twitter


reposted from Facebook's note

Saya selalu bilang pada murid-murid bahwa bahasa adalah ilmu yang paling lengkap (ga boleh protes ya .. hehe) setidaknya bagi saya. Meski seringkali tidak dikategorikan sebagai sebuah ilmu 'beneran' namun melalui bahasa-lah semua hal, simbol, gerak atau apapun dapat diterjemahkan menjadi sesuatu yang dapat dimengerti.

Saya termasuk orang yang suka sekali memperhatikan setiap tulisan atau gambar atau simbol yang terdapat di jalan-jalan. Karena banyak yang unik, menarik, lucu dan membuat perjalanan menjadi tidak membosankan. Yang paling sering saya lihat (dan mungkin Anda juga) adalah SEDOT TINJA (yuck!), LES PRIVAT (biasanya nancep di pohon2), PIJAT TUNA NETRA, TAMBAL BAN TUBLES (padahal harusnya 'tube-less' karna jenis bannya yang tanpa 'tube'/ban dalam).

Pada perjalanan terakhir ke luar kota, ada banyak truk yang lalar liwat dengan gambar perempuan aduhai biasanya dengan ukuran besar dan warna mencolok. Tulisannya? Tentu saja KUTUNGGU JANDAMU haha. Trus ada satu dengan gambar perempuan sedang dalam posisi 'menantang' dan tulisannya; MERINDUKAN BELAIANMU ... mantaaaap !!

Mau ga mau saya jadi ingat sinetron lama BAJAJ BAJURI. Salah satu tokohnya ada yang berprofesi sebagai sopir truk yang cunihin pisan. Apa ada hubungan dengan gambar aduhai dan profesi sopir truk dan perempuan?? Entahlah, ada yang berminat meneliti? Ah, tapi mungkin saja para sopir truk ingin ada sedikit pemandangan, maklum kan mereka kerjanya rata2 malam dan melelahkan.

Kalau supir angkot beda lagi. Mereka biasanya mencantumkan nama (saya duga nama anaknya atau siapapun yang menjadi kesayangan) di belakang angkotnya. FAJAR PERDANA PUTRA, misalnya. Mungkin si emang sopir baru punya anak nih. Kalau benar, saya suka terharu membayangkan betapa dia susah payah ngejar setoran demi keluarga.

Eh, jadi ingat; kadang2 mereka suka mencantumkan kalimat THE ME IS THREE (demi istri maksudnya) :)

Nama-nama bis biasanya mengandung makna masa depan yang gilang gemilang. HARAPAN JAYA, BUDIMAN, DOA IBU, misalnya. Dan hanya bis2 pariwisata yang suka buricak burinong warna-warninya. Tapi ada juga bis yang namanya adalah singkatan misalnya JP (kalo ga salah Jusup Putra) atau NPM (Naikilah Perusahaan Minang). Yang terakhir itu rute Bandung- Padang, mencirikan orang2 Minang yang memang sangat suka dengan singkatan.

Akhir-akhir ini, karena persaingan antara motor matic dan manual banyak bermunculan tulisan-tulisan lucu yang biasanya ditempel di bemper belakang.

HARI GINI PAKE MATIC? SEKALIAN AJA PAKE LIPSTICK

LEBIH BAIK OVER GIGI DARIPADA OVER KREDIT (yg ini pasti balasan dr pengguna motor manual)

adalah beberapa diantaranya.

dan kalau ada tulisan;

WASIT GO***G, di bemper motornya maka dipastikan ia pendukung BOLA, karena konon para supporter senang sekali mencaci wasit

atau;

VIKING MAH BULAO, BONEK MAH HEJO, LAMUN THE JACK NU GELO .. (sy baca tulisan ini dr salah satu kaos anak Viking)

Hahahaha. Saya mah seuri we.

Dan karena bahasa merupakan representasi makna, maka setiap tulisan pasti eh mungkin mencerminkan atau paling tidak memberikan bayangan mengenai si pembuat tulisan. Saya ngeri ah kalo pakai kata pasti, karena kan ga ada yang mutlak kecuali Allah ya? Yah, seperti halnya tampang; kalau cantik/cakep mah relatif, tapi kalau jelek mah mutlak. hehe

Selain itu, saya juga suka banget memperhatikan tulisan di baju orang. Apalagi yang namanya remaja, yang sangat suka banget membuat sensasi. Seperti tulisan BADJINGAN yang sering sekali saya lihat di kaos-kaos anak muda. Kemudian, nama band-band favorit mereka, biasanya kalo anak Metal atau Punk, saya ga terlalu ngerti, tapi nampak dari nama bandnya (sigana mah band) mah sereem.

Banyak remaja yang suka sekali mengenakan kaos bertuliskan caci maki dalam bahasa Inggris. Apakah itu FUCK YOU, MOTHER FUCKER atau apa gitu. Hingga suatu hari pernah kami bahas di depan anak-anak sekolah mengenai makna dari kata-kata makian dalam bahasa Inggris tersebut, karena kami tidak mau mereka mengenakan sesuatu hanya atas nama 'gaya' tapi sebenarnya memalukan.

Suatu kali pernah di Pusat Perbelanjaan Elektronik di Bandung, ketika mau servis hape bersama suami, kami terkaget-kaget melihat ada seorang gadis (cantik) mengenakan kaos ketat dan pas di dadanya ada tulisan:

FUCK ME ALL TIME

!!!!!!

Saya toel-toelan sama suami; kami bertanya-tanya apakah si eneng geulis nyadar tidak dengan arti dari tulisan di dadanya? Atau hanya sekedar sensasi saja? Nyesel juga waktu itu ga saya tanya langsung sama orangnya. Hehe kabayang ...

Tapi banyak juga sih orang yang berpakaian dengan tulisan lucu-lucu seperti;

SUMPAH, SAYA PERNAH KURUS LOH, haha cerdas!!

LA PLUS BELLE DU MONDE - paling cantik sedunia (jenis penderita narsis mugholadoh)

selain bahasa tulisan, saya suka dengan simbol. Makanya dulu waktu kecil pernah bercita-cita jadi detektif seperti Sherlock Holmes atau Monsieur Hercule Poirot yang jago sekali mengartikan simbol. Sejauh ini sih baru beberapa simbol yang mampu saya artikan; mun gagaro berarti arateul, tanda "P" disilang berarti dilarang parkir, orang pake masker berarti lagi pilek,alergi debu atau ngagaya, orang berkaca mata hitam bisa berarti tuna netra (kalo ditambah tongkat) atau pengendara motor/mobil, sakit mata atau ngagaya (tanpa tongkat).

Orang berjilbab en pemakai kalung salib tak usah ditanya lagi agamanya apa. Orang bertato?? Waah macem2. Kalo dulu cuman preman, kalo sekarang sdh jadi trend.

Orang berkacamata? Hanya ada dua; kalo ga pinter berarti bolor. Hehe .. piss .. saya juga berkacamata kok.

Memakai baju hitam2? Berkabung, orang baduy atau strategi biar terlihat kurus.

Senang memakai peci? Bisa nasionalis, bisa agamis.

Senang pake baju minim? penderita exhibionisme, kurang bahan atau keharusan seragam (mungkin aja kan).

Para pemakai dasi? beragam; mulai dari eksekutif, guru (di sekolah saya begitu), salesman, sampe tukang obat (usum keneh teu nya?)

Yang suka mendecak-decakan lidah? Mungkin perokok yang sedang tidak ada rokok, yang lagi ngetrek cewek, memanggil tukang dagang atau ngefans berat sama si JOKER di film THE DARK KNIGHTS yang seneng banget berdecak2 itu ... Why so serious?? (Ya ampun sampai sekarang saya penggemar berat filem itu)

Cerita saya masih banyak, tapi distop aja dulu. Kasihan Anda yang sudah lelah membaca tulisan panjang (yang kadang garing) ini. Nanti kita sambung lagi.

Saya tutup dengan sebuah tulisan yang sering saya lihat di pinggir jalan;

PRESS PORK

yang bikin bingung. Karna saya pikir PORK = babi, jadi babi mana yang akan di-tekan, dengan cara apa??

tapi suami menjelaskan bahwa mungkin tulisannya yang benar adalah PRESS FORK, artinya; nge-press garpu setang motor.

logis sih, karena di bawah tulisan itu ada banyak motor yang sedang diutak-atik.

seandainya di bawahnya banyak babi (yang sedang mengalami pelecehan dalam bentuk apapun), mungkin lain ceritanya.

*senyum*



by Irma Susanti Irsyadi on Saturday, October 2, 2010 at 10:53am

Dari semalam suami sudah mewanti-wanti agar saya berhati-hati hari ini. Hari ini saya punya agenda yang mengharuskan saya pergi ke 'kota' memakai motor kesayangan. Suami bilang, BBM-nya lagi rame tentang isu geng motor yang akan merajalela pada siang ini di seluruh wilayah kota Bandung. Kalau memang bener seperti itu, ga ada habisnya nih dunia dipenuhi anak-anak remaja miskin kasih sayang yang cuman tau ngerusak.

Soal geng motor terkutuk sepertinya kita sudah sepakat ya. Geng motor di sini maksudnya kelompok-kelompok yang suka merusak itu, bukan klub motor yang suka touring biasa. Kasihan sekali banyak klub motor yang jadi ikut tercemar karena ulah mereka.

Setiap kali baca tentang ulah 'manis' mereka; saya murka. Kalo ketemu tuh orang-orangnya (seperti yang sering kuungkapkan di depan sahabat-sahabatku para remaja), saya mau kumpulin mereka dalam satu ruangan udah gitu dibom. Duaaarrr!!! habis deh. Hehehe. Tapi tenang, itu hanya terjadi di alam imajinasi saya, aslinya mah mungkin cuman saya siram pake bensin ajah.

Karena dunia saya dekat dengan remaja, saya jadi tau beberapa hal dari mereka mengenai geng 'ga jelas' ini. Pernah ada murid yang cerita ke saya, bahwa geng motor isinya ga melulu laki-laki, ada juga perempuannya. Kalo mau masuk, syaratnya cuman satu; harus mau ditiduri (maaf) oleh siapapun yang ada dalam geng itu. Astaghfirullah .. jadi mual sayah. Sedemikian bodohnya mereka mempermalukan diri sendiri.

Terkadang ada rasa kasihan saya untuk orang-orang yang berprofesi sebagai PSK (bukan "Pedagang-Sangu-Koneng" ya, eta mah paporit sayah), preman atau perampok sekalipun.Mereka adalah jenis orang-orang yang (mungkin) sudah tak kepikiran untuk mencari pekerjaan lain (yang halal) karena tuntutan hidup. Mau segimana pun kita menghakimi, jika kita tidak mampu memberikan solusi ya susah.

Namun bukan juga berarti saya setuju dengan pekerjaan mereka lho. Yang salah ya tetap salah. Perasaan saya kepada mereka hampir sama dengan perasaan saya kepada kaum gay dan lesbian. Mereka melakukan sesuatu yang haram namun saya harus memutar otak untuk dapat memahami dari berbagai sudut. Dan itu tidak gampang. Eh, tapi kalo preman dan perampok mungkin bisa disimpan di kotak yang berbeda ya, soalnya mereka kan sering menyakiti orang lain.

Anda boleh setuju atau tidak. Note saya tempat yang bebas-bebas aja untuk mengeluarkan pendapat. Asal ingat satu hal; tetap saling menghargai. Asal jangan pake intimidasi (eta mah pengalaman pribadi) jadi weh saya remove dari friends-list. Hahaha.

Ya sudahlah.

Kembali ke geng motor. Saya engga kasihan sama mereka. Apanya yang perlu dikasihani?? Motor mereka punya, itu aja udah membuktikan bahwa mereka mampu secara finansial walaupun itu berarti mereka harus merengek pada ortu atau sampai mengancam2 segala untuk dibelikan motor (dan ini sering terjadi).

Bagi saya, mereka cuma sekumpulan remaja cengeng-ga-punya-identitas yang bisanya cuman gagah-gagahan merusak sana-sini. Jamin deh, kalo cuman sendirian mereka ga akan berani. Bukankah semangat kolektivitas yang biasanya membuat orang jadi bloon?? Atas nama membela sesuatu yang ga jelas, yang mungkin menimpa teman (yang meureun ga jelas juga masalahnya) orang sanggup menyakiti orang lain. Lihat saja kasus-kasus bentrok antar preman. Kalau mati juga mati konyol. Kasihan.

Saya ingat dulu ada teman saya yang pernah ikut melemparkan jerigen bensin ke POLSEK waktu di kampungnya ada kerusuhan. Ketika saya tanya atas dasar apa dan untuk membela apa dia berbuat seperti itu, dia jawab

"Ah iseng we .. da siga nu rame mun diduruk teh .." (berarti dia ga ngerti kan masalahnya apa)

Dan saya tidak perlu memaki di sini.

Karena pada saat itu juga saya sudah mengatakan padanya;

"Kamu sangat bodoh."

Dan kalau merujuk pada Bang Haji, berbagai hal jelek yang dilakukan manusia biasanya disebabkan oleh MIRA SANTIKA; A.K.A minuman keras dan narkotika. Kan katanya kalo sudah 'teler' apapun yang mau dilakukan bisa, sudah tak ada rasa malu. Dan saya pikir si anak-anak geng motor itu pasti dekat dengan apa yang dikhawatirkan Bang Haji.

Jadi sekali lagi, saya ga kasihan sama geng motor.

A Bunch of idiots.

Anak-anak norak yang saking-ga-bangetnya-sampe-bikin-pengen-muntah.

Generasi penerus yang sedihnya tidak dapat diharapkan.

Boro-boro jadi pemimpin bangsa.

Benerin otaknya yang cuman satu aja ga mampu.

Tapi tunggu dulu.

Saya suka ingat orangtua mereka.

Sedih ga ya? pastilah.

Apalagi rata-rata baru 'ngeh' anaknya ikut geng motor setelah diciduk polisi.

Dan saya ingat.

Mereka adalah remaja.

Manusia 'kagok' yang terjebak antara pikiran kekanak-kanakan dan keinginan untuk dianggap 'dewasa'.

Saya kan setiap hari mengurusi manusia model gini.

Yang kalo diomongin susahnya minta ampun.

Yang kalo ga pake taktik khusus pasti tak mampu terjangkau.

"sigh"

Terlepas dari apa kata Bang Haji, tetap sesuatu terjadi karena ada sebabnya.

Lingkungan?

Orangtua yang terlalu sibuk?yang menganggap anak hanya butuh uang? Yang ga-tau-kenapa-tapi-seperti-yang-ga-mau-ngurus-anak?

Keluarga broken-home?

Guru yang semakin lama semakin berfungsi HANYA sebagai orang yang wajib didengarkan karena murid butuh nilai??

Teknologi media yang semakin lama semakin vulgar??

Sok naon??

Nu ngarasa salah ngacung heeyyy ...!!!



by Irma Susanti Irsyadi on Thursday, September 30, 2010 at 1:35am

Pernah suatu ketika, Adrian Smith; seorang teman berkebangsaan Inggris bertanya pada saya;

"Why do you have to be so devoted to your religion?, What if God does not exist, it's useless what you did .."

Saya tersenyum saja. Bukan pertamakali saya mendengar ketertarikan dan keterusterangan dari seorang asing terhadap ketekunan beragama. Dulupun ketika saya kuliah S1, native speaker kami, Madame Vinie pernah mengajak kami berdialog mengenai mengapa muslimah harus repot-repot memakai jilbab, yang akhirnya membuat beliau berkesimpulan, Ooh jadi kalian pake jilbab untuk menarik perhatian laki-laki ya??

Kesimpulan ngaco yang mungkin muncul karena ketidaksempurnaan kami menjelaskan. Maklum, pada waktu itu menjelaskan sesuatu yang sederhana dalam bahasa Prancis saja kami masih sudah megap-megap, apalagi menerangkan suatu hal yang berat seperti agama. Yang dimaksud kami adalah saya dan teman-teman sekelas kuliah.

Kembali ke pertanyaan Adrian, saya hanya menjawab:

"How do you know that He (hanya memakai kata ganti umum saja, ga berarti saya men-genderkan Allah) does not exist?"

Dan tentu jawaban si muka pucat itu adalah; Trus mana kalau ada? Mana yang disebut Tuhan?

Kalo ga inget bahwa saya punya kewajiban untuk menerangkan waktu itu, mungkin udah saya tabok tuh bule linglung (yang mengaku masuk Islam hanya untuk menikahi istrinya, seorang gadis Sunda). Tapi karena saya sadar bukan seperti itu caranya, ya sudah saya kasih tahu bahwa Allah tidak seperti manusia, yang harus punya wujud untuk dapat dilihat.

Percakapan saya dengan Adrian berlangsung lama dan 'hot'. Dari pertanyaan satu menukik ke yang lain. Dan khas orang Barat yang selalu mendasarkan pemikirannya pada logika, ia selalu dan selalu minta bukti, dan karena keterbatasan saya sebagai manusia juga yang membuat saya berharap semoga ia dapat mengerti karena memang saya tidak dapat membuktikan padanya bahwa Allah itu ada (secara fisik).

Orang-orang atheis sering sekali tidak dapat menerima logika 'agama' karena memang dogma agama, terutama 'samawi' seringnya mengawang-awang (bagi mereka). Pembicaraan mengenai akhirat, surga dan neraka layaknya negeri antah berantah bagi mereka. Apa yang terjadi kalau kamu mati?

Well, you'll disappear cause your life is over.

begitu katanya.

Orang seperti Adrian banyak, dan saya juga tidak berharap orang seperti itu akan langsung mendapat 'hidayah' kemudian memutuskan untuk beragama just like that. Itu mah sinetron, yang suka terlalu mudah membolak-balikkan dunia. Tugas saya kan hanya menyampaikan, selebihnya itu sudah wilayah prerogatifnya Allah (dan mungkin usaha manusianya juga).

Sedihnya, jika itu terjadi pada orang yang (memang) beragama. Dalam konteks budaya ketimuran kita dan fakta begitu melekatnya kita dengan yang namanya agama, ternyata tidak membuat hal tersebut menjadi tak mungkin. Bagaimana mungkin saya bilang kita tidak lekat dengan agama, wong kayaknya cuman di Indonesia aja ada banyak tradisi keagamaan yang bisa sampai mempengaruhi situasi nasional (mudik misalnya).

Ada banyak penyebab dan cerita dibalik mengapa orang berubah pikiran dari 'beragama' menjadi 'I-don't-need-any God-thank-you'. Bisa karena pengaruh bahan bacaan, tontonan dan pergaulan (katanya). Sampai-sampai hingga hari ini saya belum jadi terus baca bukunya Karl Max. Yang pertama karena lupa terus cari bukunya, yang kedua karena konon katanya jika mau baca buku ini harus kuat iman, kalo engga bisa tergelincir menjadi skeptis dan ujung-ujungnya atheis. Meski beberapa teman mengatakan dengan entengnya bahwa buku itu biasa aja, tapi saya pikir saya bisa paham jika ada orang yang bisa 'tercerahkan' maupun sebaliknya 'teredupkan' oleh sebuah benda yang namanya buku.

Seorang murid privat saya dulu, setiap kali saya ajak sholat selalu menolak. Alasannya, "Sorry, saya lagi marahan sama Allah" sampai-sampai waktu itu saya godain, "Ga boleh lebih dari 3 hari lho marahnya"

Alasan dia marah sama Sang Pencipta adalah karena dia merasa hidupnya banyak 'dikacaukan' oleh Allah. Semua yang ia inginkan tidak terkabul dan ia menimpakan semua kesalahannya pada Sang Pembuat Skenario yang menurutnya GA OKE banget. Untungnya dia masih beriman, masih mengaku muslim maksudnya. Karena katanya iman itu kan tidak cukup hanya diucapkan namun juga harus diamalkan.

Ada orang yang saking hausnya mencari kebenaran, sampai rela pindah-pindah agama demi sesuatu yang diyakini sebagai "the truth". Bagi saya ini menarik, karena ternyata bagi sebagian orang, kebenaran sampai harus dijugjug kaditu kadieu. Jika diibaratkan makanan, mereka adalah orang-orang yang mencari resep terenak untuk sebuah masakan tertentu. Sementara kita (umumnya) tinggal makan tuh makanan instan yang sudah tersedia tanpa harus mencari lagi. Yang saya maksud tentunya agama yang kita dapat sebagai warisan dari orangtua kita.

Saya terlahir dari orangtua beragama Islam, otomatis saya jadi orang muslim. Ketika saya masih kecil, saya memang hanya take it for granted saja. Tidak pernah terpikir untuk mempertanyakan kenapa begini-begitu. Namun ketika beranjak dewasa, saya tahu bahwa ternyata dunia tidak sepolos itu. Ada begitu banyak dogma, keyakinan, kepercayaan, what-so-called beliefs. Dan saya bersyukur diberikan Allah kesempatan untuk belajar dan mempelajari agama saya sendiri, hingga hari ini saya bisa mengatakan, Saya orang Islam. Saya adalah satu dari sekian banyak ruh yang ketika di dalam rahim ibu saya, sudah memberikan kesaksian beriman kepada Allah SWT. Dan kesaksian itu masih saya pegang hingga hari ini. Karena saya beruntung. Karena orangtua saya Islam.

Bukankah orangtua-nya yang menjadikan ia nasrani, yahudi, atau majusi??

Jadi, untukmu yang bertanya; DARIMANA KAMU DAPAT AGAMA?

Maka akan saya jawab; tentu dari usaha saya untuk mempertahankan keyakinan saya ini ditambah dengan penjagaan dan kasih sayang Allah selama hidup saya. Awalnya memang dari pewarisan namun warisan bisa habis jika tidak diinvestasikan.

Sekarang giliran saya untuk bertanya; BAGAIMANA DENGAN KAMU?

Apakah saat ini kamu sedang merasa sia-sia sudah beriman kepada-NYA? meski saya yakin betul kamu tidak (atau belum) tersesat sejauh itu. Mungkin kamu masih coba-coba, mungkin kamu sedang gamang, mungkin kamu merasa sedang linglung hingga kamu mem-PERSONA-NON-GRATA-kan Tuhan.

Tujuan saya membuat tulisan ini tidak untuk menghakimi kamu. Maafkan, tapi saya sedih dengan keadaanmu. Cepatlah kembali, jika memang kamu sedang mencari. Jika kamu memang sedang merasa kamu butuh sebuah 'bukti' seperti Adrian teman saya.

Carilah, dan cari terus keberadaan Allah di dalam dirimu. Siapa yang selama ini menggerakkan hatimu kepada kebaikan, siapa yang memelihara dan memberimu kehidupan hingga kamu bisa tetap bangun di setiap pagi?

Siapa yang mengatur dunia dengan sangat teraturnya? Matahari terbit di timur, tenggelam di barat. Panas dan dingin. Bahagia dan lega, cemas, sedih dan gelisah dan segudang pernak-pernik yang bernama perasaan itu?

Kalau kamu jawab itu 'kebetulan' (seperti yang selalu didengung2kan oleh orang2 atheis) maka kamu harus berpikir lagi. Berpikir terus. Karena Allah juga hanya dapat dipahami dengan kecerdasan akal.

Ah, andaikan saya bisa lebih cerdas lagi memberimu kekuatan. Ilmu saya masih cetek, makanya suka susah kalo memberikan 'pencerahan' (inginnya), tapi karena saya tahu Allah menjaga saya terus, jadi biarlah kata-kata saya yang ga begitu penting ini saya sampaikan juga.

Atau,

Mungkin saya terlalu lebay. Mungkin kamu sebenarnya biasa-biasa saja. Mungkin ini hanya serpihan episode hidupmu saja, yang sebentar lagi akan berganti dengan episode baru.

Maka, let me know when you're awake.

dan saya akan menyelamati kamu atas hasil pemikiranmu yang logis pada akhirnya.

Semoga.


by Irma Susanti Irsyadi on Thursday, September 23, 2010 at 9:25pm

Human's life cannot be separated from prejudice. Prasangka tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dan ini wajar, karena prasangka bisa kita jadikan hipotesa awal untuk menilai suatu masalah. Setelah hipotesa didapat, baru kita bisa mengujikannya ke dalam sebuah tindakan yang pada akhirnya akan memberikan kita kesimpulan akhir. Ujung-ujungnya masalah terselesaikan. (Maaf, sedang menderita pre-thesis writing syndrome :D)

Masalahnya, asumsi gampang sekali dibuat. Terlalu gampang malah. Penampilan adalah sesuatu yang sangat mudah menimbulkan asumsi. Seseorang yang berpenampilan compang-camping akan langsung kita kategorikan sebagai makhluk tak beruntung (yang mungkin tidurnya di kolong jembatan dan makannya sehari sekali itupun kalau ada). Padahal konon katanya banyak juga orang yang berpura-pura lusuh untuk melancarkan profesinya sebagai pengemis misalnya (ini katanya lho).

Seorang remaja yang wajahnya dipenuhi tindikan (piercing) biasanya kita tuduh sebagai anak nakal yang "berasal-dari-keluarga-broken-home-dan-hidupnya-ga-karuan". Padahal mungkin saja si remaja nge-fans sama orang India yang hobi ditindik dan sukanya goyang-goyang kepala itu (acha .. acha ..).

Terlalu gampang dan terlalu sering manusia membuat asumsi. Mungkin sudah kodratnya kita untuk senang menilai dan "melabeli" segala sesuatu. Dan tidak cukup begitu; kita juga terkadang merasa perlu untuk membubuhi label yang sudah kita lekatkan biar mantap. Padahal tanpa kita sadari (atau malah sering sadar tapi pura-pura ga sadar) kita juga emoh dibegitukan sama orang lain.

Dulu saya suka keuheul ke yang namanya supir angkot. Udah mah suka berhenti di mana aja tanpa aba-aba, ngetemnya lama dan kalo kejadian celaka sering ga mau disalahkan (pengalaman pribadi). Rasanya setiap kali lihat sopir angkot labelnya adalah "tukang serobot". Sampai akhirnya saya membiasakan diri untuk duduk di depan samping pa kusir.. eh .. pak sopir maksudnya, karena kalau duduk di belakang sering mulek sama asep rokok. Gara-gara sering duduk di depan saya jadi sering ngajak si bapak sopir ngobrol. Dari obrolan mereka, saya jadi tahu bahwa memang hidup mereka penuh dengan perjuangan. Mulai dari setoran yang-gak-mau-tau-gimana-caranya mesti mereka setorkan setiap hari. Para preman yang suka seenaknya minta uang sampai para penumpang yang bayar ongkosnya kurang.

Dulu juga saya suka keuheul kalo liat pengamen. "Nih orang kan masih bisa kerja ya", begitu dalam pikiran saya. Padahal ternyata "siapa sih yang mau jadi pengamen??" pasti mereka juga kalo ada pilihan tidak akan memilih untuk seperti itu.

Manusia itu memang riweuh dan senang me-riweuh-kan (urusan) orang lain. Sudah mah bikin asumsi, udah gitu merasa bisa berbuat lebih baik dari yang sudah dilakukan orang lain.

Seberapa sering sih kita mengatakan : "Coba mun kieu mah ..."

atau

"Mun saya mah nya .."

atau

"Euuh .. salah sih .. bukan gitu .. coba kalo saya yang ..."

atau

"Sebenarnya sih bisa kalau .... gimana sih, nu kitu wae teu bisa .."

Kalau lihat pertandingan bola , ada aja orang yang suka ngomel-ngomel ketika si pemain gagal meng-golkan bola.

"Euuuh .. belegug pamaen teh .. goreng pisaaan" (pengalaman tetangga)

Padahal kalo kita jadi pemain bola belum tentu bisa lebih baik dari si pemain yang kita caci maki.

Itu baru pemain bola, yang mungkin bukan siapa-siapanya kita. Mencaci juga karena saking intensnya kita nonton.

Terkadang kita berbuat begitu juga ke orang-orang yang dekat dengan kita. Dengan sok taunya kita (atau saya; bisi ada yang ga ngerasa hehe) suka merasa bisa berbuat lebih baik dibanding orang lain, bari jeung da can pernah dilakonan ku urang oge.

Kita terkadang lupa bahwa kita seharusnya belajar "melihat dari sudut pandang" orang lain. We need to view from other's perspective. Be in her/his/their shoes.

Kita tidak akan bisa bekerja lebih baik dari orang lain jika melulu kita memakai 'kacamata' pribadi. Mun teterusan maunya menyalahkan dan tidak-mau-tahu-alasan-kenapa-orang-berbuat-seperti-itu, kita akan tumbuh menjadi manusia yang ga banget. Kurang peka, kurang menghargai, kurang etika, kurang ... kurang .. asyeeem.

Ada sebuah film berjudul "In Her Shoes" yang menceritakan dua orang kakak beradik yang berbeda karakter. Keduanya saling membenci satu sama lain, tidak pernah akur. Setelah melewati serangkaian konflik akhirnya mereka belajar untuk memosisikan diri masing-masing menjadi yang lain. Jadi si adik bisa merasakan perasaan kakak-nya dan begitu sebaliknya. Hingga endingnya adalah mereka mampu memahami satu sama lain dan tak pernah cekcok lagi.

Persis seperti itu.

Ketika saya marah-marah pada anak-anak dan menurut saya "kenapa sih anak-anak teh meni hese dipapatahan" berarti saya lupa bahwa saya pernah jadi seorang anak. Saya juga akan sebel kalo dibegitukan sama ibu saya. Siapa yang ga keuheul kalo digelendeng terus. Ketika saya kesel sama murid karena kalakuan mereka, sesungguhnya saya sedang bercermin pada kelakuan saya bertahun-tahun lalu ketika seusia mereka.

Coba bayangkan jika semua orang mampu memandang dari sudut pandang orang lain. Rasakan bagaimana susahnya jadi orang lain. Pahami jalan pikirannya. Sadari bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain. Kita kan selalu merasa lebih karena kita tidak dalam posisi yang sekarang. Kita mungkin merasa lebih baik ketimbang tukang bangunan misalnya. Padahal kalo kita jadi tukang bangunan, mungkin gedungnya ga akan selesa-selesai kita bangun, karena kita ternyata (misalnya) lebih bodoh dari tukang bangunan lainnya.

Kalo ingat program student exchange atau pertukaran pelajar, saya jadi suka ka-ide-an.

Bagaimana yah kalo setiap orang bisa bertukar peran dalam kehidupan?

Supaya pada akhirnya kita bisa mengatakan:

"OH IYA YAH, TERNYATA SUSAH JADI SI ANU .. DAN SAYA TIDAK LEBIH BAIK DARINYA."

Dan kita akan lebih bijak lagi memandang hidup ini.

Wallahu'alam.



by Irma Susanti Irsyadi on Thursday, September 16, 2010 at 7:26pm

Salah seorang paman saya ada yang pindah domisili ke daerah kampung. And I'm talking about real village. Dulunya beliau bekerja, namun selepas pensiun dari pabrik (dimana anak buahnya banyakan sarjana, sementara sang paman cuman lulusan SMP), kabarnya paman jadi petani saja.

Awalnya saya pikir kabar itu dilebih-lebihkan. Saya tahu paman (atau Mang Acep, panggilannya) seorang pekerja keras, namun tak terbayang kalau ia memegang cangkul di tangan. Pindahnya beliau sudah lama, namun saya belum sempat mengunjunginya. Akhirnya siang tadi sampailah saya di rumah Mang Acep di kampung itu.

Kampungnya bernama Pasirlangu. Dari belokan Cisarua arah SPN (Sekolah Polisi Negara) belok kiri. Dari situ saya pikir udah deket taunya Masya Allah masih jauh sodara-sodara. Saya ketawa-ketiwi di perjalanan karena rasanya seperti menuju lokasi kemah alam yang biasa dituju anak-anak Asih Putera setiap tahun. Turun, naik, nanjak, mudun. Turun motor masih jalan lagi jauh ke bawah. Dan inilah dia si kampung misterius yang didiami mang Acep.

Wah ternyata mang Acep memang sudah hijrah jadi orang kampung asli. Saya terkaget-kaget melihat rumahnya yang terbuat dari bilik, beralaskan palupuh atau lantai papan. Dapurnya malah cuma tanah. Bukan berarti saya belum pernah lihat rumah panggung, hanya rasanya aneh membayangkan si Emang yang saya kenal tinggal di situ. Yang paling edun, rumahnya tak punya kamar mandi, jadi kalo mau pipis atau BAB mesti ke walungan di bawah. Eksotis pisaan. :P

Ngobrol dengan mang Acep lebih seru lagi. Suami sampai merod ingin tinggal di situ. Saya sih oke, tapi bagian ke WC nya itu tak usah lah yaw. Mang Acep punya lahan yang lumayan luas, ditanami waluh, cabe, tomat, leunca, jagung, hui boled, singkong dan padi. Jadi kalau untuk makan sehari-hari tak usah lagi pusing mikir, tinggal ngala leunca jadilah karedok. Bosen makan nasi, tinggal bakar jagung atau singkong atau hui boled. Jangan berpikir mang Acep kaya dengan banyaknya sayuran yang sering ia panen (karena ternyata waluh itu panennya 2 hari sekali), karena tetap saja petani menjual murah hasil produksinya ke tengkulak. :(

Namun setelah ngobrol, saya jadi tahu bahwa tengkulak-lah yang pertamakali memberi modal pada para petani, sehingga petani mau tidak mau harus menjual hasil panen mereka pada tengkulak. Harganya juga sudah ditentukan. Murahnya ga kira-kira. Dua pohon cengkeh milik mang Acep ditawar 5 ribu (untuk diambil semuanya) untung mereka ga mau ngasih, wah kabayang eta cengkeh loba pisan ngan lima rebu, kacidaaa.

Di daerah situ ternyata banyak anjing. Saya hitung ada kali 7 ekor mah. Bibi bilang anjing-anjing itu suka dipake moro atau berburu bagong/babi hutan. "Loh emang masih ada bagong?" saya tanya. "Nya lobaa atuh di luhur-luhur mah" jawab bibi. Subhanallah .. serasa dimana gitu. Dan yang lebih heboh pas saya tanya dikemanakan si bagong hasil buruan, dengan sedikit berbisik bibi mengatakan, "Nya dipeuncit wee .."

Weleh, weleh. Kagak ngarti sayah. Kenapa pula orang-orang masih menyantapnya (eh orang tertentu maksudnya, nanti disangka generalisasi lagi), jadi inget OBELIX temennya ASTERIX yang suka banget makan celeng panggang, halaaah. Mang Acep bilang orang situ gengsinya tinggi, biarpun hidup seadanya tapi mereka pengen makan selalu dengan daging, jadina daging naon we disikat. Aya careuh (sejenis musang) nya dimakan, aya biawak oge dihajar. Mang Acep bilang sering ditertawakan ketika orang melihat mang Acep cuma makan dengan lejet (hidangan dari waluh).

Tapi yang bikin saya terharu, bibi mengaku ia bahagia tinggal di situ. Paling tidak bibi ga usah pusing dengan makan, karena makanan tersedia banyak, asal mau nerima apa adanya. Huuh .. dasar bibi bikin saya jadi ga enak hati, karena masih amat sangat duniawi diri ini.

Selama berkunjung ke sana, kami diajak berkeliling memutari lahan milik mereka, nyabutan sampeu, mungutin tomat dan jeruk nipis. Setiap bertemu orang, pasti langsung disapa dan ditawari membawa sesuatu. Senangnya .. dasar orang kampung pengennya gotong royong teruus, beda ama orang kota pengennya individualis wae (seperti sayah misalnya hehe).

Pulangnya kami dibekali dua karung sayuran. Teu sirikna sadayana dibahankeun. Jadi enak .. hehe

Di perjalanan saya jadi berfikir, alangkah sederhananya hidup jika sudah tidak membutuhkan apa-apa. Cukup apa yang dipakai dan apa yang dimakan. Zuhud dan qona'ah meureun nya nu kitu teh.

Wallahu'alam.

NB.

Baru inget satu lagi cerita mang acep, yaitu org kalo pindahan ternyata rumahnya diangkat ke truk dan dipindahkan ke tmpt yg baru, dengan begitu pengeluaran biaya bisa ditekan tapi resikonya genting pararepeus ... Huahahaha .. Kabayang ngangkut imah, keren kayak di luar negeri aja mindahin rumah pake helikopterm


by Irma Susanti Irsyadi on Wednesday, September 8, 2010 at 8:41pm

Beberapa waktu yang lalu, masih di bulan Ramadhan, ketika sekolah belum libur, saya pernah mengisi kajian keputrian di sekolah. Awalnya materi saya adalah mengenai 'sex-education'; tentu bukan tentang "how to" (karena kalau itu baiknya kita serahkan saja pada guru biiologi) tapi lebih ke "What happen If", yaitu apa yang terjadi jika mereka melakukan "itu" sebelum waktunya. Ah sudahlah, tak usah bingung.

Keputrian yang awalnya hanya satu pertemuan akhirnya dilanjutkan menjadi dua kali pertemuan (kelas IX). Seru sekali ternyata membahas masalah perempuan dengan anak-anak perempuan, hingga akhirnya berujung pada kehormatan yang Allah berikan khusus untuk kaum kita, yaitu hamil dan melahirkan.

Tentu saja, untuk anak-anak usia segitu, penjelasan saya pasti mendebarkan dan mengerikan. Sampai-sampai di sela-sela ngadongeng, berulangkali mereka menukas, "Ya ampun bu, meni gitu2 teuing jadi perempuan teh .."

Namun pasti bagi kita yang sudah dewasa dan sudah melewati fase itu, istilah hamil dan melahirkan adalah biasa saja. Bahkan diantara kita mungkin ada yang sudah melahirkan lebih dari satu kali (saya contohnya hehe), dengan cara normal maupun khusus. Nevertheless, saya ingin berbagi dengan kita semua mengenai ini, karena baru saja saya membaca status teman saya yang sedang hamil, dan sedang begitu repotnya dia hingga lemas.

Saya pikir perempuan manapun pasti akan senang ketika dinyatakan hamil. Meski mungkin untuk beberapa orang merasa terkejut karena merasa belum siap atau apapun, namun cepat atau lambat Anda akan jatuh cinta kepada si makhluk yang berkembang di dalam rahim Anda, betapapun ia akan membuat Anda mengalami morning-siickness di pagi hari, sehingga apapun yang Anda telan, pasti akan Anda keluarkan lagi.

Si makhluk yang belum jelas ini akan sering membuat Anda mual,dan (mungkin) merasa tidak cantik lagi. Saya pernah mengatakan pada murid2 saya betapa cepatnya fisik wanita berubah. Tak membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat seorang wanita 'berubah' hanya cukup sekali hamil dan kemudian melahirkan. Isn't that so?

Wanita hamil memang berbeda-beda, semuanya mendapatkan cobaan dan harus melakoni perjuangan yang berbeda-beda. Bagi saya, 3 kali pengalaman itu mungkin tidak terlalu berat dibanding perempuan lain. Namun saya tahu ada banyak perempuan yang sangat payah sekali proses kehamilan sampai melahirkannya. Ada orang yang saya dengar malah harus diinfus sejak hamil hingga usia kehamilannya mulai besar ketika ia sudah mampu menelan makanan tanpa memuntahkannya. Tentu kita tidak dapat memilih, karena semua Allah yang memilihkannya untuk kita.

Nah, ketika Anda merasa sudah lebih enakan untuk makan, jangan harap Anda bisa bernafas lega, karena si kecil sekarang sudah sangat pandai menendang. Terkadang saking dahsyatnya, tendangannya bisa kerasa sampai ke ulu hati. Seringnya kita merasa bahagia, bahkan kita akan bercerita pada siapapun mengenai tendangan-tendangan itu. Bahkaan orang-orang yang kita kenal akan dengan senang hati memegang perut kita hanya untuk merasakan tendangan si kecil. Tapi bayangkan bila di malam hari, ketika mata Anda sudah ingin terpejam namun ia masih ingin bermain-main dengan Anda, tendang sana-tendang sini (mungkin dia pikir badan kita ini layaknya lapangan futsal indoor yang dapat disewa sepanjang waktu), walhasil (seperti pengalaman saya dulu) bukan tidur yang kita dapat melainkan sakit pinggang dan insomnia.

Tubuh kita makin lama makin ga jelas bentuknya. Kalau ditanyakan ke guru matematika, mungkin mereka akan bingung menentukan nama untuk bentuk tubuh wanita hamil. Disebut silinder bukan, prisma ga mirip, jajaran genjang apalagi. Beberapa bagian tubuh juga sudah menunjukkan "pengkhianatannya" kepada kita. Tidak usahlah saya sebutkan di sini, pasti pada ngerti.

Makin besar, makin susah. Sering ingin pipis, karena kandung kemih sudah terdesak oleh si kecil yang sudah kita sebut bayi. Pandangan kita sudah mulai terganggu, karena ketika melihat ke bawah, bukannya kaki yang kelihatan malah gundukan besar layaknya drum yang kita bawa kemana-mana.

Mendekati waktu melahirkan semakin kacau saja. Rasanya mulas ingin ke WC dan mulas kontraksi sudah tak dapat dibedakan. Begitu datang ke RS, rumah bersalin atau bidan, belum tentu kita akan langsung melahirkan dalam 5 menit. Mungkin kita akan diminta untuk jalan2 dulu dengan alasan melancarkan keluarnya si bayi, padahal rasanya batin ini sudah ingin menjerit, ingin segera semuanya selesai.

Ketika orang lain bisa dengan gampangnya bilang "Ya udah atuh, tinggal ngeden aja .." Oooh kita amat sangat tahu bahwa kenyataannya tidak segampang yang dikatakan. Mengejan itu ternyata susah saudara-saudara. Ketika keringat mulai bercucuran, nafas mulai tersengal-sengal, dan mulut rasanya ingin menjerit karena rasa sakit yang tak tertahankan. Di sinilah peran pendamping hidup amat menentukan. Kita butuh seseorang di sana (suami, ibu atau siapapun karena terkadang ada juga yg tdk membolehkan orang melahirkan ditunggui) untuk menyemangati kita, untuk menghapus peluh di kening kita, untuk menenteramkan kita dengan membisikkan beruntai-untai dzikir di telinga kita, karena luar biasa sekali ternyata godaan untuk jejeritan itu.

Mata murid-murid saya terbelalak waktu saya ceritakan itu semua. Bisa saya bayangkan betapa mengerikannya pengalaman model begitu untuk mereka. Tapi saya akhiri dengan mengatakan "Tak ada kebahagiaan yang paling indah bagi seorang ibu selain melihat wajah bayi yang baru saja ia lahirkan."

Semua keluh kesah, semua rasa sakit, semua kegelisahan dan kepenatan, semuanya musnah. Rasanya kita rela untuk melakoni lagi seluruh proses rangkaian perjuangan itu, ketika kita menatap wajahnya. Wajah bayi kita. Buah hati kita. Makhluk yang selama ini hanya mengganggu hidup kita. Tak ada. Tak ada rasa marah atau kesal. Yang ada hanya cinta. Kita cinta padanya.

Tentu teman-teman hapal betul dengan pahala yang bisa kita dapatkan jika kita mampu melewati perjuangan kita sebagai wanita itu semasa hamil hingga melahirkan, pahalanya sama dengan orang yang pergi berjihad dalam keadaan berpuasa. Subhanallah ...

Dan jangan berfikir perjuangan berakhir ketika kita melahirkan. Masih terbentang jutaan episode kehidupan kita bersamanya. Masih lama baru akan kita mereguk apa yang Allah janjikan pada kita, yaitu SURGA.

Dan anak-anak kita akan memuliakan kita tiga kali lebih tinggi dari mereka memuliakan ayah mereka.

Sungguh teman, kita-lah yang diberikan keagungan oleh Allah SWT ...

P.S : Teruntuk teman sma-ku Ratna Juwita; teman semasa di UE Ratna Sari Dewi; teman kuliah pasca Nadya Nitiswari; dan teman di skul Nawwira Kifliyah

dan untuk semua teman yang pernah hamil, ingin hamil, sedang mengusahakan hamil, ingin hamil lagi dan semua wanita lah pokoknya.

Hanya kesabaran-lah yang kita punya ...


by Irma Susanti Irsyadi on Monday, July 5, 2010 at 7:16pm
Once I knew a guy. When I was just a kid, he was already grown up but it didn't stop me to had a crush on him. The reason was so simple, he was a very well-built man and he won almost all the sport championship in the neighborhood. I was a kid, lots of reading princess stories with a shiny knight riding silver horse and everything. So, at that time, he was totally awesome (for me).

When I grown up to be a clumsy teen, I was seeing him differently. At that time, he was no longer a stranger but soon we became friends, even though he was much older than me. He was no longer my shining knight but only regular drunken late-teenager who tried so hard to find his self-esteem and show his pride to anyone by doing many ridiculous things. So when he showed his feeling, I was no longer interested, and the picture of my heroic-figure shattered.

Things that caused me hurting him was something I cannot share here, I just did. I immediately found out that he was not going to forgive me at once. But I still kept in my memory the image of him as my "shining knight" until now (a slight of childhood memories).

It was years ago but I can feel that hurt now because I met him this morning.

I know that he worked as a parking guy, still in the same neighborhood. Whenever I pass the street, I can see him clearly, even though times has changed him a lot. I often smile when I remember my feeling for him as a tiny girl.

This morning, my husband has something to do in that neighborhood, and we parked in that place. I hate to admit but I was little bit disoriented when we pulled over. I was afraid that he would not recognize me and even worse, he would not want to know me anymore.

I knew from a glimpse of my eyes that he was watching us. I was pretty sure that he realize my existence. I tried to smile when our eyes met, but he turned away. I was shocked, not that I did not expect that coming. And probably that because of my appearance too. Maybe I was not the same again, the same little girl he knew once. Maybe I was just another stranger to him.

But, for some reason; I know that he still knows me. He was ignoring me.

I was sorry for him, I was sorry for myself, cause there are things that aren't meant to be broken. Maybe the times cause it. Maybe the changes in human being cause it. I wish he know that one casual smile from him would be enough. Enough for me to know that he has forgiven me, it was all over (beside it was just a small problem) and we all are grown-up persons now.

The story of him is just an episode of the entire screen. There are some relationships that made me feel sorry. I am sorry that I could not mend them to be in one piece again. No matter what. I wish I know how to put back pieces of puzzles that can make the whole picture complete.

This morning, I felt that I have to whisper to the whirl of wind;

"I am really sorry for things that are not meant to be broken ..."