Pernah suatu ketika, Adrian Smith; seorang teman berkebangsaan Inggris bertanya pada saya;
"Why do you have to be so devoted to your religion?, What if God does not exist, it's useless what you did .."
Saya tersenyum saja. Bukan pertamakali saya mendengar ketertarikan dan keterusterangan dari seorang asing terhadap ketekunan beragama. Dulupun ketika saya kuliah S1, native speaker kami, Madame Vinie pernah mengajak kami berdialog mengenai mengapa muslimah harus repot-repot memakai jilbab, yang akhirnya membuat beliau berkesimpulan, Ooh jadi kalian pake jilbab untuk menarik perhatian laki-laki ya??
Kesimpulan ngaco yang mungkin muncul karena ketidaksempurnaan kami menjelaskan. Maklum, pada waktu itu menjelaskan sesuatu yang sederhana dalam bahasa Prancis saja kami masih sudah megap-megap, apalagi menerangkan suatu hal yang berat seperti agama. Yang dimaksud kami adalah saya dan teman-teman sekelas kuliah.
Kembali ke pertanyaan Adrian, saya hanya menjawab:
"How do you know that He (hanya memakai kata ganti umum saja, ga berarti saya men-genderkan Allah) does not exist?"
Dan tentu jawaban si muka pucat itu adalah; Trus mana kalau ada? Mana yang disebut Tuhan?
Kalo ga inget bahwa saya punya kewajiban untuk menerangkan waktu itu, mungkin udah saya tabok tuh bule linglung (yang mengaku masuk Islam hanya untuk menikahi istrinya, seorang gadis Sunda). Tapi karena saya sadar bukan seperti itu caranya, ya sudah saya kasih tahu bahwa Allah tidak seperti manusia, yang harus punya wujud untuk dapat dilihat.
Percakapan saya dengan Adrian berlangsung lama dan 'hot'. Dari pertanyaan satu menukik ke yang lain. Dan khas orang Barat yang selalu mendasarkan pemikirannya pada logika, ia selalu dan selalu minta bukti, dan karena keterbatasan saya sebagai manusia juga yang membuat saya berharap semoga ia dapat mengerti karena memang saya tidak dapat membuktikan padanya bahwa Allah itu ada (secara fisik).
Orang-orang atheis sering sekali tidak dapat menerima logika 'agama' karena memang dogma agama, terutama 'samawi' seringnya mengawang-awang (bagi mereka). Pembicaraan mengenai akhirat, surga dan neraka layaknya negeri antah berantah bagi mereka. Apa yang terjadi kalau kamu mati?
Well, you'll disappear cause your life is over.
begitu katanya.
Orang seperti Adrian banyak, dan saya juga tidak berharap orang seperti itu akan langsung mendapat 'hidayah' kemudian memutuskan untuk beragama just like that. Itu mah sinetron, yang suka terlalu mudah membolak-balikkan dunia. Tugas saya kan hanya menyampaikan, selebihnya itu sudah wilayah prerogatifnya Allah (dan mungkin usaha manusianya juga).
Sedihnya, jika itu terjadi pada orang yang (memang) beragama. Dalam konteks budaya ketimuran kita dan fakta begitu melekatnya kita dengan yang namanya agama, ternyata tidak membuat hal tersebut menjadi tak mungkin. Bagaimana mungkin saya bilang kita tidak lekat dengan agama, wong kayaknya cuman di Indonesia aja ada banyak tradisi keagamaan yang bisa sampai mempengaruhi situasi nasional (mudik misalnya).
Ada banyak penyebab dan cerita dibalik mengapa orang berubah pikiran dari 'beragama' menjadi 'I-don't-need-any God-thank-you'. Bisa karena pengaruh bahan bacaan, tontonan dan pergaulan (katanya). Sampai-sampai hingga hari ini saya belum jadi terus baca bukunya Karl Max. Yang pertama karena lupa terus cari bukunya, yang kedua karena konon katanya jika mau baca buku ini harus kuat iman, kalo engga bisa tergelincir menjadi skeptis dan ujung-ujungnya atheis. Meski beberapa teman mengatakan dengan entengnya bahwa buku itu biasa aja, tapi saya pikir saya bisa paham jika ada orang yang bisa 'tercerahkan' maupun sebaliknya 'teredupkan' oleh sebuah benda yang namanya buku.
Seorang murid privat saya dulu, setiap kali saya ajak sholat selalu menolak. Alasannya, "Sorry, saya lagi marahan sama Allah" sampai-sampai waktu itu saya godain, "Ga boleh lebih dari 3 hari lho marahnya"
Alasan dia marah sama Sang Pencipta adalah karena dia merasa hidupnya banyak 'dikacaukan' oleh Allah. Semua yang ia inginkan tidak terkabul dan ia menimpakan semua kesalahannya pada Sang Pembuat Skenario yang menurutnya GA OKE banget. Untungnya dia masih beriman, masih mengaku muslim maksudnya. Karena katanya iman itu kan tidak cukup hanya diucapkan namun juga harus diamalkan.
Ada orang yang saking hausnya mencari kebenaran, sampai rela pindah-pindah agama demi sesuatu yang diyakini sebagai "the truth". Bagi saya ini menarik, karena ternyata bagi sebagian orang, kebenaran sampai harus dijugjug kaditu kadieu. Jika diibaratkan makanan, mereka adalah orang-orang yang mencari resep terenak untuk sebuah masakan tertentu. Sementara kita (umumnya) tinggal makan tuh makanan instan yang sudah tersedia tanpa harus mencari lagi. Yang saya maksud tentunya agama yang kita dapat sebagai warisan dari orangtua kita.
Saya terlahir dari orangtua beragama Islam, otomatis saya jadi orang muslim. Ketika saya masih kecil, saya memang hanya take it for granted saja. Tidak pernah terpikir untuk mempertanyakan kenapa begini-begitu. Namun ketika beranjak dewasa, saya tahu bahwa ternyata dunia tidak sepolos itu. Ada begitu banyak dogma, keyakinan, kepercayaan, what-so-called beliefs. Dan saya bersyukur diberikan Allah kesempatan untuk belajar dan mempelajari agama saya sendiri, hingga hari ini saya bisa mengatakan, Saya orang Islam. Saya adalah satu dari sekian banyak ruh yang ketika di dalam rahim ibu saya, sudah memberikan kesaksian beriman kepada Allah SWT. Dan kesaksian itu masih saya pegang hingga hari ini. Karena saya beruntung. Karena orangtua saya Islam.
Bukankah orangtua-nya yang menjadikan ia nasrani, yahudi, atau majusi??
Jadi, untukmu yang bertanya; DARIMANA KAMU DAPAT AGAMA?
Maka akan saya jawab; tentu dari usaha saya untuk mempertahankan keyakinan saya ini ditambah dengan penjagaan dan kasih sayang Allah selama hidup saya. Awalnya memang dari pewarisan namun warisan bisa habis jika tidak diinvestasikan.
Sekarang giliran saya untuk bertanya; BAGAIMANA DENGAN KAMU?
Apakah saat ini kamu sedang merasa sia-sia sudah beriman kepada-NYA? meski saya yakin betul kamu tidak (atau belum) tersesat sejauh itu. Mungkin kamu masih coba-coba, mungkin kamu sedang gamang, mungkin kamu merasa sedang linglung hingga kamu mem-PERSONA-NON-GRATA-kan Tuhan.
Tujuan saya membuat tulisan ini tidak untuk menghakimi kamu. Maafkan, tapi saya sedih dengan keadaanmu. Cepatlah kembali, jika memang kamu sedang mencari. Jika kamu memang sedang merasa kamu butuh sebuah 'bukti' seperti Adrian teman saya.
Carilah, dan cari terus keberadaan Allah di dalam dirimu. Siapa yang selama ini menggerakkan hatimu kepada kebaikan, siapa yang memelihara dan memberimu kehidupan hingga kamu bisa tetap bangun di setiap pagi?
Siapa yang mengatur dunia dengan sangat teraturnya? Matahari terbit di timur, tenggelam di barat. Panas dan dingin. Bahagia dan lega, cemas, sedih dan gelisah dan segudang pernak-pernik yang bernama perasaan itu?
Kalau kamu jawab itu 'kebetulan' (seperti yang selalu didengung2kan oleh orang2 atheis) maka kamu harus berpikir lagi. Berpikir terus. Karena Allah juga hanya dapat dipahami dengan kecerdasan akal.
Ah, andaikan saya bisa lebih cerdas lagi memberimu kekuatan. Ilmu saya masih cetek, makanya suka susah kalo memberikan 'pencerahan' (inginnya), tapi karena saya tahu Allah menjaga saya terus, jadi biarlah kata-kata saya yang ga begitu penting ini saya sampaikan juga.
Atau,
Mungkin saya terlalu lebay. Mungkin kamu sebenarnya biasa-biasa saja. Mungkin ini hanya serpihan episode hidupmu saja, yang sebentar lagi akan berganti dengan episode baru.
Maka, let me know when you're awake.
dan saya akan menyelamati kamu atas hasil pemikiranmu yang logis pada akhirnya.
Semoga.