twitter


Jumat pagi kemarin saya ada kuliah. Functional Grammar bersama Bapak Doktor IL, Ph.d (nama tidak disebutkan), salah satu dosen (konyol), pecinta Miyabi, kadang-garing (yang adalah), ketua jurusan program linguistik s2. Ketika pertamakali bertemu dengan Beliau, pasti orang tidak akan terlalu menganggapnya serius karena senangnya ia cengar-cengir. Gaya mengajarnya beda dengan yang lain. Jika orang lain mengajar dengan serius dan bijak, maka Beliau (harus saya katakan) sangeunahna.

Jika ada mahasiswa yang bertanya,

"Pak, saya masih bingung ... kenapa ini ... bla bla bla ?"

maka Beliau akan menjawab:

"Oh itu karena ... bla ... bla ..."

selesai itu dilanjutkan dengan cengiran sepanjang 5 senti ke kiri dan kanan kemudian beliau akan bilang,

"eta ge meureun ... hehehehe" tertawa terbahak-bahaklah ia.

teeeng ....!

Kali lainnya, seorang mahasiswa bertanya,

"Pak, kenapa teori anu kok mirip dengan teori yang satunya lagi ya pak? Apa ada relevansinya?"

dan Beliau menjawab dengan manis,

"Yaah ... mungkin yang nulis teorinya masih sodara, atau pernah pacaran gitu ..."

sedaaaaaap ...

Namun jangan ragukan kemampuan Bapak yang satu ini. Beliau pakarnya linguistik. Segala macam kalimat dan kata bisa diobrak-abrik dan dijabarkan dengan sangat ilmiah. (buat orang non-bahasa, maaf kalo tak begitu paham, karena saya sering ditanyai 'mengapa bahasa aja mesti ada program masternya? apalagi sih yang dipelajari?' yah, saya hanya mau bilang bahwa mereka mengajari kami tata bahasa tingkat dewa hihi).

Yah, begitulah dosen saya yang satu ini, yang pada suatu hari mengaku tak bisa memakai lensa kontak karena dilarang dokter (beliau ternyata aslinya berkacamata) dan pada hari itu beliau memuji kami semua para mahasiswi yang dinilainya "cantik" karena beliau ga jelas melihat kami semua.

*glegh*

Jumat kemarin, Beliau mengatakan bahwa kita semua adalah korban civilisation/peradaban. Mengapa begitu? Karena kita cenderung lebih memilih untuk mengatakan sesuatu dengan sangat rumit supaya dinilai "PINTAR"

jadi daripada mengatakan bahwa,

"I love Miyabi because she is so beautiful and loves cuhcur"

orang yang menjadi korban peradaban akan mengatakan,

"The reason for my love for Miyabi is her extreme beauty and her fondness of cuhcur"

(seriusan, Pak Iwa selalu menggunakan nama Miyabi untuk contoh kalimatnya)

jadi daripada mengatakan,

"Kopi ini manis"

orang 'pintar' akan memilih untuk mengatakan,

"kopi yang mengandung kadar kafein tinggi dan berwarna hitam, yang enaknya diseduh dengan air panas dan dicampur gula ternyata memiliki rasa menggigit di lidah dan manisnya membuat hati meringis romantis abis"

dueeeeng ...

lah, itu mah contoh dari saya.

Anyway, gaya bahasa ‘pintar’ seperti itu memang menjamur di kalangan kita. Lihat saja buku-buku pelajaran/buku teks, semakin rumit bahasanya semakin kita seringkali bangga membawa-bawa dan membacanya. Jika ditemukan buku teks yang ‘biasa aja’ dan ‘mudah dicerna’ serasa bukan buku teks tapi novel.

(ngomong-ngomong kemarin saya nonton satu film yang saya ga ngerti banget ceritanya karena membingungkan. Ternyata setelah di-search banyak orang yang mengatakan sama, namun ada satu orang yang dengan bangganya mengatakan ‘betapa film itu cerdas dan menyajikan konflik yang begitu indah’, saya jadi curiga jangan-jangan dia nulis gitu supaya nampak pintar saja hehe)

Bapak juga mencontohkan betapa orang jaman sekarang ribetnya kebangetan.

“Dulu, ayah saya ga merasa harus buru-buru pergi ke sawah seperti saya yang selalu terburu-buru mengejar kuliah jam 7, ayah saya bisa pergi ke sawah jam berapapun yang ia mau tanpa takut konsekuensi apapun,”

Seisi kelas tertawa, sambil mikir. Iya juga ya?

Tapi kan jaman dulu ga rame, makanan-nya itu-itu aja??

“Yah, tapi jaman dulu lebih sehat, makanan bebas-pestisida, semua serba natural, tak mengenal apa itu kanker, apa itu darah tinggi atau kolesterol,”

Kami manggut-manggut lagi.

“Saya berani bertaruh satu milyar bahwa hidup jaman dulu lebih sederhana namun lebih bahagia,”

Aah .. how it is beautifully mentioned ...

“Tapi ... dulu belum ada Miyabi ... jadi memang ga rame ... hehehe” tambah beliau, tak lupa dengan cengirannya.

Jiaaaaah Bapaaaak ...

Namun pembicaraan hari itu terfikirkan benarnya oleh saya. Betapa kita (yang mengaku) sebagai manusia moderen banyak ribet dan meribetkan semuanya. Hal-hal remeh temeh digede-gedein supaya dicap ‘keren’. Kita mengaku orang beradab yang memiliki aturan dan tatakrama namun seringkali kedua hal itulah yang membuat kita melupakan humanitas kita sebagai manusia.

Kuliah hari itu diakhiri dengan satu pertanyaan dari mahasiswa yang duduk pas di depan saya,

“Bapak, saya mau tanya, kalau hubungannya antara ... mood, tenor, field dengan .... bla bla bla, apa pa?” ia sambil menunjuk ke buku rujukan kuliah kami yang tebalnya sekitar 300-400 halaman karangan si Eggins yang bujubuneng baru sekitar 4-5 kali ngulang baca baru saya bisa ngerti.

Dan Bapak Dosen kita yang luar biasa itu menjawab dengan entengnya sesudah menyeruput kopi yang disuguhkan pegawai gedung,

“Naaaah ... baca buku yang tebel gini aja udah susah, ngapain mikirin yang gitu? Kamu korban peradaban yaa??”

Hahahahaha.

0 komentar: