Sejauh yang saya ingat, saya punya ingatan yang panjang. Sejak kecil otak saya sudah terbiasa menampung banyak informasi dan mengeluarkan folder info itu kapan saja. Ini mungkin dipengaruhi kebiasaan membaca saya yang sudah dilakukan sejak saya dapat membaca.
Hal ini di kemudian hari memang menjadi penolong saya. Saya tak pernah mengulang pelajaran dari sekolah di rumah. Ever. Jadi selama bertahun-tahun saya hanya mengandalkan panjangnya memori saya untuk bisa menjawab soal-soal ulangan.
Sebagai contoh, jika mengobrol dengan orang, saya dapat mengingat semua detail yang ia ceritakan. Ibaratnya, baru ketemu saya 5 menit saja, kehidupan Anda sudah terangkum di memori saya. Saya sampai sering pura-pura lupa mengenai detil seseorang karena takut disangka memata-matai. Dulu saya pernah ketemu dengan seseorang yang pernah kenalan dengan saya. Kami hanya pernah ketemu sekali. Ngobrol ringan. Saling bertukar alamat dan hal-hal sepele. Entah kapan setelah itu, kami bertemu kembali. Saya yang duluan nanya, dan dia terlihat surprise. Mungkin dia tak menyangka bahwa saya masih ingat. Padahal saya masih mengingat jelas semua rincian percakapan kami. Tapi yang terjadi, saya malah menanyakan ulang dimana rumahnya, soalnya pernah kejadian ada orang yang nyangka saya ngefans sama dia gara-gara saya tahu banyak tentangnya, padahal jelas-jelas dia sendiri yang cerita. Kalo kemudian saya masih ingat, ya bukan salah saya dong.
Untuk pelajaran favorit saya seperti bahasa dan sosial, ini membantu sekali. Sampai-sampai dulu saya sempat kepikiran mau masuk jurusan sejarah saja. Sampai sekarang pun masih sangat membantu, karena saya jadi gampang untuk mendongeng tentang apa saja pada murid-murid saya, saking banyaknya info yang ada di otak saya.
Ternyata ada orang lain juga yang sesekali diuntungkan karena bakat saya itu (hadaah .. serasa one of HEROES). Suami saya, kebalikan saya. Bukan hanya dari segi postur tubuh tapi juga ingatan. Mungkin karena dia orang teknis, yang amat sangat irit dalam mendramatisasi segala sesuatu (beda banget ama saya) maka ingatannya juga menurut saya amat minim.
Segala sesuatu yang terjadi dengannya, dan segala hal yang pernah ia ceritakan, saya ingat. Seringkali ketika saya me-review, suami saya akan terkaget-kaget, dan bayangkan ekspresinya saat ia meng-confirm:
"Iya gitu? Abi ngomong gitu mi? Masa siih?" (Saya suka gemes deh, rasanya pengen kemana-mana pake alat perekam aja supaya jadi barang bukti)
Atau:
"Oh .. kita nikahnya tanggal 12 Maret ya? Yakin bukan 20?" (saya tak urung mikir: yang tanggal 20 dia nikah ama siapa ya?)
Setelah saya yakinkan (plus mengancam sambil menunjukkan surat nikah) baru deh dia percaya.
Seiring berjalannya waktu, ia malah mengandalkan ingatan saya untuk banyak hal. Seperti untuk mengenali teman-teman sekolahnya dulu. Ketika dia berusaha keras mengingat-ingat,
"Inget ga, temen abi dulu yang pernah .... yang suka ..."
sontak saya menjawab: "Oh iya, si itu ... kan?"
"Oh ya ya." suami saya manggut-manggut.
Keterlaluan memang. Padahal kan yang punya pengalaman sama si orang yang dimaksud itu dia, bukan saya.
Suatu hari, dia cerita ketemu temen SMA-nya di angkot. Suami saya ga ngenalin karna si teman sudah memakai jilbab. Akhirnya suami saya mengangkat tangan di depan wajahnya, maksudnya sambil ngebayangin wajah temannya itu tanpa jilbab. Dia pun berhasil. "Fetty ya??"
Beberapa waktu yang lalu, saya ikut dia ke reuni temen SMA-nya. Di sana si abi cerita bahwa dia ketemu Fetty. Kali ini dia lupa dimana tempatnya. Otomatis, dia noleh ke saya. Dan panjang lebar saya menceritakan kronologis kejadiannya. Lengkap dengan cara bagaimana si abi mengenali Fetty. Tuuh, berguna kan??
Semua hal pasti ada positif, negatifnya. Jeleknya, dengan ingatan panjang ini, saya jadi selalu teringat dengan hal-hal memalukan atau apapun yang pikaseurieun tentang seseorang pas saya ketemu dengannya. Jadi belum apa-apa saya udah senyam senyum duluan.
Saya suka menganggap ada banyak orang kayak saya. Pastilah. Orangnya pasti banyak baca dan mungkin juga banyak omong, he he. Jadi saya suka terheran-heran kenapa si abi bisa ga ingat banyak hal, padahal itu gampang banget.
Jadi ketika di reuni-an suami dan teman-temannya saya sedikit kaget. Karena ternyata si abi lebih banyak mengingat kenangan dibanding teman-temannya. Rada bangga juga. Mungkin dia sudah belajar banyak dari saya. Deeuh ...
So, hari ini saya lebih kaget lagi. Suami saya lagi rajin kontak-kontakan lagi sama teman-temannya itu. Ketika mengingat nama-nama teman kelas 1 sma, suami saya bilang ia hanya bisa menyebutkan 30 nama teman saja. Teman-temannya langsung memuji. Bahkan ada yang menyangka suami saya megang buku absen karena kok masih hapal. Buseet daah ..
Akhirnya, si abi berkesimpulan:
"Bukan abi yang ingatannya pendek, buktinya orang lain banyak yang lebih parah, tapi emang umi yang aneh sendiri."
Saya jadi tercenung. Merinding juga. Saya? Aneh? Mmh .. iya juga sih.
Saya orangnya banyak omong. Mungkin sepuluh kali lipat dibanding orang pada umumnya. Saya banyak makan (lebih banyak dari suami saya, dan mungkin sama porsinya dengan bapak-bapak guru di sekolah) tapi badan saya ga membengkak. Saya tidak suka susu, padahal bermilyar-milyar orang di planet ini menggandrungi minuman eneg satu itu.
Saya suka museum. Museum bagi saya menarik. Bagi orang membosankan. Saya suka membaca dengan suara keras, padahal tak ada yang mendengarkan. Saya kadang suka ngomong sendiri, bahkan di dalam otakpun saya kadang suka berdialog sendiri.
Ya ampun .. jangan-jangan saya memang anomali.
Hal ini di kemudian hari memang menjadi penolong saya. Saya tak pernah mengulang pelajaran dari sekolah di rumah. Ever. Jadi selama bertahun-tahun saya hanya mengandalkan panjangnya memori saya untuk bisa menjawab soal-soal ulangan.
Sebagai contoh, jika mengobrol dengan orang, saya dapat mengingat semua detail yang ia ceritakan. Ibaratnya, baru ketemu saya 5 menit saja, kehidupan Anda sudah terangkum di memori saya. Saya sampai sering pura-pura lupa mengenai detil seseorang karena takut disangka memata-matai. Dulu saya pernah ketemu dengan seseorang yang pernah kenalan dengan saya. Kami hanya pernah ketemu sekali. Ngobrol ringan. Saling bertukar alamat dan hal-hal sepele. Entah kapan setelah itu, kami bertemu kembali. Saya yang duluan nanya, dan dia terlihat surprise. Mungkin dia tak menyangka bahwa saya masih ingat. Padahal saya masih mengingat jelas semua rincian percakapan kami. Tapi yang terjadi, saya malah menanyakan ulang dimana rumahnya, soalnya pernah kejadian ada orang yang nyangka saya ngefans sama dia gara-gara saya tahu banyak tentangnya, padahal jelas-jelas dia sendiri yang cerita. Kalo kemudian saya masih ingat, ya bukan salah saya dong.
Untuk pelajaran favorit saya seperti bahasa dan sosial, ini membantu sekali. Sampai-sampai dulu saya sempat kepikiran mau masuk jurusan sejarah saja. Sampai sekarang pun masih sangat membantu, karena saya jadi gampang untuk mendongeng tentang apa saja pada murid-murid saya, saking banyaknya info yang ada di otak saya.
Ternyata ada orang lain juga yang sesekali diuntungkan karena bakat saya itu (hadaah .. serasa one of HEROES). Suami saya, kebalikan saya. Bukan hanya dari segi postur tubuh tapi juga ingatan. Mungkin karena dia orang teknis, yang amat sangat irit dalam mendramatisasi segala sesuatu (beda banget ama saya) maka ingatannya juga menurut saya amat minim.
Segala sesuatu yang terjadi dengannya, dan segala hal yang pernah ia ceritakan, saya ingat. Seringkali ketika saya me-review, suami saya akan terkaget-kaget, dan bayangkan ekspresinya saat ia meng-confirm:
"Iya gitu? Abi ngomong gitu mi? Masa siih?" (Saya suka gemes deh, rasanya pengen kemana-mana pake alat perekam aja supaya jadi barang bukti)
Atau:
"Oh .. kita nikahnya tanggal 12 Maret ya? Yakin bukan 20?" (saya tak urung mikir: yang tanggal 20 dia nikah ama siapa ya?)
Setelah saya yakinkan (plus mengancam sambil menunjukkan surat nikah) baru deh dia percaya.
Seiring berjalannya waktu, ia malah mengandalkan ingatan saya untuk banyak hal. Seperti untuk mengenali teman-teman sekolahnya dulu. Ketika dia berusaha keras mengingat-ingat,
"Inget ga, temen abi dulu yang pernah .... yang suka ..."
sontak saya menjawab: "Oh iya, si itu ... kan?"
"Oh ya ya." suami saya manggut-manggut.
Keterlaluan memang. Padahal kan yang punya pengalaman sama si orang yang dimaksud itu dia, bukan saya.
Suatu hari, dia cerita ketemu temen SMA-nya di angkot. Suami saya ga ngenalin karna si teman sudah memakai jilbab. Akhirnya suami saya mengangkat tangan di depan wajahnya, maksudnya sambil ngebayangin wajah temannya itu tanpa jilbab. Dia pun berhasil. "Fetty ya??"
Beberapa waktu yang lalu, saya ikut dia ke reuni temen SMA-nya. Di sana si abi cerita bahwa dia ketemu Fetty. Kali ini dia lupa dimana tempatnya. Otomatis, dia noleh ke saya. Dan panjang lebar saya menceritakan kronologis kejadiannya. Lengkap dengan cara bagaimana si abi mengenali Fetty. Tuuh, berguna kan??
Semua hal pasti ada positif, negatifnya. Jeleknya, dengan ingatan panjang ini, saya jadi selalu teringat dengan hal-hal memalukan atau apapun yang pikaseurieun tentang seseorang pas saya ketemu dengannya. Jadi belum apa-apa saya udah senyam senyum duluan.
Saya suka menganggap ada banyak orang kayak saya. Pastilah. Orangnya pasti banyak baca dan mungkin juga banyak omong, he he. Jadi saya suka terheran-heran kenapa si abi bisa ga ingat banyak hal, padahal itu gampang banget.
Jadi ketika di reuni-an suami dan teman-temannya saya sedikit kaget. Karena ternyata si abi lebih banyak mengingat kenangan dibanding teman-temannya. Rada bangga juga. Mungkin dia sudah belajar banyak dari saya. Deeuh ...
So, hari ini saya lebih kaget lagi. Suami saya lagi rajin kontak-kontakan lagi sama teman-temannya itu. Ketika mengingat nama-nama teman kelas 1 sma, suami saya bilang ia hanya bisa menyebutkan 30 nama teman saja. Teman-temannya langsung memuji. Bahkan ada yang menyangka suami saya megang buku absen karena kok masih hapal. Buseet daah ..
Akhirnya, si abi berkesimpulan:
"Bukan abi yang ingatannya pendek, buktinya orang lain banyak yang lebih parah, tapi emang umi yang aneh sendiri."
Saya jadi tercenung. Merinding juga. Saya? Aneh? Mmh .. iya juga sih.
Saya orangnya banyak omong. Mungkin sepuluh kali lipat dibanding orang pada umumnya. Saya banyak makan (lebih banyak dari suami saya, dan mungkin sama porsinya dengan bapak-bapak guru di sekolah) tapi badan saya ga membengkak. Saya tidak suka susu, padahal bermilyar-milyar orang di planet ini menggandrungi minuman eneg satu itu.
Saya suka museum. Museum bagi saya menarik. Bagi orang membosankan. Saya suka membaca dengan suara keras, padahal tak ada yang mendengarkan. Saya kadang suka ngomong sendiri, bahkan di dalam otakpun saya kadang suka berdialog sendiri.
Ya ampun .. jangan-jangan saya memang anomali.