, biar ga ketinggalan info. Tapi saya takut juga kalo dia marah. Serem. Tapi saya emang pengen nurut sih sama dia.

Ada kebiasaan dia dulu yang sering bikin saya kesel, yaitu kalo lagi musim formula 1 ama motogp. Bukan apa-apa, dia tuh kalo udah melototin TV, harus dipanggil beberapa kali baru mau noleh. Wuaah capeee deeeh.

Akhir-akhir ini dia sedang rajin puasa senin kamis. Saya jadi ngiri juga. Pengen nurutin tapi ... (ceuk guru-guru di sakola mah: rek istiqomah ah .. moal kagoda)

Dia orangnya sabar banget. Punya saya yang banyak ngomong gini sabar. Punya tiga anak cantik juga sabar. Hadaaah ...

Hari ini si lelaki biasa saja sedang ulang tahun.

Setidaknya ada satu hal yang dia pengen beli, yaitu PS. Ya, saya tahu dan saya setuju. Dia kadang memang kekanakan.

Tapi saya ga ada duit buwat beli PS, apalagi PS 3. Dan saya rasa dia juga pasti tahu saya ga akan menghadiahkan PS.

Saya sudah dua kali mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Mudah-mudahan dia ga nagih hadiah nanti. Abis, apa ya??

Si lelaki biasa itu hari ini sudah semakin tua.




Sejauh yang saya ingat, saya punya ingatan yang panjang. Sejak kecil otak saya sudah terbiasa menampung banyak informasi dan mengeluarkan folder info itu kapan saja. Ini mungkin dipengaruhi kebiasaan membaca saya yang sudah dilakukan sejak saya dapat membaca.

Hal ini di kemudian hari memang menjadi penolong saya. Saya tak pernah mengulang pelajaran dari sekolah di rumah. Ever. Jadi selama bertahun-tahun saya hanya mengandalkan panjangnya memori saya untuk bisa menjawab soal-soal ulangan.

Sebagai contoh, jika mengobrol dengan orang, saya dapat mengingat semua detail yang ia ceritakan. Ibaratnya, baru ketemu saya 5 menit saja, kehidupan Anda sudah terangkum di memori saya. Saya sampai sering pura-pura lupa mengenai detil seseorang karena takut disangka memata-matai. Dulu saya pernah ketemu dengan seseorang yang pernah kenalan dengan saya. Kami hanya pernah ketemu sekali. Ngobrol ringan. Saling bertukar alamat dan hal-hal sepele. Entah kapan setelah itu, kami bertemu kembali. Saya yang duluan nanya, dan dia terlihat surprise. Mungkin dia tak menyangka bahwa saya masih ingat. Padahal saya masih mengingat jelas semua rincian percakapan kami. Tapi yang terjadi, saya malah menanyakan ulang dimana rumahnya, soalnya pernah kejadian ada orang yang nyangka saya ngefans sama dia gara-gara saya tahu banyak tentangnya, padahal jelas-jelas dia sendiri yang cerita. Kalo kemudian saya masih ingat, ya bukan salah saya dong.

Untuk pelajaran favorit saya seperti bahasa dan sosial, ini membantu sekali. Sampai-sampai dulu saya sempat kepikiran mau masuk jurusan sejarah saja. Sampai sekarang pun masih sangat membantu, karena saya jadi gampang untuk mendongeng tentang apa saja pada murid-murid saya, saking banyaknya info yang ada di otak saya.

Ternyata ada orang lain juga yang sesekali diuntungkan karena bakat saya itu (hadaah .. serasa one of HEROES). Suami saya, kebalikan saya. Bukan hanya dari segi postur tubuh tapi juga ingatan. Mungkin karena dia orang teknis, yang amat sangat irit dalam mendramatisasi segala sesuatu (beda banget ama saya) maka ingatannya juga menurut saya amat minim.

Segala sesuatu yang terjadi dengannya, dan segala hal yang pernah ia ceritakan, saya ingat. Seringkali ketika saya me-review, suami saya akan terkaget-kaget, dan bayangkan ekspresinya saat ia meng-confirm:

"Iya gitu? Abi ngomong gitu mi? Masa siih?" (Saya suka gemes deh, rasanya pengen kemana-mana pake alat perekam aja supaya jadi barang bukti)

Atau:

"Oh .. kita nikahnya tanggal 12 Maret ya? Yakin bukan 20?" (saya tak urung mikir: yang tanggal 20 dia nikah ama siapa ya?)
Setelah saya yakinkan (plus mengancam sambil menunjukkan surat nikah) baru deh dia percaya.

Seiring berjalannya waktu, ia malah mengandalkan ingatan saya untuk banyak hal. Seperti untuk mengenali teman-teman sekolahnya dulu. Ketika dia berusaha keras mengingat-ingat,

"Inget ga, temen abi dulu yang pernah .... yang suka ..."
sontak saya menjawab: "Oh iya, si itu ... kan?"
"Oh ya ya." suami saya manggut-manggut.

Keterlaluan memang. Padahal kan yang punya pengalaman sama si orang yang dimaksud itu dia, bukan saya.

Suatu hari, dia cerita ketemu temen SMA-nya di angkot. Suami saya ga ngenalin karna si teman sudah memakai jilbab. Akhirnya suami saya mengangkat tangan di depan wajahnya, maksudnya sambil ngebayangin wajah temannya itu tanpa jilbab. Dia pun berhasil. "Fetty ya??"

Beberapa waktu yang lalu, saya ikut dia ke reuni temen SMA-nya. Di sana si abi cerita bahwa dia ketemu Fetty. Kali ini dia lupa dimana tempatnya. Otomatis, dia noleh ke saya. Dan panjang lebar saya menceritakan kronologis kejadiannya. Lengkap dengan cara bagaimana si abi mengenali Fetty. Tuuh, berguna kan??

Semua hal pasti ada positif, negatifnya. Jeleknya, dengan ingatan panjang ini, saya jadi selalu teringat dengan hal-hal memalukan atau apapun yang pikaseurieun tentang seseorang pas saya ketemu dengannya. Jadi belum apa-apa saya udah senyam senyum duluan.

Saya suka menganggap ada banyak orang kayak saya. Pastilah. Orangnya pasti banyak baca dan mungkin juga banyak omong, he he. Jadi saya suka terheran-heran kenapa si abi bisa ga ingat banyak hal, padahal itu gampang banget.

Jadi ketika di reuni-an suami dan teman-temannya saya sedikit kaget. Karena ternyata si abi lebih banyak mengingat kenangan dibanding teman-temannya. Rada bangga juga. Mungkin dia sudah belajar banyak dari saya. Deeuh ...

So, hari ini saya lebih kaget lagi. Suami saya lagi rajin kontak-kontakan lagi sama teman-temannya itu. Ketika mengingat nama-nama teman kelas 1 sma, suami saya bilang ia hanya bisa menyebutkan 30 nama teman saja. Teman-temannya langsung memuji. Bahkan ada yang menyangka suami saya megang buku absen karena kok masih hapal. Buseet daah ..

Akhirnya, si abi berkesimpulan:

"Bukan abi yang ingatannya pendek, buktinya orang lain banyak yang lebih parah, tapi emang umi yang aneh sendiri."

Saya jadi tercenung. Merinding juga. Saya? Aneh? Mmh .. iya juga sih.

Saya orangnya banyak omong. Mungkin sepuluh kali lipat dibanding orang pada umumnya. Saya banyak makan (lebih banyak dari suami saya, dan mungkin sama porsinya dengan bapak-bapak guru di sekolah) tapi badan saya ga membengkak. Saya tidak suka susu, padahal bermilyar-milyar orang di planet ini menggandrungi minuman eneg satu itu.

Saya suka museum. Museum bagi saya menarik. Bagi orang membosankan. Saya suka membaca dengan suara keras, padahal tak ada yang mendengarkan. Saya kadang suka ngomong sendiri, bahkan di dalam otakpun saya kadang suka berdialog sendiri.

Ya ampun .. jangan-jangan saya memang anomali.