by Irma Susanti Irsyadi on Thursday, September 23, 2010 at 9:25pm
Human's life cannot be separated from prejudice. Prasangka tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dan ini wajar, karena prasangka bisa kita jadikan hipotesa awal untuk menilai suatu masalah. Setelah hipotesa didapat, baru kita bisa mengujikannya ke dalam sebuah tindakan yang pada akhirnya akan memberikan kita kesimpulan akhir. Ujung-ujungnya masalah terselesaikan. (Maaf, sedang menderita pre-thesis writing syndrome :D)
Masalahnya, asumsi gampang sekali dibuat. Terlalu gampang malah. Penampilan adalah sesuatu yang sangat mudah menimbulkan asumsi. Seseorang yang berpenampilan compang-camping akan langsung kita kategorikan sebagai makhluk tak beruntung (yang mungkin tidurnya di kolong jembatan dan makannya sehari sekali itupun kalau ada). Padahal konon katanya banyak juga orang yang berpura-pura lusuh untuk melancarkan profesinya sebagai pengemis misalnya (ini katanya lho).
Seorang remaja yang wajahnya dipenuhi tindikan (piercing) biasanya kita tuduh sebagai anak nakal yang "berasal-dari-keluarga-broken-home-dan-hidupnya-ga-karuan". Padahal mungkin saja si remaja nge-fans sama orang India yang hobi ditindik dan sukanya goyang-goyang kepala itu (acha .. acha ..).
Terlalu gampang dan terlalu sering manusia membuat asumsi. Mungkin sudah kodratnya kita untuk senang menilai dan "melabeli" segala sesuatu. Dan tidak cukup begitu; kita juga terkadang merasa perlu untuk membubuhi label yang sudah kita lekatkan biar mantap. Padahal tanpa kita sadari (atau malah sering sadar tapi pura-pura ga sadar) kita juga emoh dibegitukan sama orang lain.
Dulu saya suka keuheul ke yang namanya supir angkot. Udah mah suka berhenti di mana aja tanpa aba-aba, ngetemnya lama dan kalo kejadian celaka sering ga mau disalahkan (pengalaman pribadi). Rasanya setiap kali lihat sopir angkot labelnya adalah "tukang serobot". Sampai akhirnya saya membiasakan diri untuk duduk di depan samping pa kusir.. eh .. pak sopir maksudnya, karena kalau duduk di belakang sering mulek sama asep rokok. Gara-gara sering duduk di depan saya jadi sering ngajak si bapak sopir ngobrol. Dari obrolan mereka, saya jadi tahu bahwa memang hidup mereka penuh dengan perjuangan. Mulai dari setoran yang-gak-mau-tau-gimana-caranya mesti mereka setorkan setiap hari. Para preman yang suka seenaknya minta uang sampai para penumpang yang bayar ongkosnya kurang.
Dulu juga saya suka keuheul kalo liat pengamen. "Nih orang kan masih bisa kerja ya", begitu dalam pikiran saya. Padahal ternyata "siapa sih yang mau jadi pengamen??" pasti mereka juga kalo ada pilihan tidak akan memilih untuk seperti itu.
Manusia itu memang riweuh dan senang me-riweuh-kan (urusan) orang lain. Sudah mah bikin asumsi, udah gitu merasa bisa berbuat lebih baik dari yang sudah dilakukan orang lain.
Seberapa sering sih kita mengatakan : "Coba mun kieu mah ..."
atau
"Mun saya mah nya .."
atau
"Euuh .. salah sih .. bukan gitu .. coba kalo saya yang ..."
atau
"Sebenarnya sih bisa kalau .... gimana sih, nu kitu wae teu bisa .."
Kalau lihat pertandingan bola , ada aja orang yang suka ngomel-ngomel ketika si pemain gagal meng-golkan bola.
"Euuuh .. belegug pamaen teh .. goreng pisaaan" (pengalaman tetangga)
Padahal kalo kita jadi pemain bola belum tentu bisa lebih baik dari si pemain yang kita caci maki.
Itu baru pemain bola, yang mungkin bukan siapa-siapanya kita. Mencaci juga karena saking intensnya kita nonton.
Terkadang kita berbuat begitu juga ke orang-orang yang dekat dengan kita. Dengan sok taunya kita (atau saya; bisi ada yang ga ngerasa hehe) suka merasa bisa berbuat lebih baik dibanding orang lain, bari jeung da can pernah dilakonan ku urang oge.
Kita terkadang lupa bahwa kita seharusnya belajar "melihat dari sudut pandang" orang lain. We need to view from other's perspective. Be in her/his/their shoes.
Kita tidak akan bisa bekerja lebih baik dari orang lain jika melulu kita memakai 'kacamata' pribadi. Mun teterusan maunya menyalahkan dan tidak-mau-tahu-alasan-kenapa-orang-berbuat-seperti-itu, kita akan tumbuh menjadi manusia yang ga banget. Kurang peka, kurang menghargai, kurang etika, kurang ... kurang .. asyeeem.
Ada sebuah film berjudul "In Her Shoes" yang menceritakan dua orang kakak beradik yang berbeda karakter. Keduanya saling membenci satu sama lain, tidak pernah akur. Setelah melewati serangkaian konflik akhirnya mereka belajar untuk memosisikan diri masing-masing menjadi yang lain. Jadi si adik bisa merasakan perasaan kakak-nya dan begitu sebaliknya. Hingga endingnya adalah mereka mampu memahami satu sama lain dan tak pernah cekcok lagi.
Persis seperti itu.
Ketika saya marah-marah pada anak-anak dan menurut saya "kenapa sih anak-anak teh meni hese dipapatahan" berarti saya lupa bahwa saya pernah jadi seorang anak. Saya juga akan sebel kalo dibegitukan sama ibu saya. Siapa yang ga keuheul kalo digelendeng terus. Ketika saya kesel sama murid karena kalakuan mereka, sesungguhnya saya sedang bercermin pada kelakuan saya bertahun-tahun lalu ketika seusia mereka.
Coba bayangkan jika semua orang mampu memandang dari sudut pandang orang lain. Rasakan bagaimana susahnya jadi orang lain. Pahami jalan pikirannya. Sadari bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain. Kita kan selalu merasa lebih karena kita tidak dalam posisi yang sekarang. Kita mungkin merasa lebih baik ketimbang tukang bangunan misalnya. Padahal kalo kita jadi tukang bangunan, mungkin gedungnya ga akan selesa-selesai kita bangun, karena kita ternyata (misalnya) lebih bodoh dari tukang bangunan lainnya.
Kalo ingat program student exchange atau pertukaran pelajar, saya jadi suka ka-ide-an.
Bagaimana yah kalo setiap orang bisa bertukar peran dalam kehidupan?
Supaya pada akhirnya kita bisa mengatakan:
"OH IYA YAH, TERNYATA SUSAH JADI SI ANU .. DAN SAYA TIDAK LEBIH BAIK DARINYA."
Dan kita akan lebih bijak lagi memandang hidup ini.
Wallahu'alam.