twitter


Sejak awal saya kuliah S2, saya sudah tahu diri. Jurusan S1 saya bukan pendidikan bahasa Inggris, otomatis saya tidak akan sebagus mereka yang dari jurusan itu dalam banyak hal. Tapi saya selalu punya keyakinan jika saya berusaha keras pasti saya akan mampu menyamai mereka.

Hari ini keyakinan itu sedikit menguap. Seorang makhluk Allah yang membuatnya runtuh. Ada seorang dosen yang menurut saya, ia tidak menyukai saya. Entah kenapa. Saya sudah berulangkali berpikir apa kira-kira kelemahan saya (yang memang banyak ini) yang membuatnya selalu bersikap sinis di kelas. Setiap kali saya berkontribusi di class discussion,ia pasti akan mencecar saya dan membuat saya merasa amat bodoh. Namun setiap kali pula saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa itu tidak benar. Tidak mungkin ia tidak menyukai saya (sementara banyak orang di luar sana yang sehari saja tidak bertemu saya pasti kangen). Halaah.

Siang tadi saya sudah yakin benar bahwa ada sesuatu dalam diri saya yang ia benci.

Perkuliahan dengannya sebenarnya sudah berakhir, namun nilai tak kunjung keluar. Ternyata ia menganggap hampir semua paper yang sudah kami kerjakan tidak memuaskannya hingga ia meminta satu kali lagi kelas tambahan untuk memberikan koreksi atas hasil kerja kami.

Maka berbondong-bondonglah kami semua menuju ruangannya. Setelah mengulas salah satu paper teman saya yang menurutnya bagus sekali, ia menawarkan untuk membahas paper masing-masing secara personal. Karena ingin cepat beres, saya langsung minta detik itu juga untuk dikoreksi olehnya bersama 4 teman lainnya. Sisa kelas pun pulang.

Satu demi satu mahasiswa dikoreksi secara langsung olehnya. Karena kami ada di ruangan yang sama, otomatis kami bisa dengan jelas mendengar feedback yang ia berikan. Ada sekitar 6 atau 7 orang di ruangan itu tadi siang.

Ketika tiba giliran saya, alih-alih memperlihatkan bagaimana benernya, ia langsung melontarkan kalimat pertamanya dengan:

"Kamu sebaiknya pindah jurusan aja, atau kuliah S1 lagi jurusan Bahasa Inggris ..."

Seketika ruangan jadi hening. Saya serasa tidak berpijak ke bumi. Dari awal saya sudah dapat menduga bahwa ia akan bersikap negatif pada saya (dikarenakan sehari-harinya juga begitu) tapi saya tidak menyangka "serangannya" akan sedahssyat itu. Rasanya seperti ada bom pecah di telinga saya.

Ia kemudian mengatakan dengan terang-terangan bahwa grammar saya sangat jelek, tidak tertolong lagi hingga ia heran kok bisa-bisanya saya mengajar Bahasa Inggris di tingkat SMA.

"Saran saya, kamu pindah jurusan ke Prancis, pasti kamu bisa cum laude. Kalau kamu masih bertahan di Inggris, saya khawatir kamu akan terseok-seok mengejar yang lain. Kamu lulusnya pasti lama, sudah banyak terbukti kok, yang dari jurusan non-inggris itu sampai bertahun-tahun di sini, bisa-bisa 10 tahun kamu baru lulus ..."

Bisa Anda bayangkan rentetan kalimat seperti itu dilontarkan oleh seorang dosen terhormat bergelar profesor, disampaikan di hadapan umum? Saya serasa bukan manusia, harga diri saya terkikis habis olehnya, saya dibuatnya merasa jadi manusia paling bodoh yang ada di dunia. Padahal saya ga bodoh-bodoh amat, grammar yang ia keluhkan itu saya sudah dapat hasilnya, meski tidak A tapi lumayan saja, B-.

Saya akui grammar saya tidak bagus, oleh karenanya lah saya semangat sekali kuliah ini. Mengejar ketinggalan jadi prioritas utama saya, tapi mbok ya dia tuh nyadar dong; dengan mengatakan begitu ia telah mematikan semangat saya, membunuh intelektualitas saya.

Saya memang tidak banyak bicara tadi. Saya terlalu 'shock' untuk berdalih atau menyanggah. Dan ia memang tipe orang yang tidak suka disanggah. Bisa dikatakan ia orang 'besar', kabarnya sudah banyak sekali korban kezalimannya; jadi apa artinya seorang saya ini?

Terus terang sekarang saya dilanda krisis percaya diri. Dan,(harus diakui) cemas. Saya khawatir karena ia jenis orang yang keinginannya selalu dituruti orang, saya cemas jika saya nantinya akan terus-terusan menjadi 'target operasi'.

Namun dengan menabahkan hati, saya menguatkan diri sendiri dengan mengatakan:

Dia boleh jadi berkuasa, namun Allah yang memilikinya, Allah yang lebih berkuasa,

maka Allah saja lah penolong saya ..

Amin.


Semenjak saya kuliah lagi, tentu banyak hal yang berubah. Dari mulai serabutan mengatur jadwal sampai jam tidur yang berubah tidak karuan karena tuntutan tugas yang menumpuk. Hasilnya, saya jadi pecandu kopi, hiks .. demi untuk bisa begadang.

Dari semua mata kuliah di semester satu yang saya ikuti, ada 2 matkul yang saya takut gagal. Yang pertama EFL - English as a Foreign Language Methodology dan Grammar. Matkul yang pertama sebenarnya tidak begitu sulit, asal mau baca dan mengerjakan tugas, aman. Namun si dosen yang mengajar matkul itulah yang buat saya selalu deg-degan, karena beliau sangat subjektif orangnya, dan saya rasa ia tidak menyukai saya. Fiuuuh ...

Grammar lain lagi ceritanya. Ini matkul susah, meski saya akui grammaire prancis berlipat kali lebih susah dari Inggris, karena struktur bahasanya yang bujubuneng bikin rieut. Namun grammar di S2 ternyata bukan hanya pendalaman, tapi nyebur. Asli, saya yang modal grammar-nya nyomot sana-sini dibikin pontang-panting mengejar pemikiran dosen, Professor Amin yang kalem tapi sadis.

Setiap pertemuan, kami sudah harus siap dengan bahan yang akan beliau ajarkan. Artinya, minimal kami sudah harus membaca buku. Tidak aneh sebenarnya karena semua matkul mensyaratkan seperti itu. Masalahnya, sudah baca pun kami belum tentu mengerti, dan di kelas Pak Amin akan dengan suksesnya membantai opini-opini kami. I have to admit, bahwa beliau adalah salah satu dosen paling cerdas yang pernah saya kenal. Dengan usia yang masih muda untuk ukuran profesor (40-an saya kira) dia memiliki kepandaian dan intelejensi tinggi.

Selain class discussion, ada 4 progress test yang harus kami lewati. Inilah mimpi buruknya. Di kelas saja saya masih terbengong-bengong, apalagi disuruh mengerjakan soal yang terkadang susah banget (padahal jawabannya ternyata sederhana) atau soal yang saya kira mudah (padahal naudzubillah susahnya).

Saya menilai diri saya bisa mengikuti arus, meski tertatih-tatih. Kalo diibaratkan lari marathon, saya ada di deretan tengah. Saya sering diskusi meski terkadang harus saya akui, lebih banyak ngacapruknya dibanding benernya. Saking pesimisnya dapat nilai bagus, saya dan tiga orang teman sampai bernadzar akan memberi makan 20 orang anak yatim jika kami mendapat nilai B.

Singkat cerita, begitu nilai keluar, betapa suka citanya saya karena nilai saya B-. Meski ada minusnya, tapi bagi saya itu besar banget. Bangga saya karena dapat menaklukan grammar Pak Amin, ha ha. Motivasi sebenarnya sih saya ogah ngulang lagi tahun depan jika saya gagal. Belajar grammar bersama Pak Amin merupakan kenangan manis yang takkan mau saya ulangi. Hihihi.

Tapi alangkah kagetnya kami ketika beberapa hari kemudian sang dosen tercinta mengirimkan SMS yang intinya memberitahukan bahwa nilai kami semua dianggap gagal dikarenakan ada beberapa mahasiswa yang berbuat curang pada saat ujian.

Terbayanglah saya betapa malasnya jika harus mengulang tahun depan. Kalau tidak malu rasanya pengen nangis karena mendapat B- saja saya rasanya susah banget.

Ketika kami menemui beliau untuk minta konfirmasi, makin kaget saya karena ternyata ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak puas dengan nilainya dan mengadukan kecurangan yang mereka katakan terjadi pada saat ujian.

Perasaan saya otomatis kesal. What's the matter with them? Kenapa pake lapor segala sih? Saya hargai kejujuran mereka dan mungkin mereka merasa tidak diperlakukan secara adil, namun look what they have done now. Saya kok jadi merasa balik lagi ke SMA, karena rasanya mengadu itu kerjanya anak kecil. Mungkin.

Saya tidak menutup mata, bahwa memang ketika ujian, bisik-bisik tetangga memang terjadi. Menyontek, mungkin saja. Tapi karena saya merasa semua orang sudah dewasa dan sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing jadi ya sudah. Toh dalam hal ini Pak Amin sebagai dosen juga telah memberikan banyak peluang untuk itu. Yang pertama, setiap kali ujian kami melakukan bersama (sekitar 80 orang, 4 kelas) dengan jarak kursi yang berdempetan. Kedua, (ini yang aneh) kami diminta untuk saling mengoreksi kertas jawaban. Artinya, perbuatan nyontek maupun saling membetulkan sangat mungkin terjadi. Dan saya heran mengapa Bapak tidak memperkirakan itu.

Saya yakin, seyakin-yakinnya semua orang tahu mengenai hal itu. Bagaimana tidak, peluang untuk curang banyak sekali. Giliran dapat nilai jelek, baru mereka complaint. Padahal saya yakin nilai B- yang saya dapat tidak mungkin murni dari ujian (karena nilai ujian saya biasa2 aja) melainkan sudah akumulasi dari keseluruhan performance saya selama satu semester.

Anyway, untuk dapat nilai lagi, beliau meminta kami semua untuk membuat pengakuan. Apakah kami berbuat curang atau jujur. Setelah itu barulah akan diadakan tes ulang. Ini yang bikin sakit kepala.

Saya pikir (di luar kenyataan bahwa memang kejujuran sangat penting adanya) ini terlalu over acting. Si pengadu maupun Bapak. Tanpa mengurangi rasa hormat (karena hingga kini saya masih menganggapnya sebagai dosen luar biasa), seharusnya Bapak bisa lebih bijak dalam mengambil tindakan. Bapak dan kami semua seharusnya introspeksi bersama. Karena masalah ini tidak dapat dilepaskan dari peranan kita semua.

Kemarin-kemarin saya masih kesal. Sekarang, entahlah .. saya belum tahu hasilnya.