Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah film. Film yang saya tonton berjudul “Martha Marcy May Marlene”, ber-genre drama dengan alur agak lambat. Di sinopsis singkat yang saya temukan (ini biasa saya lakukan jika mau menonton film), disebutkan bahwa film ini menceritakan tentang tokoh utama yang terpaksa harus belajar untuk bersosialisasi kembali setelah mengalami sebuah trauma. Karena informasi semacam itu sangat “biasa” saja bagi saya, jadi saya anteng aja menonton film ini. Setelahnya? Sungguh saya gemetaran. Akan saya ceritakan mengapa.
Dikisahkan seorang gadis sebagai tokoh utama bernama Martha. Dengan alur lambat dan maju mundur, kita mesti agak jeli untuk bisa menangkap “the big picture” dari film ini. Adegan dibuka dengan kehidupan di sebuah rumah pertanian dan seorang gadis (yang adalah) Martha, melarikan diri dari rumah tersebut di pagi buta. Setelahnya, sambil menangis ia menelepon kakak perempuannya dari sebuah telepon umum, kakak perempuannya menjemput dan ia pun resmi tinggal menumpang di rumah kakaknya tersebut.
Apa yang terjadi? Martha ternyata seorang gadis muda yang telah meninggalkan rumah selama dua tahun tanpa kabar berita. Dengan kedua orangtua yang sudah tiada, hanya seorang kakak perempuan lah yang mengkhawatirkan dirinya. Selama dua tahun Martha tinggal bersama sekumpulan orang yang ia anggap “keluarga” yang telah menorehkan “sesuatu” kepada Martha. Menyebabkannya menjadi pribadi yang bebal, anti kemapanan dan sering membuat kakak perempuannya bingung.
Selama dua tahun Martha ternyata tergabung dalam sebuah kelompok tertentu. Saya ingin menyebutnya sekte, namun saya masih belum yakin mengenai definisi jelas dari kata “sekte”, maka saya memilih untuk menyebutnya kelompok saja. Kelompok ini terdiri dari sekitar dua lusin anak-anak muda, berusia antara 15 – 23 tahun, dipimpin oleh seorang pria paruh baya. Kelompok ini hidup memisahkan diri dari masyarakat di sebuah rumah pertanian besar di tengah hutan. Kegiatan sehari-hari mereka adalah bercocok tanam dan saling menghibur diri dengan bernyanyi dan bermain gitar. Sepintas tampak seperti tak ada masalah apapun diantara mereka. Mereka riang gembira dan saling menyayangi satu sama lain.
Dari awal film mulai, perasaan saya sudah tidak enak mengenai nasib Martha. Benar saja, ternyata kelompok ini bukan kelompok biasa. Setiap ada anggota baru yang masuk dan berjenis kelamin perempuan, maka seseorang yang ditunjuk oleh kelompok itu akan membuatkan sejenis minuman sehingga si gadis baru jadi teler, untuk kemudian dipaksa berhubungan seksual dengan si pemimpin kelompok. Yang membuat muak, setelahnya si gadis baru (termasuk juga Martha) akan dicekoki dengan doktrin bahwa hubungan seksual yang terjadi merupakan “cleansing” atau pembersihan jiwa. Setelahnya, kelompok ini akan bebas berhubungan seksual antara satu dan yang lainnya, berpasangan maupun berkelompok, sendirian maupun beramai-ramai di dalam kamar. Jika kemudian lahir anak dari hasil hubungan tersebut, maka mereka semua akan bergantian menjaga dan mengasuhnya.
Memuakkan bukan? Tapi kegilaan belum cukup sampai situ. Kelompok ini juga sering menyelinap ke rumah-rumah besar dan mencuri barang berharga di dalamnya. Juga, ketika kekurangan uang maka si pemimpin kelompok takkan sungkan-sungkan untuk meminta salah satu anggota kelompok untuk menelepon ayahnya yang kaya raya dan meminta uang.
Saya gemetaran menonton film ini karena fakta menjijikkan yang dipaparkan di sini. Ini bukan cerita bualan karena saya sering membaca berita mengenai berbagai sekte di berbagai belahan dunia yang rata-rata seperti yang digambarkan film ini. Anak-anak muda yang kebingungan dengan identitas diri dicekoki dan mengalami “cuci otak” dengan dijejali doktrin-doktrin tertentu yang bagi manusia yang menjunjung tinggi logika takkan mungkin bisa dikatakan normal. Betapa kasihannya anak-anak muda seperti Martha (yang di kelompok itu dipanggil dengan nama “Marcy May”) terpaksa harus hidup ‘tak normal’ di bawah jargon anti kemapanan yang memandang dunia sudah sangat kapitalis sehingga mereka memilih untuk hidup berseberangan dengan norma masyarakat. Martha diajarkan bahwa manusia hanya “exist/ada” saja, berfungsi untuk saling menghargai dan menyayangi, tanpa bekerja, karena bekerja dianggap kegiatan yang pada akhirnya hanya berujung pada penghambaan terhadap uang. Lucunya, kelompok Martha ternyata juga masih butuh uang sehingga mereka “menghalalkan” mencuri di rumah-rumah orang. Kelompok ini mengajarkan saling menghargai sesama anggotanya, namun anehnya semua anggota perempuan dilarang makan kecuali setelah para anggota laki-laki sudah selesai makan dan kenyang. Benar-benar kontradiksi yang membuat mual.
Keberadaan kelompok-kelompok ini tidak saja terjadi di Amerika (yang sempat membuat geger masyarakat sana), namun juga di Indonesia, masyarakat kita sendiri. Amerika pernah dikejutkan dengan sekte “Keluarga Mason” yang seperti kelompoknya Martha, memisahkan diri dari masyarakat dan berujung pada aksi bunuh diri masal yang dilakukan beramai-ramai.
Banyak orang-orang yang ‘terseret’ arus isme tertentu, hingga tak lagi bisa hidup normal bermasyarakat seperti yang lainnya. Ideologi atau isme atau sekte ini tak hanya yang menganut anti kemapanan seperti kelompoknya Martha, namun juga kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu sebagai kedok, padahal mereka tak lebih dari kelompok sesat dan menyesatkan. Anda tentu tahu dan bisa menyebutkan tanpa saya kasih tahu kelompok-kelompok mana yang dimaksud.
Luka fisik akibat senjata tajam atau bahkan peluru tampak menyakitkan (setidaknya di film-film) namun luka psikologis macam yang dialami Martha tentu secara kasat mata tak nampak tapi jelas meninggalkan bekas, yang celakanya tidak mungkin bisa hilang dalam waktu singkat. Banyak terjadi kasus-kasus seperti ini ketika kemudian si korban tak lagi bisa ‘normal’ dalam hidupnya.
Saya menutup tulisan ini gantung, seperti ending filmnya yang juga gantung. Saya jadi banyak menarik nafas setelah menonton film ini.
Betapa menggiurkan, sekaligus membahayakan sesuatu yang disebut idealisme itu.