Semenjak saya kuliah lagi, tentu banyak hal yang berubah. Dari mulai serabutan mengatur jadwal sampai jam tidur yang berubah tidak karuan karena tuntutan tugas yang menumpuk. Hasilnya, saya jadi pecandu kopi, hiks .. demi untuk bisa begadang.
Dari semua mata kuliah di semester satu yang saya ikuti, ada 2 matkul yang saya takut gagal. Yang pertama EFL - English as a Foreign Language Methodology dan Grammar. Matkul yang pertama sebenarnya tidak begitu sulit, asal mau baca dan mengerjakan tugas, aman. Namun si dosen yang mengajar matkul itulah yang buat saya selalu deg-degan, karena beliau sangat subjektif orangnya, dan saya rasa ia tidak menyukai saya. Fiuuuh ...
Grammar lain lagi ceritanya. Ini matkul susah, meski saya akui grammaire prancis berlipat kali lebih susah dari Inggris, karena struktur bahasanya yang bujubuneng bikin rieut. Namun grammar di S2 ternyata bukan hanya pendalaman, tapi nyebur. Asli, saya yang modal grammar-nya nyomot sana-sini dibikin pontang-panting mengejar pemikiran dosen, Professor Amin yang kalem tapi sadis.
Setiap pertemuan, kami sudah harus siap dengan bahan yang akan beliau ajarkan. Artinya, minimal kami sudah harus membaca buku. Tidak aneh sebenarnya karena semua matkul mensyaratkan seperti itu. Masalahnya, sudah baca pun kami belum tentu mengerti, dan di kelas Pak Amin akan dengan suksesnya membantai opini-opini kami. I have to admit, bahwa beliau adalah salah satu dosen paling cerdas yang pernah saya kenal. Dengan usia yang masih muda untuk ukuran profesor (40-an saya kira) dia memiliki kepandaian dan intelejensi tinggi.
Selain class discussion, ada 4 progress test yang harus kami lewati. Inilah mimpi buruknya. Di kelas saja saya masih terbengong-bengong, apalagi disuruh mengerjakan soal yang terkadang susah banget (padahal jawabannya ternyata sederhana) atau soal yang saya kira mudah (padahal naudzubillah susahnya).
Saya menilai diri saya bisa mengikuti arus, meski tertatih-tatih. Kalo diibaratkan lari marathon, saya ada di deretan tengah. Saya sering diskusi meski terkadang harus saya akui, lebih banyak ngacapruknya dibanding benernya. Saking pesimisnya dapat nilai bagus, saya dan tiga orang teman sampai bernadzar akan memberi makan 20 orang anak yatim jika kami mendapat nilai B.
Singkat cerita, begitu nilai keluar, betapa suka citanya saya karena nilai saya B-. Meski ada minusnya, tapi bagi saya itu besar banget. Bangga saya karena dapat menaklukan grammar Pak Amin, ha ha. Motivasi sebenarnya sih saya ogah ngulang lagi tahun depan jika saya gagal. Belajar grammar bersama Pak Amin merupakan kenangan manis yang takkan mau saya ulangi. Hihihi.
Tapi alangkah kagetnya kami ketika beberapa hari kemudian sang dosen tercinta mengirimkan SMS yang intinya memberitahukan bahwa nilai kami semua dianggap gagal dikarenakan ada beberapa mahasiswa yang berbuat curang pada saat ujian.
Terbayanglah saya betapa malasnya jika harus mengulang tahun depan. Kalau tidak malu rasanya pengen nangis karena mendapat B- saja saya rasanya susah banget.
Ketika kami menemui beliau untuk minta konfirmasi, makin kaget saya karena ternyata ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak puas dengan nilainya dan mengadukan kecurangan yang mereka katakan terjadi pada saat ujian.
Perasaan saya otomatis kesal. What's the matter with them? Kenapa pake lapor segala sih? Saya hargai kejujuran mereka dan mungkin mereka merasa tidak diperlakukan secara adil, namun look what they have done now. Saya kok jadi merasa balik lagi ke SMA, karena rasanya mengadu itu kerjanya anak kecil. Mungkin.
Saya tidak menutup mata, bahwa memang ketika ujian, bisik-bisik tetangga memang terjadi. Menyontek, mungkin saja. Tapi karena saya merasa semua orang sudah dewasa dan sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing jadi ya sudah. Toh dalam hal ini Pak Amin sebagai dosen juga telah memberikan banyak peluang untuk itu. Yang pertama, setiap kali ujian kami melakukan bersama (sekitar 80 orang, 4 kelas) dengan jarak kursi yang berdempetan. Kedua, (ini yang aneh) kami diminta untuk saling mengoreksi kertas jawaban. Artinya, perbuatan nyontek maupun saling membetulkan sangat mungkin terjadi. Dan saya heran mengapa Bapak tidak memperkirakan itu.
Saya yakin, seyakin-yakinnya semua orang tahu mengenai hal itu. Bagaimana tidak, peluang untuk curang banyak sekali. Giliran dapat nilai jelek, baru mereka complaint. Padahal saya yakin nilai B- yang saya dapat tidak mungkin murni dari ujian (karena nilai ujian saya biasa2 aja) melainkan sudah akumulasi dari keseluruhan performance saya selama satu semester.
Anyway, untuk dapat nilai lagi, beliau meminta kami semua untuk membuat pengakuan. Apakah kami berbuat curang atau jujur. Setelah itu barulah akan diadakan tes ulang. Ini yang bikin sakit kepala.
Saya pikir (di luar kenyataan bahwa memang kejujuran sangat penting adanya) ini terlalu over acting. Si pengadu maupun Bapak. Tanpa mengurangi rasa hormat (karena hingga kini saya masih menganggapnya sebagai dosen luar biasa), seharusnya Bapak bisa lebih bijak dalam mengambil tindakan. Bapak dan kami semua seharusnya introspeksi bersama. Karena masalah ini tidak dapat dilepaskan dari peranan kita semua.
Kemarin-kemarin saya masih kesal. Sekarang, entahlah .. saya belum tahu hasilnya.
Dari semua mata kuliah di semester satu yang saya ikuti, ada 2 matkul yang saya takut gagal. Yang pertama EFL - English as a Foreign Language Methodology dan Grammar. Matkul yang pertama sebenarnya tidak begitu sulit, asal mau baca dan mengerjakan tugas, aman. Namun si dosen yang mengajar matkul itulah yang buat saya selalu deg-degan, karena beliau sangat subjektif orangnya, dan saya rasa ia tidak menyukai saya. Fiuuuh ...
Grammar lain lagi ceritanya. Ini matkul susah, meski saya akui grammaire prancis berlipat kali lebih susah dari Inggris, karena struktur bahasanya yang bujubuneng bikin rieut. Namun grammar di S2 ternyata bukan hanya pendalaman, tapi nyebur. Asli, saya yang modal grammar-nya nyomot sana-sini dibikin pontang-panting mengejar pemikiran dosen, Professor Amin yang kalem tapi sadis.
Setiap pertemuan, kami sudah harus siap dengan bahan yang akan beliau ajarkan. Artinya, minimal kami sudah harus membaca buku. Tidak aneh sebenarnya karena semua matkul mensyaratkan seperti itu. Masalahnya, sudah baca pun kami belum tentu mengerti, dan di kelas Pak Amin akan dengan suksesnya membantai opini-opini kami. I have to admit, bahwa beliau adalah salah satu dosen paling cerdas yang pernah saya kenal. Dengan usia yang masih muda untuk ukuran profesor (40-an saya kira) dia memiliki kepandaian dan intelejensi tinggi.
Selain class discussion, ada 4 progress test yang harus kami lewati. Inilah mimpi buruknya. Di kelas saja saya masih terbengong-bengong, apalagi disuruh mengerjakan soal yang terkadang susah banget (padahal jawabannya ternyata sederhana) atau soal yang saya kira mudah (padahal naudzubillah susahnya).
Saya menilai diri saya bisa mengikuti arus, meski tertatih-tatih. Kalo diibaratkan lari marathon, saya ada di deretan tengah. Saya sering diskusi meski terkadang harus saya akui, lebih banyak ngacapruknya dibanding benernya. Saking pesimisnya dapat nilai bagus, saya dan tiga orang teman sampai bernadzar akan memberi makan 20 orang anak yatim jika kami mendapat nilai B.
Singkat cerita, begitu nilai keluar, betapa suka citanya saya karena nilai saya B-. Meski ada minusnya, tapi bagi saya itu besar banget. Bangga saya karena dapat menaklukan grammar Pak Amin, ha ha. Motivasi sebenarnya sih saya ogah ngulang lagi tahun depan jika saya gagal. Belajar grammar bersama Pak Amin merupakan kenangan manis yang takkan mau saya ulangi. Hihihi.
Tapi alangkah kagetnya kami ketika beberapa hari kemudian sang dosen tercinta mengirimkan SMS yang intinya memberitahukan bahwa nilai kami semua dianggap gagal dikarenakan ada beberapa mahasiswa yang berbuat curang pada saat ujian.
Terbayanglah saya betapa malasnya jika harus mengulang tahun depan. Kalau tidak malu rasanya pengen nangis karena mendapat B- saja saya rasanya susah banget.
Ketika kami menemui beliau untuk minta konfirmasi, makin kaget saya karena ternyata ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak puas dengan nilainya dan mengadukan kecurangan yang mereka katakan terjadi pada saat ujian.
Perasaan saya otomatis kesal. What's the matter with them? Kenapa pake lapor segala sih? Saya hargai kejujuran mereka dan mungkin mereka merasa tidak diperlakukan secara adil, namun look what they have done now. Saya kok jadi merasa balik lagi ke SMA, karena rasanya mengadu itu kerjanya anak kecil. Mungkin.
Saya tidak menutup mata, bahwa memang ketika ujian, bisik-bisik tetangga memang terjadi. Menyontek, mungkin saja. Tapi karena saya merasa semua orang sudah dewasa dan sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing jadi ya sudah. Toh dalam hal ini Pak Amin sebagai dosen juga telah memberikan banyak peluang untuk itu. Yang pertama, setiap kali ujian kami melakukan bersama (sekitar 80 orang, 4 kelas) dengan jarak kursi yang berdempetan. Kedua, (ini yang aneh) kami diminta untuk saling mengoreksi kertas jawaban. Artinya, perbuatan nyontek maupun saling membetulkan sangat mungkin terjadi. Dan saya heran mengapa Bapak tidak memperkirakan itu.
Saya yakin, seyakin-yakinnya semua orang tahu mengenai hal itu. Bagaimana tidak, peluang untuk curang banyak sekali. Giliran dapat nilai jelek, baru mereka complaint. Padahal saya yakin nilai B- yang saya dapat tidak mungkin murni dari ujian (karena nilai ujian saya biasa2 aja) melainkan sudah akumulasi dari keseluruhan performance saya selama satu semester.
Anyway, untuk dapat nilai lagi, beliau meminta kami semua untuk membuat pengakuan. Apakah kami berbuat curang atau jujur. Setelah itu barulah akan diadakan tes ulang. Ini yang bikin sakit kepala.
Saya pikir (di luar kenyataan bahwa memang kejujuran sangat penting adanya) ini terlalu over acting. Si pengadu maupun Bapak. Tanpa mengurangi rasa hormat (karena hingga kini saya masih menganggapnya sebagai dosen luar biasa), seharusnya Bapak bisa lebih bijak dalam mengambil tindakan. Bapak dan kami semua seharusnya introspeksi bersama. Karena masalah ini tidak dapat dilepaskan dari peranan kita semua.
Kemarin-kemarin saya masih kesal. Sekarang, entahlah .. saya belum tahu hasilnya.