Jujur saya tidak dapat menghilangkan perasaan ini. Apa ya?? Ga jelas juga. Semuanya kembali membanjiri diri ini sejak saya menemukan blog gadis itu .. gadis manis yang pernah muncul tiba-tiba dalam hidup saya.
well, sepertinya kita harus mulai dari awal yah.
OK, here we go ...
Ibu saya hanya pernah menikah 1 kali. Selama dua tahun. Tak lebih dan tak kurang. Menyisakan saya dan kakak. Sebuah masalah yang saya juga tak begitu paham (dari kacamata orang jaman sekarang) telah membuat saya tak pernah mengenal orang yang punya andil, yang telah membuat saya laahir ke dunia.
Dan begitulah ... masa kecil saya tumbuh tanpa orangtua, karena selepas saya TK, ibu saya memutuskan untuk mengadu nasib ke tanah orang karena beliau punya cita-cita mulia ingin kami menjadi 'orang'.
Tak perlu saya ungkap di sini penggalan-penggalan episode per episode masa kecil saya. Saya pernah bercerita pada beberapa teman dan cerita saya membuat mereka tertegun-tegun tak percaya. Memang saya telah melewati beberapa hal dan pengalaman yang belum tentu dialami orang lain.
Anyway, ketika kuliah saya mulai berdamai dengan diri sendiri. Saya pikir saya tak akan pernah bisa beranjak jika saya tak mulai melangkah. Akhirnya saya mulai belajar memaafkan semua orang yang pernah membuat hidup saya menderita. Saya belajar untuk mensyukuri apa yang Allah berikan, yang memang saya sadari, semuanya adalah tarbiyah dari Allah. Saya sekarang adalah orang yang kuat. Tidak cengeng. Semuanya hasil dari pengalaman yang Allah berikan.
Orang pertama yang saya fikirkan adalah ayah saya. Saya ingin berdamai dengannya. Bukan berarti kami punya masalah sebelumnya. Dia adalah orang asing dalam hidup saya. Tak pernah ada dalam hati ini namanya terukir bersama nama-nama keluarga dan teman-teman..
Saya waktu itu ingin berjudi dengan nasib. Apakah lelaki itu cukup berani untuk berhadapan dengan saya, masa lalunya? Walau ketika umur 15 tahun ia sempat menolak bertemu dengan saya.
Keikhlasan saya menang. Saya ambil sehelai surat dan menulis beberapa kata untuknya. Sekedar supaya ia tahu bahwa saya masih peduli. Juga agar is tak usah khawatir saya takkan memaafkannya.
Maka bayangkan betapa excited-nya saya ketika yang membalas bukan dia. Melainkan guratan tangan seorang gadis manis dengan senyum ceria dan binar mata.
Saya tertegun. Seumur hidup saya tak pernah merasa dekat dengan kakak saya. Mungkin pengalaman hidup kami telah membuatnya malah terdiam di sudut.
Maka si gadis ini kemudian mengisi hari-hari saya. Membaca berlembar-lembar suratnya membuat saya tertawa, menangis. Berhari-hari. Saya tak lagi begitu peduli dengan orang pertama yang saya surati. Saya hanya tahu gadis ini punya beberapa kemiripan dengan saya. Saya merasa bangga. Entah kenapa. Padahal mungkin bagi orang lain, punya saudara perempuan itu biasa. Bagi saya tidak. Selama 20 tahun hidup saya waktu itu, saya belum pernah punya teman perempuan yg bisa saya panggil adik, yang akan memanggil saya teteh.
Pun ketika akhirnya saya bertemu ayah untuk pertamakalinya. Di suatu siang di terminal Cicaheum. Berjabat tangan dengannya hanya menyisakan sesak selama beberapa detik saja. Setelah itu kembali saya mengkategorikannya seperti seorang asing yang baru pertamakali saya kenal. Aneh memang, tapi mau bagaimana lagi? Dia tak pernah ada dalam hidup saya. Dia tak pernah menyaksikan saya pertama kali masuk SD, menyandang tas sekolah baru dan sudah bisa membaca. Pun dia tak ada ketika malam-malam saya terisak karena merasa menjadi makhluk paling menyedihkan yang pernah ada. He is invisible. As simple as that.
Jangankan dia. Ibu saya pun tak pernah tahu apa-apa tentang saya.
Ketika saya menikah, dia tak ada karena tak ada yang merestuinya, saya masih asik aja. Ketika kami berkunjung sambil menggendong Kaka dan Uni mengunjungi rumahnya, saya tak juga bergeming. Saya hanya senang karena akhirnya bisa tahu rumah gadis itu dan adiknya, yang sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Pun ketika ayah saya mencoba me-rewind kembali peristiwa puluhan tahun lalu ketika ia berpisah dengan ibu saya saat saya berusia tiga hari. Saya memotong kalimatnya. Saya tak ingin dengar. Saya tak mau harus mendengar versi yang berbeda dari yang ibu saya ceritakan. Saya muak. Muak dengan verifikasi orang-orang. Saya tidak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biarlah itu menjadi sisa kenangan saja. Tak Lebih. Saya tak mau berubah menjadi seorang sok tahu yang akan men-judge hanya dari cerita saja.
Maka tahun-tahun pun berlalu. Si gadis akhirnya berteman juga dengan kakak saya, lelaki dingin yang sampai hari ini tak pernah bisa saya pahami. Kabar terakhir yang saya tahu, gadis itu pergi menuntut ilmu ke negeri seribu kincir. Saya tak heran. Dia memang cerdas.
Saya sempat melupakannya. Kesibukan mengejar dunia memang sanggup menenggelamkan kita.
Sampai akhirnya saya iseng mencari namanya di search engine. Terdamparlah saya di blog-nya yang amat sangat dia banget.
Saya bersorak. Rasanya seperti menemukan kembali kepingan puzzle yang hilang. Semua tulisannya saya urai. Saya maknai. Dan saya pun terhempas ..
One thing for sure. She really loves her father. Our father.
Saya yang mengaku tak peduli. Saya yang tak pernah menyertakannya dalam doa birrul walidain saya tiba-tiba merasa ...
Saya marah. Ketika ia bercerita satu demi satu tentang lelaki itu. Saya kesal. This is outrageous!!
Kenapa orang yang dahulu kala pernah saya tanyakan dalam hati, yang saya tunggu kedatangannya ternyata adalah pahlawan gadis itu.
Ga bisa begini dong ...
Ketika ayah saya bisa mencintai gadis itu, batin saya menangis karena saya ingin diperlakukan serupa.
Why?
Saya sempat mengambil kesimpulan. Cynical conclusion. Just another lucky girl.
Jadi kemana perginya keikhlasan yang sudah terbangun bertahun-tahun dalamdiri saya?
kemana perginya segala tetek bengek : Je suis content!!
Akhirnya terpaksa saya harus berkesimpulan : Meski saya menolaknya selama ini, ternyata ia memang saya nantikan.
But well, ini bukan sebuah keputusan.
Saya tak mau keadaannya berubah. Hidup saya dan hidupnya jauh terpisah. Mungkin cara pandang kami pun tak sama. Biarlah seperti itu. tak usah ada yang berubah.
And i will be fine. Just fine.
Waktu akan menyembuhkan. This is just another episode. another scene.
Lihatlah saya.
Masih bisa tersenyum-senyum saat baca tulisan si gadis bintang.
Ga apa apa dek ...
Saya ikut menikmati hidupmu, meski se'aneh' apapun itu dibanding hidup saya yang simple and fun ini (hadaah ..)
Bagaimana dengan episode berikutnya??
Yah, kita lihat saja lah ...
well, sepertinya kita harus mulai dari awal yah.
OK, here we go ...
Ibu saya hanya pernah menikah 1 kali. Selama dua tahun. Tak lebih dan tak kurang. Menyisakan saya dan kakak. Sebuah masalah yang saya juga tak begitu paham (dari kacamata orang jaman sekarang) telah membuat saya tak pernah mengenal orang yang punya andil, yang telah membuat saya laahir ke dunia.
Dan begitulah ... masa kecil saya tumbuh tanpa orangtua, karena selepas saya TK, ibu saya memutuskan untuk mengadu nasib ke tanah orang karena beliau punya cita-cita mulia ingin kami menjadi 'orang'.
Tak perlu saya ungkap di sini penggalan-penggalan episode per episode masa kecil saya. Saya pernah bercerita pada beberapa teman dan cerita saya membuat mereka tertegun-tegun tak percaya. Memang saya telah melewati beberapa hal dan pengalaman yang belum tentu dialami orang lain.
Anyway, ketika kuliah saya mulai berdamai dengan diri sendiri. Saya pikir saya tak akan pernah bisa beranjak jika saya tak mulai melangkah. Akhirnya saya mulai belajar memaafkan semua orang yang pernah membuat hidup saya menderita. Saya belajar untuk mensyukuri apa yang Allah berikan, yang memang saya sadari, semuanya adalah tarbiyah dari Allah. Saya sekarang adalah orang yang kuat. Tidak cengeng. Semuanya hasil dari pengalaman yang Allah berikan.
Orang pertama yang saya fikirkan adalah ayah saya. Saya ingin berdamai dengannya. Bukan berarti kami punya masalah sebelumnya. Dia adalah orang asing dalam hidup saya. Tak pernah ada dalam hati ini namanya terukir bersama nama-nama keluarga dan teman-teman..
Saya waktu itu ingin berjudi dengan nasib. Apakah lelaki itu cukup berani untuk berhadapan dengan saya, masa lalunya? Walau ketika umur 15 tahun ia sempat menolak bertemu dengan saya.
Keikhlasan saya menang. Saya ambil sehelai surat dan menulis beberapa kata untuknya. Sekedar supaya ia tahu bahwa saya masih peduli. Juga agar is tak usah khawatir saya takkan memaafkannya.
Maka bayangkan betapa excited-nya saya ketika yang membalas bukan dia. Melainkan guratan tangan seorang gadis manis dengan senyum ceria dan binar mata.
Saya tertegun. Seumur hidup saya tak pernah merasa dekat dengan kakak saya. Mungkin pengalaman hidup kami telah membuatnya malah terdiam di sudut.
Maka si gadis ini kemudian mengisi hari-hari saya. Membaca berlembar-lembar suratnya membuat saya tertawa, menangis. Berhari-hari. Saya tak lagi begitu peduli dengan orang pertama yang saya surati. Saya hanya tahu gadis ini punya beberapa kemiripan dengan saya. Saya merasa bangga. Entah kenapa. Padahal mungkin bagi orang lain, punya saudara perempuan itu biasa. Bagi saya tidak. Selama 20 tahun hidup saya waktu itu, saya belum pernah punya teman perempuan yg bisa saya panggil adik, yang akan memanggil saya teteh.
Pun ketika akhirnya saya bertemu ayah untuk pertamakalinya. Di suatu siang di terminal Cicaheum. Berjabat tangan dengannya hanya menyisakan sesak selama beberapa detik saja. Setelah itu kembali saya mengkategorikannya seperti seorang asing yang baru pertamakali saya kenal. Aneh memang, tapi mau bagaimana lagi? Dia tak pernah ada dalam hidup saya. Dia tak pernah menyaksikan saya pertama kali masuk SD, menyandang tas sekolah baru dan sudah bisa membaca. Pun dia tak ada ketika malam-malam saya terisak karena merasa menjadi makhluk paling menyedihkan yang pernah ada. He is invisible. As simple as that.
Jangankan dia. Ibu saya pun tak pernah tahu apa-apa tentang saya.
Ketika saya menikah, dia tak ada karena tak ada yang merestuinya, saya masih asik aja. Ketika kami berkunjung sambil menggendong Kaka dan Uni mengunjungi rumahnya, saya tak juga bergeming. Saya hanya senang karena akhirnya bisa tahu rumah gadis itu dan adiknya, yang sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Pun ketika ayah saya mencoba me-rewind kembali peristiwa puluhan tahun lalu ketika ia berpisah dengan ibu saya saat saya berusia tiga hari. Saya memotong kalimatnya. Saya tak ingin dengar. Saya tak mau harus mendengar versi yang berbeda dari yang ibu saya ceritakan. Saya muak. Muak dengan verifikasi orang-orang. Saya tidak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biarlah itu menjadi sisa kenangan saja. Tak Lebih. Saya tak mau berubah menjadi seorang sok tahu yang akan men-judge hanya dari cerita saja.
Maka tahun-tahun pun berlalu. Si gadis akhirnya berteman juga dengan kakak saya, lelaki dingin yang sampai hari ini tak pernah bisa saya pahami. Kabar terakhir yang saya tahu, gadis itu pergi menuntut ilmu ke negeri seribu kincir. Saya tak heran. Dia memang cerdas.
Saya sempat melupakannya. Kesibukan mengejar dunia memang sanggup menenggelamkan kita.
Sampai akhirnya saya iseng mencari namanya di search engine. Terdamparlah saya di blog-nya yang amat sangat dia banget.
Saya bersorak. Rasanya seperti menemukan kembali kepingan puzzle yang hilang. Semua tulisannya saya urai. Saya maknai. Dan saya pun terhempas ..
One thing for sure. She really loves her father. Our father.
Saya yang mengaku tak peduli. Saya yang tak pernah menyertakannya dalam doa birrul walidain saya tiba-tiba merasa ...
Saya marah. Ketika ia bercerita satu demi satu tentang lelaki itu. Saya kesal. This is outrageous!!
Kenapa orang yang dahulu kala pernah saya tanyakan dalam hati, yang saya tunggu kedatangannya ternyata adalah pahlawan gadis itu.
Ga bisa begini dong ...
Ketika ayah saya bisa mencintai gadis itu, batin saya menangis karena saya ingin diperlakukan serupa.
Why?
Saya sempat mengambil kesimpulan. Cynical conclusion. Just another lucky girl.
Jadi kemana perginya keikhlasan yang sudah terbangun bertahun-tahun dalamdiri saya?
kemana perginya segala tetek bengek : Je suis content!!
Akhirnya terpaksa saya harus berkesimpulan : Meski saya menolaknya selama ini, ternyata ia memang saya nantikan.
But well, ini bukan sebuah keputusan.
Saya tak mau keadaannya berubah. Hidup saya dan hidupnya jauh terpisah. Mungkin cara pandang kami pun tak sama. Biarlah seperti itu. tak usah ada yang berubah.
And i will be fine. Just fine.
Waktu akan menyembuhkan. This is just another episode. another scene.
Lihatlah saya.
Masih bisa tersenyum-senyum saat baca tulisan si gadis bintang.
Ga apa apa dek ...
Saya ikut menikmati hidupmu, meski se'aneh' apapun itu dibanding hidup saya yang simple and fun ini (hadaah ..)
Bagaimana dengan episode berikutnya??
Yah, kita lihat saja lah ...
16 Februari 2009 pukul 06.18
huaaaa....madam....sangadh romantic mode:ON lah pokona mah!!hahahaha...
*ngakak ndiri bacanya*
betah neh lama2 baca blog madam mah..hahaha...tapi din lum baca semua..tugas Myanmar menunggu noh!!!*heu* baiklah....ntar din baca semuanya..*janji Pramuka*(jangan protes..din anak pramuka dulunya..hahaha..^^
^^deenz_tegoshi^^