twitter


Waktu kecil salah satu buku favorit saya adalah serial asrama karya Enid Blyton, Mallory Towers dan St Claire. Ceritanya mengetengahkan tentang anak-anak yang bersekolah di sekolah khas Inggris yang berasrama. Anak-anak tersebut datang dari latar belakang yang berbeda-beda, namun pada akhirnya mereka akan berhasil menemukan jati diri mereka dengan cara yang (menurut saya pada waktu itu) hebat sekali.
Percaya atau tidak, di tempat kerja, saya seakan mengalami de-ja-vu. Lembar-lembar Enid Blyton kembali membuat saya terkagum-kagum. Bedanya, kali ini saya tidak membacanya, melainkan langsung mengalaminya. Begini ceritanya.

Sekolah kami dipandang orang sebagai sekolah elit. Tentu karena mereka tahu anak-anak di sekolah kami harus membayar SPP yang jauh lebih besar dibanding sekolah lain pada umumnya. Setiap tahun ajaran baru sekolah kami akan menutup pendaftaran di awal, karena banyaknya peminat yang ingin masuk. Di satu sisi tentu saja membanggakan, namun di sisi lain juga kami harus terus menjaga kualitas kami hingga nama yang sudah bagus tak jadi lekang karena penurunan kinerja.

Diantara sekian banyak murid di sekolah kami, khususnya tingkat menengah atas, ada beberapa diantaranya yang 'extraordinary'. Tentu artinya luar biasa. Saya sebut begitu karena anak-anak ini merupakan anak-anak yang merebut lebih banyak fokus perhatian kami. Mereka adalah anak-anak yang rata-rata sering berpindah sekolah karena ketidakcocokkan, atau anak-anak yang memiliki watak 'berbeda' sehingga orangtua mereka berharap kami dapat membantu mereka membuat 'bedanya' mereka menjadi lebih baik.

Tentu Anda mengerti maksud saya. Anak-anak seperti itu bagi guru pada umumnya pasti akan dianggap nightmare. Anda akan menemukan mereka (biasanya) duduk di bangku paling belakang, tidak diperhatikan guru bahkan teman-teman mereka.

Jangan menganggap kami seperti guru pada umumnya yang akan (juga) menempatkan mereka seperti itu. Tapi jangan juga menganggap kami guru super yang akan langsung mengubah mereka jadi anak-anak manis penurut hanya dalam hitungan hari. Kami memang berbeda dari guru pada umumnya, mungkin karena kami punya semangat dan tekad (didukung jam pembelajaran yang lebih panjang) untuk mengamalkan ilmu kami dan kami memang sangat menghargai proses. Tak jadi soal perubahan itu terjadi berhari-hari, berminggu atau bahkan menghabiskan dua semester lamanya.

Namun toh saya dan teman-teman juga manusia. Ketika menghadapi kelakuan mereka, kami juga mengurut dada. Kami kesal. Luar biasa memang cara anak-anak sekarang membuat guru kelabakan.

Tapi, bukan sulap bukan sihir. Alhamdulillah dengan ijin Allah anak-anak luar biasa ini hampir selalu dapat kami taklukan. Ada yang menghabiskan waktu 3 minggu, ada yang sebulan, ada yang satu semester.

Minggu ini saya 'tercengo-cengo' melihat perubahan yang terjadi pada salah seorang murid kami. Ia pernah (dan sering) membuat kami kesal dengan berbagai ulahnya. Pernah pula tercetus keinginannya untuk pindah sekolah. Saya sendiri sempat merasa hopeless, saya merasa, kayaknya ni anak ga bakalan mungkin berubah.

Tapi ternyata, miracle does happen. Minggu ini saya melihatnya bermetamorfosa menjadi anak yang baru. Si anak baru ini begitu mandiri, dewasa dan bertanggungjawab. Dengan tanpa ragu ia mengatur adik-adik kelasnya (acara MOS pastinya) dengan tegas dan tanpa lelah ia bekerja untuk menyukseskan acara.

Saya sontak membicarakannya dengan teman-teman. Kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa ia mungkin hanya butuh sedikit penghargaan. Dengan tergabungnya ia dalam kepanitiaan MOS, mungkin ia merasa diakui, dibutuhkan, diperhatikan.

Saya tidak bermaksud mengatakan guru-guru di tempat lain tidak sebagus kami. No, saya yakin semua orang yang mendedikasikan dirinya menjadi guru, pada hari ia bersumpah (kalau ada sumpah pengangkatan) pasti ia sudah berjanji akan mengabdikan dirinya, mengamalkan ilmunya dan menjadikan murid-muridnya sebagai jalan ia ke surga. Seperti layaknya para calon dokter yang mengucapkan sumpah Hipocrates.

Yang ingin saya garisbawahi disini adalah, murid adalah manusia. Ia bukan benda yang tak bereaksi. Ia manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan hanya bisa dijejali dan dibentak untuk dapat mengeluarkan jawaban yang kita harapkan. Ia manusia dengan perasaan dan kebutuhan. Ia tak hanya butuh ilmu kita, tapi juga kasih sayang kita. Ia tidak bodoh, tapi ia sering disebut bodoh. Yang bodoh justru kita yang tak memahami bagaimana seharusnya ia dipicu untuk bisa pintar.

Yah, tapi guru juga manusia. Sama saja. Tapi toh guru lebih dewasa dari murid. Secara ilmu maupun usia. Kalau pun ada pihak yang harus mengalah, rasanya kita tak perlu mempertanyakan lagi pihak yang manakah itu.

OK, saya sebaiknya kembali ke tumpukan buku saya. Siapa tahu ada cerita bijak lainnya seperti Enid Blyton.

Sebentar saya mau cek John Grisham dulu ya ...

1 komentar:

  1. sugoooii!!!guru asput emang the best...*hug*
    kangeeennn!!!T.T