twitter


Sore tadi saya masih duduk manis di ruang rapat MI. Ada presentasi IT. Menarik, orangnya smart. Tapi perut saya keroncongan inget baso tahu yang belum sempet dimakan. Tiba-tiba teman-teman dari TK agak kasak-kusuk hingga sampailah ke telinga saya.

"Anaknya Ibu Saidah ... meninggal .."

Sontak saya terhenyak, karena dari cerita teman-teman saya tahu anak itu usianya baru sembilan bulan. Lagi lucu-lucunya. Dada saya jadi sesak. Sembilan bulan adalah usia dimana anak biasanya belajar berjalan dan belajar ngomong. Bagaimana rasanya? Sedangkan saya saja langsung merasakan mata saya memanas.

Setiap kali menyaksikan kematian (meski tidak secara langsung) saya selalu merasa 'nyelek' .. betapa tidak, biasanya disibukkan dengan perkara dunia jadi terasa 'keselek biji kedondong' saking shock-nya (tersadar lebih tepatnya) bahwa saya takkan selamanya ada di dunia ini.

Khususnya ketika mendengar kematian anak yang masih kecil atau orang yang masih muda, saya jadi berkaca-kaca. Tersadar bahwa pada dasarnya anak adalah titipan Allah. Begitu juga suami, orangtua, teman-teman dan diri kita sendiri. Suatu hari, ketika Allah memanggil kembali milik-Nya, tak ada satupun yang bisa menghalangi.

Pertanyaannya adalah; siapkah saya??
Siapkah saya ketika Allah memanggil kaka, uni atau ade, atau anak yang ada dalam perut ini??

Akankah saya protes? Sedangkan mereka juga saya dapatkan dari-Nya?
Saya bayangkan tentu Bu Saidah teman saya itu melalui proses yang sama dengan saya. Mengandung 9 bulan dan melahirkan. Tentu dalam perjalanan hamil dan melahirkan ia pasti menngalami kesusahan sekaligus kebahagiaan karena akan mendapatkan momongan.

Saya bayangkan pasti matanya berbinar ketika pertamakali menggendong dan memeluk anaknya. Karena saya juga begitu. Kalau ada orang yang tanya:
"Bagaimana rasanya punya anak?"

Pasti saya takkan bisa menjawab. Karena perasaan itu, perasaan ketika saya memeluk dan menciumnya, memandikan, menyusui dan menidurkannya, tak ada bandingannya dengan apapun juga.

Malam ini dada saya masih sakit. Tapi bagaimanapun suatu hari saya harus siap. Entah meninggalkan atau ditinggalkan.

Wallahu'alam.


0 komentar: